Logo Header Antaranews Jateng

Penantian Petani Terbebas dari Hama Tikus

Rabu, 23 Mei 2012 07:24 WIB
Image Print
ilustrasi


Populasi tikus yang menyerang lahan tanaman padi petani, dinilai terus bertambah menyusul semakin meluasnya areal lahan yang diserang.

Hewan pengerat tersebut, bukanlah satu-satunya hama yang menyerang tanaman padi petani karena masih ada hama penggerek batang, wereng cokelat, hingga keong mas.

Akan tetapi, serangan hewan pengerat tersebut cukup membuat petani sibuk hingga muncul pencanangan "gropoyokan" (penangkapan) tikus secara serempak di Kabupaten Kudus untuk mencegah terjadinya serangan hama pengerat tersebut.

"'Gropyokan' merupakan salah satu alternatif pemberantasan hama tikus yang lebih efektif dibanding cara lain dengan menggunakan obat-obatan," kata Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Kabupaten Kudus Budi Santoso, baru-baru ini.

Hanya saja, kata dia, cara tersebut harus dilakukan sebelum memulai musim tanam, bertepatan dengan jumlah populasi hewan pengerat tersebut yang masih sedikit.

Apabila dilakukan pada saat tanam, katanya, tidak mendapatkan hasil yang efektif, karena populasinya diperkirakan sudah bertambah menyusul tersedianya makanan dari tanaman padi yang ditanam petani.

Selain harus dilakukan sebelum musim tanam, katanya, "gropyokan" juga harus dilakukan secara serempak, agar tidak ada tikus yang pindah ke tempat lain untuk membuat lubang baru guna berkembang biak.

Pemberantasan dengan cara "gropyokan", katanya, sudah dilakukan oleh para petani yang ada di beberapa daerah, seperti di wilayah Kecamatan Jekulo.

Sedangkan untuk wilayah Kecamatan Undaan, diakui terlambat karena dilakukan ketika petani sudah memulai musim tanam.

Dengan cara lain, seperti menggunakan obat hama tikus jenis tiran yang disulut dengan api kemudian dimasukkan ke dalam mulut lubang tempat persembunyian tikus menggunakan sebuah alat berbentuk corong atau alpostran juga dianggap kurang efektif ketika sudah memasuki musim tanam.

Berdasarkan pengamatan selama beberapa tahun terakhir, tingginya populasi hewan pengerat tersebut, salah satunya karena punahnya hewan yang menjadi predator tikus, seperti burung hantu, elang, maupun ular karena menjadi perburuan manusia.

"Hilangnya salah satu mata rantai, memang ikut berdampak pada hewan pemakan tikus yang mengakibatkan hewan tersebut dapat berkembang biak dan menyebar dengan cepat," ujarnya.

Sebelumnya, kata dia, pernah dicoba kembali dengan penangkaran burung hantu, karena populasi burung elang sudah jarang.

Akan tetapi, lanjut dia, hasilnya kurang efektif, karena sedikitnya jumlah burung hantu yang bisa dilepas untuk memangsa hewan pengerat tersebut.

Burung hantu tersebut juga rentan menjadi perburuan oleh orang-orang yang tidak mempedulikan ekosistem lingkungan sekitar.

Pengamat pertanian dari Universitas Muria Kudus Hendi Hendro mengungkapkan, punahnya predator hewan tikus memang berpengaruh terhadap populasi hewan pengerat tersebut semakin besar karena tidak ada lagi hewan yang menjadi pemangsa.

Menurut dia, hama tikus tidak mungkin dimusnahkan, melainkan hanya bisa dikendalikan karena hewan tersebut juga menjadi salah satu mata rantai makanan di alam.

Untuk itu, pemberantasan hama tikus harus dilakukan secara komprehensif, karena melibatkan berbagai pihak terkait.

Sebetulnya, kata dia, pola tanam tanaman padi secara serempak juga bisa menjadi alternatif mengurangi serangan tikus, karena setiap ekor tikus hanya mampu memakan dalam jumlah yang kecil.

Akan tetapi, kata dia, cara tersebut terhambat dengan ketersediaan air irigasi, yang biasanya dilakukan secara bergiliran ketika mengawali musim tanam.

