Haruskah Evaluasi Guru Berhenti Pascasertifikasi?
Kamis, 24 Mei 2012 14:14 WIB
Sampai saat ini memang belum semua guru telah tersertifikasi, mengingat salah satu syaratnya adalah guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tetap yayasan, dan masih ada guru berstatus honorer.
Meski demikian, setidaknya sampai saat ini sudah cukup banyak guru yang sudah mengantongi sertifikasi profesi yang dampak positifnya juga mendapatkan tunjangan profesi setiap bulan sebesar satu kali gaji pokok.
Tentunya, tunjangan profesi yang didapatkan guru yang telah tersertifikasi itu turut menyumbang peningkatan kesejahteraan para kaum pendidik, berbeda dengan dulu yang kurang diperhatikan nasibnya oleh pemerintah.
Tunjangan profesi atau apapun sebutannya sebenarnya diberikan untuk dua tujuan, yakni meningkatkan kompetensi guru, sekaligus meningkatkan kesejahteraan guru, namun tujuan pertama dinilai belum bisa tercapai optimal.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Semarang Ngasbun Egar mengakui memang tidak semua guru, namun ada beberapa guru yang sudah tersertifikasi namun tak diiringi dengan peningkatan kompetensi.
Padahal, tunjangan profesi yang didapatkan guru tersertifikasi itu dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan kompetensi mereka, misalnya membeli laptop untuk sarana pembelajaran, berlangganan surat kabar, dan sebagainya.
Banyak cara sebenarnya yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan terus kompetensinya, tidak lantas mandek meningkatkan kompetensi setelah tersertifikasi dan setelah merasakan enaknya tunjangan profesi.
Ngasbun yang juga Wakil Rektor I Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang itu terus menyuarakan pentingnya guru-guru yang sudah tersertifikasi ini dievaluasi kembali kinerja profesinya.
"Kepala sekolah sebagai orang yang paling tahu kondisi sekolah yang dipimpinnya memiliki peran paling penting dalam mengevaluasi kinerja kembali guru-guru di sekolahnya yang sudah tersertifikasi," ungkapnya.
Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Semarang Sutomo mengaku secara berkala selalu melakukan evaluasi terhadap kinerja seluruh guru di sekolah tersebut, termasuk guru-guru yang sudah tersertifikasi.
Supervisi kelas, kata dia, dengan memantau jalannya pembelajaran di kelas dijadikan salah satu tolok ukur menilai kinerja guru dalam aspek pedagogis, sejauh mana guru menjalankan tugasnya mengajar di kelas.
Tak cukup dengan itu, selama sembilan tahun dirinya memimpin SMP berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) itu juga melakukan evaluasi dalam tiga kompetensi lain, bahkan sebelum ada program sertifikasi.
"Dari kompetensi profesional misalnya kedisiplinan waktu guru dalam mengajar, masuk sekolah, dan pulang bekerja. Semua kan sudah diatur jamnya, jadi tidak bisa seenaknya datang terlambat dan pulang lebih awal," katanya.
Dari evaluasi yang dilakukan, Sutomo mengakui sampai sejauh ini memang belum menemukan penurunan kinerja gurunya, bahkan untuk guru yang telah tersertifikasi pun diakuinya mengalami peningkatan, meski tidak signifikan.
Kalau meningkat sangat pesat kinerjanya memang tidak, lanjutnya, namun setidaknya ada sedikit peningkatan dibandingkan sebelum mereka tersertifikasi, baik dalam kompetensi profesional, pedagogis, kepribadian, dan sosial.
Kesejahteraan Meningkat
Menyoal kesejahteraan guru yang telah tersertifikasi, Sutomo pun mengakui secara tidak langsung memang berimbas pada meningkatnya kesejahteraan mereka yang diharapkan sejalan dengan peningkatan kompetensi guru.
"Tujuan diberikannya tunjangan profesi bagi guru kan memang dalam rangka membantu meningkatkan kompetensi dan kinerja mereka, misalnya melengkapi sarana pembelajaran diri dengan membeli laptop," katanya.
