Logo Header Antaranews Jateng

RSBI Bukan Sekadar Sekolah Bertarif Internasional

Sabtu, 10 Maret 2012 14:32 WIB
Image Print


Cibiran itu bukan saja menyangkut gugatan atas hasil lulusan RSBI yang tidak beda dengan sekolah tersebut ketika masih menyandang sekolah standar nasional (SSN), melainkan juga besaran biaya penyelenggaraan pendidikan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

Sekolah di RSBI memang tidak murah untuk ukuran kebanyakan masyarakat di negeri ini.

Pada jenjang SMP, orang tua siswa bisa dikenai pungutan hingga juta rupiah, sedangkan SPP-nya di atas Rp250.000 per bulan.

Padahal, bila bersekolah di SMP negeri non-RSBI, semuanya serbagratis. Tidak ada uang masuk atau uang gedung, begitu pula tidak ada SPP atau uang buku. Semuanya sudah ditutup oleh program biaya operasional sekolah (BOS).

Masyarakat harus merogoh kantong lebih dalam lagi bila anaknya memilih melanjutkan ke SMA berstatus RSBI.

SMA negeri di Kota Semarang, misalnya, pungutan uang masuk rata-rata di atas lima juta rupiah, sedangkan SPP-nya dalam kisaran Rp400.000 per bulan.

Meskipun berbiaya mahal, animo orang tua menyekolahkan anakanya di RSBI masih tinggi.

Buktinya, dari 1.125 RSBI di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia, hingga kini terus menjadi incaran mereka.

Tanpa menyandang embel-embel RSBI, sekolah-sekolah yang bermetamorfosis menjadi SMP dan SMA RSBI sebenarnya secara historis memang memiliki keunggulan akademis sehingga merupakan sekolah-sekolah favorit di kota atau daerah.

Sebagai contoh, SMAN 3 Semarang. Sejak puluhan tahun lalu sekolah ini memang menjadi tempat berkumpulnya para lulusan terbaik dari SMP di Kota Semarang dan sekitarnya.

Dari sisi input, sekolah tersebut tentu lebih diuntungkan karena menerima bibit berkualitas super.

Faktor lain, orang tua memberikan dukungan finansial kepada anak-anaknya, mulai dari beli buku penunjang, bimbingan belajar, hingga peralatan multimedia untuk mendukung pengembangan akademik.

Jika mayoritas siswa di sekolah berstatus RSBI lebih unggul dibanding siswa sekolah reguler, itu menjadi keniscayaan.

"Keterlaluan kalau lulusan RSBI atau SBI sama saja atau malah di bawah sekolah reguler," kata Sri Sugiarti, 46, yang anaknya sekolah di SMP RSBI.

Ia perlu menggarisbawahi mutu lulusan RSBI, mengingat biaya yang dikeluarkan masuk dan sumbangan pendidikan setiap bulan cukup mahal, sementara di SMP bebas biaya sama sekali.

Di SMP negeri berstatus RSBI di Semarang mengutip uang masuk jutaan rupiah, sedangkan iuran bulannya sekitar 250.000-Rp300.000.

Oleh karena itu tidak terlalu salah bila RSBI atau SBI dipersepsikan sebagai sekolah mahal dan dipelesetkan sebagai sekolah bertarif internasional.

Untungnya, tidak semua sekolah bermutu tergesa-gesa berubah menjadi RSBI. SMPN 9 dan SMAN 5 Kota Semarang merupakan contoh sekolah bermutu yang masih bertahan di jalur reguler namun masih tetap jadi incaran lulusan SMP dan SD.


Siswa miskin
Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengalokasikan 20 persen dari daya tampung penerimaan siswa baru untuk siswa kalangan miskin selama ini memang sulit terpenuhi.

Di sebuah SMPN favorit di Semarang yang selalu diburu lulusan SD, misalnya, hanya sedikit diminati siswa miskin meskipun kuota untuk mereka sekitar 40 kursi dari 200 siswa baru yang diterima pada tahun 2011.

Keengganan siswa pintar dari keluarga miskin bersekolah di RSBI bisa dimaklumi karena betapa sulitnya menata kondisi psikologis mereka di tengah anak-anak dari keluarga berkecukupan, sementara itu mereka dibebaskandari dari biaya sekolah.

RSBI memang wajib menyediakan kuota 20 persen bagi siswa miskin dari kuotanya.

Namun, praktiknya banyak anak pintar dari keluarga kurang mampu yang berani mendaftarkan diri.

Kesan mahal terjadi karena RSBI kadang seenaknya memungut uang dari orang tua siswa.

Jadi, citra RSBI atau SBI itu mahal memang bukan mengada-ada, apalagi kalau perbandingannya dengan SD atau SMP reguler yang serbagratis.

Pemerintah menyadari ekses diizinkan sekolah mengutip sumbangan dari masyarakat untuk menopang biaya penyelenggaran RSBI yang lebih mahal dari sekolah reguler.

Agar pungutan tersebut terkendali, Menteri Pendidikan menerbitkan Peraturan Nomor 50/2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada SD dan SMP, yang di dalamnya juga mengatur pungutan pada SD dan SMP RSBI.

SD dan SMP RSBI dalam menarik pungutan harus minta izin kepada kepala daerah bersangkutan, yakni wali kota atau bupati.

"Kebijakan mengendalikan pungutan RSBI memang perlu agar sekolah tidak jor-joran menarik dana dari orang tua siswa," kata pakar pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang Muhdi.

Namun, Muhdi tidak sependapat dengan sejumlah kalangan yang menuntut penutupan RSBI.

Keberadaan RSBI dan SBI tetap penting, dan harus terus disempurnakan termasuk mutu guru, fasilitas pendukung, dan penyelenggaraan pendidikannya.

Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa keberadaan RSBI dan SBI tetap penting untuk meningkatkan mutu lulusannya sehingga pemerintah menolak menghapusnya.

"Kalau dalam perjalanan sebuah mobil bannya kempes, ya harus diperbaiki, jangan mobilnya yang ditinggal," kata Nuh mengibaratkan perjalanan RSBI selama lima tahun ini.

Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025