Logo Header Antaranews Jateng

Serangga yang Menggiring Tarian Topeng Saujana

Senin, 25 Maret 2013 17:03 WIB
Image Print
Sejumlah penari membawakan tari Topeng Saujana pada rangkaian pentas tari Topeng Jagad di panggung terbuka Studio Mendut, Mungkid, Magelang, Jateng, Sabtu (1/10) malam. Tari Topeng Saujana menggambarkan tingkah laku berbagai jenis serangga dan hama p


Mereka juga tak bermaksud secara khusus menjalani riset terlebih dahulu terhadap serangga untuk melahirkan karya baru yang kemudian diberi nama tarian "Topeng Saujana", sebagai pengayaan atas kesenian yang digeluti sebelumnya, terutama kriya topeng dan beberapa tarian tradisional setempat.

Kehidupan sehari-hari pedesaan dengan alam pertanian yang subur untuk aneka sayuran itu, antara lain tak lepas dari amatan mereka yang warga Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang itu, terhadap gerak-gerik dan karakter serangga.

"Sejak kecil kami melihat kehidupan serangga-serangga di sawah dan pekarangan," kata Jono panggilan akrab pemimpin kelompok seniman petani setempat itu.

Jono sebelumnya menjalani kehidupan bersama keluarganya sebagai petani dan pembuat topeng secara autodidak. Hasil kerajinan topengnya yang antara lain bentuk-bentuk serangga, menjadi langganan pasar di Bali hingga tragedi Bom Bali I pada 2002.

"Setelah Bom Bali itu, setoran ke sana jadi sepi," katanya.

Pergulatan Jono dengan komunitasnya berkesenian rakyat sebagai bagian holistis dari kehidupan pertanian desanya, sampai di satu tonggak penting pada 2007 melalui pentas uji coba tarian baru grup tersebut, di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.

Berbagai kesempatan pementasan sebelum itu, mereka biasa mengusung sejumlah tarian tradisional desanya, seperti kuda lumping dan topeng ireng.

Dalam pergelaran kesenian di Studio Mendut pada era 2007 itu, mereka belum memberi nama atas tarian baru dengan properti utama topeng kayu berbentuk aneka serangga.

Pementasan tarian serangga menuangkan ciri khas spesias tersebut. Dukungan seni lukis tubuh para penarinya dengan komposisi pewarnaan yang ekstrem dan motif serangga secara detail, barangkali membuat penonton menjadi terperangah.

Setelah pementasan perdana itu, katanya, beberapa penonton yang antara lain kalangan seniman, penikmat seni, dan pemerhati budaya memberikan masukan untuk nama tarian tersebut, antara lain "Tari Keron" dan "Tari Pewalangan" (dunia serangga, red.).

Saujana
Seorang pengajar yang juga peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Laretna T. Adhisakti menyampaikan pentingnya tarian itu diberi nama "Topeng Saujana".

"Kata 'saujana' sama sekali tidak kami mengerti. Asing ketika itu. Saya sendiri sempat 'mengira-ira' (menduga, red.), apa karena nama saya 'Sujono' lalu ini ada kata 'Saujana'. Kami tanyakan kepada beliau, yang ternyata artinya sejauh mata memandang," katanya.

Komunitas itu kemudian sepakat memberi nama karya baru mereka yang mengusung tingkah polah berbagai serangga itu sebagai tarian "Topeng Saujana".

Bahkan, kelompok mereka yang dirintis dengan nama "Ngesti Budaya", kemudian berganti julukan menjadi "Sanggar Saujana". Hingga saat ini, komunitas tersebut beranggota sekitar 70 orang, khususnya kalangan pemuda dusun setempat.

Tarian "Topeng Saujana" dimainkan oleh 10 penari dengan mengenakan topeng yang masing-masing menggambarkan berbagai serangga yang oleh masyarakat lokal desa setempat disebut "wawung", "walang", "dheye", "orong-orong", "gasir", "tongkeret", "ogok-ogok", "capung", "coro", dan "laler".

Alat musik pengiring tarian itu, masing-masing satu truntung, kendang, dan bedug, serta 10 bende, sedangkan tarian tersebut pada umumnya mereka pentaskan berdurasi 15 menit, terdiri atas lima komposisi (I-V).

Jika penonton menyimak dan menikmati secara saksama rangkaian gerakan penari, tarian "Topeng Saujana" menyerupai gerak-gerik berbagai serangga, antara lain meloncat mirip dengan loncatan "gasir", gerakan tangan mirip dengan "deye", langkah kaki dan adegan pertarungan mirip dengan "wawung", sedangkan gerakan terbang mirip dengan "capung".

"Dasar gerakannya memang mengikuti polah tingkah dan karakter serangga," katanya.

Tarian "Topeng Sujana" dengan "Sanggar Saujana", saat ini menjadi ikon komunitas tersebut, dengan pementasan di berbagai kota yang tak mampu mereka hitung lagi.

Hingga saat ini, mereka telah mengusung karya tarian itu, antara lain di Candi Borobudur dengan kawasannya dan Studio Mendut (Magelang), Museum Ronggowarsito (Semarang), Rumah Pintar (Yogyakarta), dan Tugu Proklamasi (Jakarta).

Mereka juga mengusung tarian "Topeng Saujana" saat pergelaran Solo International Performing Arts (SIPA), di Kota Solo pada 2010.

Selain itu, mereka mementaskannya pada agenda seni dan budaya tahunan secara mandiri, diselenggarakan oleh para seniman petani Magelang yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), yakni Festival Lima Gunung. Kelompok mereka juga menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung.

Ketika tarian "Topeng Saujana" dipentaskan, komunitas seniman petani itu bukan hanya ingin menunjukkan keragaman serangga dengan karakternya masing-masing, kepada siapa saja yang menyaksikan. Apalagi sekadar menunjukkan diri bahwa orang desa juga mampu membuat karya tari baru.

Akan tetapi, melalui pementasan tersebut, mereka ingin mengajak penonton sampai kepada tataran pemantapan kesadaran batin bahwa perjalanan hidup tidak mulus-mulus saja.

Perjalanan hidup selalu ada hama, sebagaimana beberapa jenis serangga sering dianggap mengganggu pertumbuhan tanaman sayuran dan mengakibatkan petani di kawasan antara Gunung Merapi dengan Merbabu itu gelisah.

"Biarpun petani selalu memberantas serangga yang mengganggu tanaman pertaniannya, serangga akan tetap ada. Itu kodrat. Dalam hidup juga begitu, selalu ada hambatan. Tinggal kita mau bagaimana bersikap," katanya.

Tarian "Topeng Saujana" karya komunitas petani "Sanggar Saujana" rupanya telah menjadi jalan mereka mengantarkan siapa saja, untuk sejauh mata hati memandang pernik kehidupan dengan lingkungannya.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024