Akibatnya, daerah yang berada di daerah paling ujung juga terlambat menerima pasokan air, sehingga baru mengalami musim tanamnya juga terlambat di banding daerah lain.

Upaya merangsang petani melakukan penangkapan tikus, juga ditempuh dengan berbagai cara, di antaranya membeli imbalan untuk setiap hasil tangkapan hewan pengerat tersebut.

"Setiap ekor tikus, ada yang dihargai Rp500 hingga Rp800, sesuai dengan tingkat kesulitan dalam mendapatkan hewan tersebut," ujar salah seorang petani asal Desa Undaan Tengah, Akrab.

Dengan cara tersebut, katanya, anggaran yang harus disediakan khusus untuk memberantas hama tikus memang besar, karena bisa mencapai puluhan juta.

" Agar hasilnya lebih maksimal, tentunya dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk bertindak proaktif," ujarnya.

Petani Dituntut Kreatif
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kudus Zainal Arifin menganggap petani dituntut berpikir kreatif dan cerdas dalam menyikapi kondisi alam yang mengalami perubahan, termasuk keberadaan predator tikus yang sudah punah.

"Kondisi yang terjadi saat ini, memang terjadi gangguan rantai makanan, menyusul punah atau sedikitnya predator tikus. Akan tetapi, dengan zaman yang sudah modern tentunya manusia tidak boleh kalah dengan tikus," ujarnya.

Ia mengakui, pemberantasan dengan cara "gropyokan" massal memang bisa membuahkan hasil yang maksimal dalam mengendalikan serangan hewan pengerat tersebut.

Akan tetapi, lanjut dia, cara tersebut membutuhkan kerja sama semua petani yang harus dijaga secara berkelanjutan.

Apalagi, kata dia, setiap ekor tikus bisa beranak hingga 12 ekor dan dalam durasi waktu yang tidak terlalu lama, bisa kembali bunting untuk kembali menghasilkan anak hingga belasan ekor.

Cara lain yang bisa ditempuh, yakni dengan memunculkan varietas padi baru yang memiliki usia pendek untuk areal tanaman padi yang berada di wilayah paling ujung atau paling akhir mendapatkan pasokan irigasi.

Dengan adanya varietas baru tersebut, diharapkan upaya pola tanam serempak bisa dilakukan, terutama untuk petani yang memiliki areal lahan di daerah paling ujung atau daerah yang sering terlambat menerima gelontoran air irigasi.

Budi Santoso menambahkan, petani zaman sekarang memang dituntut berfikir kreatif, memunculkan ide-ide baru dalam mengatasi permasalahan hama, terutama hama tikus.

Sebetulnya, kata dia, di Kudus terdapat salah seorang petani asal Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, yang menemukan ramuan untuk mengusir tikus.

Bahan yang digunakan untuk membuat ramuan pengusir tikus tersebut, katanya, menggunakan bahan alami, seperti jengkol, laos serta beberapa bahan lainnya.

Ramuan tersebut, katanya, sudah mendapat pengakuan, karena saat mengikuti lomba tingkat nasional berhasil menjadi juara.

"Ketika ramuan tersebut disemprotkan ke areal tanaman padi, maka dalam jarak satu meter tikus yang mencium bau tersebut tidak akan mendekat," ujarnya.

Untuk saat ini, kata dia, Dinas Pertanian Kudus masih melakukan pengkajian efektivitasnya dalam mengatasi hama tikus tersebut.

Dengan adanya ramuan tersebut, diharapkan petani di Kudus tidak terlalu mengkhawatirkan persoalan hama tikus yang setiap musim tanam menyerang areal tanaman padi petani.

Berdasarkan hasil pendataan sebelumnya, terdapat 220 hektare dari luas areal tanaman padi 12.648 hektare yang diserang tikus.

Serangan hama tersebut berjadi secara sporadis dan tidak merata di setiap areal tanaman padi petani.

Adapun luas areal sawah yang diserang untuk Kecamatan Undaan seluas 215 hektare, Kecamatan Jekulo tiga hektare, dan Kecamatan Jati empat hektare.

Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025