Namun, ungkap dia, tentunya tidak mungkin semua tunjangan profesi itu dibelanjakan untuk keperluan penunjang kegiatan kerja, sebab bagaimanapun juga tunjangan itu dimaksudkan pula untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Menyikapi hal itu, Enny Setyawati (53), guru bimbingan konseling (BK) SMP Negeri 2 Semarang mengatakan tunjangan profesi yang diberikan kepada guru yang telah tersertifikasi merupakan tanggung jawab yang diberikan pemerintah.
"Tanggung jawab bagaimana? Ya tanggung jawab profesi guru untuk terus meningkatkan kompetensinya. Tunjangan profesi ini menjadi pelecut semangat bagi guru untuk terus maju dan terus mengembangkan dirinya," katanya.
Enny yang lulus sertifikasi pada 2008 itu mengakui penyikapan guru terhadap tunjangan profesi yang diterimanya tentunya bergantung pada pribadi masing-masing, namun ibu dua anak itu menyikapinya sebagai amanah.
Bagi guru yang mengantongi dua gelar sarjana, yakni tata boga dan pendidikan BK itu, setelah tersertifikasi tak lantas membuatnya bersikap seenaknya, sebab tanggung jawab yang dipikul setelah tersertifikasi berat.
"Saya merasa harus bertanggung jawab dengan sertifikasi yang didapatkan. Waktu itu, saya merupakan satu-satunya guru BK yang lolos sertifikasi portofolio, tanpa harus melalui pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG)," katanya.
Apalagi, kata dia, tunjangan profesi selalu disalurkan sejak dirinya dinyatakan lulus sertifikasi, meski pencairannya tidak setiap bulan melainkan dalam jangka waktu tiga bulan atau enam bulan sekaligus.
"Tidak ada masalah selama ini dengan tunjangan profesi. Ya memang tidak setiap bulan cair, biasanya memang dirapel dalam jangka tiga atau enam bulan. Yang penting kan tetap cair, saya tetap bersyukur," katanya.
Tentang profesionalitasnya sebagai guru, perempuan kelahiran Semarang, 14 Maret 1959 itu mengaku berupaya menjaga profesionalitasnya, di samping tiga aspek kompetensi yang dimaksudkan dalam sertifikasi guru.
Kalau soal profesional, ia mengakui sebenarnya dengan sendirinya sudah menjadi tuntutan di SMP Negeri 2 yang berstatus RSBI untuk mempertahankan prestasi, dan diupayakan justru untuk terus meningkatkan prestasi.
"Sebenarnya bukan hanya tuntutan bagi saya, namun seluruh guru di sini. Sebagai RSBI tentunya kami malu jika kalah dengan sekolah lain, apalagi yang non-RSBI. Itu yang menjadi pelecut semangat kami," katanya.
Bahkan, ungkapnya, pulang kerja jam lima sore (pukul 17.00 WIB, red.), pukul 19.00 WIB, maupun jam 10 malam pun menjadi hal yang biasa bagi kalangan guru SMP Negeri 2, demi bekerja keras meningkatkan mutu pembelajaran.
Meski demikian, belum seluruhnya guru di Indonesia yang telah merasakan tunjangan profesi, mengingat belum semuanya tersertifikasi. Di SMP Negeri 2 Semarang pun masih ada 14 guru yang belum tersertifikasi.
Di Kota Semarang, berdasarkan data Dinas Pendidikan setempat mencatat masih ada 6.978 guru yang belum tersertifikasi, sementara guru yang sudah tersertifikasi sejak 2006-2011 tercatat sebanyak 7.108 guru.
Perincian guru tersertifikasi di Kota Semarang, pada 2006 tersertifikasi 180 guru, pada 2007 tersertifikasi 872 guru, kemudian pada 2008 ada 1.205 guru, pada 2009 (1.711 guru), 2010 (1.361 guru), dan 2011 sebanyak 1.779 guru.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025