Logo Header Antaranews Jateng

Eksplorasi Gerak "Mawas Diri" Persembahan kepada Seminaris

Sabtu, 12 Mei 2012 08:48 WIB
Image Print
Sejumlah seniman petani Gunung Merapi dari Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" memainkan eksplorasi gerak "Mawas Diri" di depan Patung Santo Petrus Kanisius Seminari Mertoyudan selama empat jam, Kamis (10/5) malam dalam rangkaian perayaan Seabad


Arah wajahnya seakan tak berubah, tertuju kepada arena kecil dikelilingi properti nyala puluhan lilin dengan masing-masing berbalut gedebok pisang dan tancapan hio, tempat pementasan di taman dengan patung Santo Petrus Kanisus yang disorot lampu terang berinstalasi bambu di belakangnya pada Kamis (10/5).

Jari-jari kedua tangan sang romo berusia tua itu bertangkup tak bergeming, seakan tertaut dalam usahanya menyimak makna eksplorasi gerak selama empat jam oleh belasan seniman Padepokan "Tjipta Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dalam rangkaian menuju puncak perayaan Seabad Seminari Mertoyudan.

Usia seabad Seminari Mertoyudan sebenarnya jatuh pada 30 Mei 2012, sedangkan puncak perayaannya bakal mereka lakukan pada 2 Juni 2012 melalui misa akbar dan pergelaran Sekaten Seni di halaman rindang kompleks pendidikan khusus tersebut di tepi Jalan Raya Magelang-Muntilan itu.

Selama setahun terakhir pihak seminari menggelar berbagai kegiatan untuk merayakan peringatan seabad lembaga pendidikan keagamaan Katolik itu, termasuk beberapa bulan lalu peresmian patung Santo Petrus Kanisius oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

Patung Santo Petrus Kanisius yang pelindung spiritual sekolah calon imam Katolik dengan ukuran cukup besar dari batu Gunung Merapi itu karya Ismanto, perupa dari Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun dan juga salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung Magelang (Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

Dua seniman, Sitras Anjilin dan Eka Pradaning, masing-masing membawa segenggam hio melalui gerak tariannya beriring paduan tabuhan perlahan satu gong besar, kenong, gesekan biola, dan sesekali kendang, berjalan di atas bentangan kain putih berbentuk tanda salib.

Sesampai di taman, di bawah patung Santo Petrus Kanisius, dua penari itu meletakkan genggaman hio yang pucuknya membara warna merah.

Sementara, penari lainnya memainkan performa gerak dalam lingkaran tatanan lilin di arena kecil dikelilingi penonton antara lain sejumlah orang umat sekitar seminari dan sebagian besar para seminaris, termasuk pamong mereka Romo Saptono Hadi.

Sepenggal tembang berbahasa Jawa di bawah iringan musik itu mengalun berulang-ulang dibawakan seorang seniman lainnya Parwito.

"'Ngelmu iki, kalakone kanthi laku. Tegese lawan kas, tegese kasmanto sani. Setya bedya pangekese durangkara'," demikian salah satu di antara cukup banyak tembang Jawa pengiring eksplorasi gerak mereka.

Parwito menjelaskan tentang maksud sepenggal tembang itu. Pencarian suatu ilmu harus melalui usaha yang tekun. Ilmu bisa menyejahterakan hidup manusia, membentuk karakter saling mengasihi, dan menjadikan kekuatan manusia untuk mencegah angkara murka.

Sesekali Marmujo, seniman lainnya yang juga turut memainkan gerak tarian eksplorasi itu, menimpali lantunan tembang berbagai langgam yang disuguhkan tak henti oleh Parwito.

Para pemain pun dengan setia mengeksplorasi arena kecil pementasannya di atas panggung beralas tanah itu, melalui berbagai gerak tariannya di bawah remang-remang lampu taman dan cahaya bulan sepenggal di langit arah timur seminari setempat.

Mereka juga merespons properti taman itu dan saling membangun komunikasi melalui gerak tariannya dalam latar nomor-nomor tembang Jawa oleh Parwito dan suara tabuhan sejumlah alat musik tersebut.


Berdialog
Selama mereka memainkan eksplorasi gerak yang disebut Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" itu sebagai "meditasi gerak" untuk pencarian jiwa, mengolah rasa dan tubuh, ternyata para seminaris yang duduk bersila secara berkelompok mengelilingi arena kecil itu, saling berdialog dengan suara lirih.

Tarian para seniman petani Merapi malam itu, memang tak selazim gerakan suatu tarian pada umumnya dengan suatu judul dan urutan tertentu yang biasanya mudah ditangkap maksud atau pesannya.

