Logo Header Antaranews Jateng

Kepala Daerah Berdemo Ibarat Bermain Api Letup

Jumat, 30 Maret 2012 10:11 WIB
Image Print

Mereka tampaknya menyadari bahwa setiap perbuatan atau pekerjaan ada risikonya. Bahkan, F.X. Hadi Rudyatmo siap dipecat dari jabatannya sebagai Wakil Wali Kota Surakarta.

"Saya tidak pernah mengatakan melawan aturan. Namun, saya harus mendengar dan melihat aspirasi rakyat menolak rencana kenaikan harga BBM," kata Rudyatmo di Solo, Selasa (27/3).

Karena keikutsertaan turun ke jalan bersama elemen masyarakat yang menentang rencana penaikan harga BBM, Rudyatmo yang juga Ketua DPC PDIP Kota Surakarta pun mendapat peringatan dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.

Menteri Dalam Negeri lantas mengeluarkan larangan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota, serta kepala kecamatan melakukan demo menolak kenaikan harga BBM karena menyalahi peraturan perundang-undangan.

Gamawan Fauzi saat melakukan kunjungan kerja percepatan e-KTP di Pangkalpinang, Rabu (28/3), mengingatkan kembali akan sumpah/janji jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Mendagri melarang mereka melakukan demo menentang penaikan harga BBM tampaknya bukan tanpa alasan. Undang-Undang Pemerintah Daerah sudah menegaskan akan hal itu melalui Pasal 28 meski tidak secara implisit menyatakan seperti itu.

Larangan yang termaktub di dalam pasal itu, antara lain membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyrakat lain.

Larangan lainnya, melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya. Dan, menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya.

"Kepala daerah tersebut 'kan sudah disumpah, maka harus tunduk dengan pemerintahan. Apa jadinya apabila kebijakan Presiden atau pemerintah pusat ditolak gubernur, wali kota, bupati, dan camat," kata Mendagri Gamawan Fauzi.

Sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah: "Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa."

Mendagri Tak Berwenang
Kepala daerah dan/ wakil kepala daerah yang terbukti melanggar sumpah itu sebagaimana Pasal 29 Ayat (2) Huruf d dapat diberhentikan. Pernyataan Mendagri ini menuai kritik dari pelbagai kalangan, di antaranya politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari.

Anggota Komisi III (Bidang Hukum & Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) DPR RI mengatakan bahwa Mendagari tidak berwenang memecat kepala daerah yang ikut berjuang menyampaikan aspirasi rakyat menolak penaikan harga BBM.

"Memecat penguasa daerah, bukan wewenang eksklusif Mendagri, tetapi ada proses hukum dan politik di daerah. Sikap Mendagri seperti mengingatkan sikap kolonial Belanda yang menghukum Soekarno (Presiden pertama RI, red.) karena memperjuangkan aspirasi rakyat," kata Eva.

Eva yang juga anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan menegaskan bahwa pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah ada aturannya, yakni Pasal 29 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemberhentian itu diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah.

"Jadi, atas usulan DPRD setempat. Itu pun ada alasan-alasan yang berkaitan dengan keterlibatan dengan tindak pidana (korupsi, pidana berat, berhalangan tetap, dll,), tetapi berperan sebagai penyambung lidah rakyat, tidak termasuk di dalamnya," kata Eva menegaskan.

Fungsionaris DPP PDI Perjuangan itu lantas menyarankan Mendagri sebaiknya tidak sewenang-wenang dalam era demokrasi. Apalagi suasana demokratis seperti sekarang ini, akses dan kontrol sipil (rakyat) tehadap keputusan publik semakin besar.

"Sikap seperti itu menunjukkan antidemokratis. Oleh karena itu, mohon dipahami bersama bahwa para pemimpin daerah tersebut adalah pemimpin politik yang dipilih langsung oleh rakyat, yang konsekuensinya kemudian adalah pemangku fungsi birokrat," katanya.

Selain itu, lanjut dia, pengambilan keputusan soal penaikan harga BBM masih belum final, atau belum menjadi keputusan politik pemerintah pusat karena masih dalam proses permintaan persetujuan DPR.

Dalam posisi demikian, kata Eva, maka sikap politik kepala daerah harus dipandang wajar dalam pendekatan pembangunan (pengambilan keputusan publik) yang partisipatoris.

"Tidak ada pelanggaran hukum apa pun, yang ada pelanggaran ego Mendagri. Dan, harapan kita Mendagri tidak 'abuse of power' (menyalahgunakan kekuasaan) yang dapat menyeret RI menjadi negara kekuasaan," katanya.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu mengemukakan bahwa dalam otonomi daerah, penguasa daerah yang paling tahu kebutuhan dan realitas rakyat yang mereka pimpin.

"Para pemimpin berada di tengah-tengah rakyat. Kedekatan dengan rakyat itulah yang pernah ditunjukkan oleh Gamawan saat masih pro-'wong cilik', yaitu saat menjadi Gubernur Sumbar yang diusung PDI Perjuangan saat menolak kenaikan harga BBM pada tahun 2005," katanya mengingatkan.

Apakah betul Mendagri melakukan "abuse of power" seputar keikutsertaan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam aksi unjuk rasa menentang rencana kenaikan harga BBM?

Ibarat "orang tua diajar makan pisang", Gamawan Fauzi tentunya lebih ahli dan lebih tahu akan hal itu, mana yang melampaui kewenangan dan mana yang sesuai dengan porsinya sebagai Mendagri.

Agaknya dalam mengimplementasikan UU Pemerintahan Daerah atau lebih populer dengan julukan "UU Otonomi Daerah" harus utuh. Atau, tidak secara parsial yang berujung pada kepentingan mereka masing-masing.

Pewarta :
Editor: Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2025