Mereka dengan selendang, kain, dan properti lainnya, seakan sendiri-sendiri membangun gerak tari secara bebas dan mengikuti naluri perseorangannya malam itu, sedangkan durasi yang cukup lama memang membuat sebagian besar penonton tak mampu bertahan menyimaknya hingga akhir pertunjukan.

Seorang seminaris bernama Bondi mengaku hanya bisa merasakan nuansa yang terbangun atas pementasan eksplorasi gerak "Mawas Diri" oleh para seniman petani tersebut.

"Saya tanya beberapa teman, bisa menikmati tidak, ada yang bilang nikmati saja musiknya, ada yang bilang nikmati gerakannya, akhirnya saya memutuskan bahwa kadang sesuatu itu bukan untuk dinikmati, ketika saya mencoba menikmati apa yang terjadi di sini, saya malah 'ndak' bisa menikmati. Tapi saya coba masuk mengikuti setiap gerakan, nada, bunyi. Dan saya merasa ini bukan untuk dinikmati, tetapi dirasakan bersama," katanya.

Akan tetapi, katanya, perasaan bahagia dan suatu keadaan itu muncul ketika tampilan tersebut sudah selesai.

Seorang seminaris lainnya bernama Dodo mengaku baru pertama kali menonton bentuk pementasan tersebut. Ia yang mencoba setia duduk bersila di arena kecil itu hingga pementasan selesai, tetap sulit menangkap makna yang ditebarkan melalui eksplorasi gerak tersebut.

"Awalnya saya mencoba menikmati, tetapi sulit, saya coba memaknai juga sulit. Tetapi, justru dengan pementasan ini saya bisa membedakan dengan nonton televisi. Nonton televisi bisa terhibur tetapi kita tidak cepat mengambil maknanya. Tetapi saya yakin pementasan ini banyak sekali maknanya, hanya saja sebagai orang muda, saya kurang bisa memahami," katanya.

Seminari setempat yang seluruh siswanya saat ini berjumlah sekitar 300 anak berasal dari beberapa daerah di Indonesia terutama Jawa itu setingkat dengan sekolah menengah atas.

Akan tetapi, masa pendidikan di Seminari Mertoyudan selama empat tahun, sedangkan umumnya pendidikan SMA dan sederajat tiga tahun. Mereka yang masuk seminari setempat setelah lulus SMP memulai dari sebutan Kelas Persiapan Pertama, sedangkan mereka yang masuk setelah lulus SMA memasuki sebutan Kelas Persiapan Atas. Pendidikan di seminari dengan model asrama.

Romo Saptono juga menyatakan tidak mudah memahami suatu eksplorasi seperti halnya eksplorasi gerak yang dilakukan para seniman petani Merapi itu.

Akan tetapi, ia mengakui bahwa belajar memahami sesuatu itu penting, butuh ketekunan, waktu, dan proses secara perlahan dengan kelembutan hati.

"Saya menjadi menemukan bahwa 'inilah diri saya', saya belajar untuk bisa mengerti," katanya.

Sitras menjelaskan, pementasan itu sebetulnya bukan pertunjukan seperti di panggung umumnya sehingga memang kemungkinan tidak menarik ditonton dan sulit dipahami, sedangkan durasi yang panjang memang terkesan membosankan para penyaksi.

"Sebetulnya ini bukan pertunjukan. Maaf kalau tidak menarik dan membosankan, tapi ini ada unsur ritual, unsur doa, unsur memohon kepada Tuhan supaya diberi yang terbaik. Pentas ini di alam terbuka, di tanah, memang berusaha juga mengenali alam, untuk menyatu dengan alam," katanya.

Sebagai suatu eksplorasi gerak, katanya, pementasan itu bagian dari "pencarian dari dalam", sedangkan tema "Mawas Diri" untuk mengajak siapa saja melihat, mengeksplorasi, dan merefleksikan diri sendiri.

Namun bagi Rektor Sumarya, pementasan itu sebagai momentum penting yang mesti diikuti terutama oleh para seminaris antara lain karena temanya "Mawas Diri".

"Mawas diri, kita diajak untuk tunduk, melihat ke bawah, maka seni ini juga tidak di panggung tetapi di tanah. Ini suatu cermin bahwa kita harus memperhatikan yang ada di bawah, bahwa seni ini untuk berefleksi," katanya.

Ia mengajak para seminaris sebagai orang-orang beriman, merekam dalam hati masing-masing dan membawa apa saja yang terjadi melalui pementasan empat jam itu.

Eksplorasi gerak seniman petani malam itu, mungkin saja sebagai ajakan kepada para seminaris ke dalam momentum mawas diri, atas jalan panggilan khusus hidupnya yang masih harus mereka arungi.

Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025