Logo Header Antaranews Jateng

Mereka "Gugah Taksu" untuk Jalan Kebudayaan

Minggu, 12 Mei 2013 19:32 WIB
Image Print
Anggota grup kuda lumping "Singodilogo" Dusun Gumuk, di kawasan barat Gunung Merapi mementaskan tariannya saat pergelaran "Gugah Taksu" di pendopo Sanggar Bangun Budaya Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Sabtu (11/5) malam. (Hari Atmok


Dia menyilakan siapa saja yang hadir dalam pergelaran itu, untuk mengecek pembukuan mengenai biaya acara pada Sabtu (11/5) hingga tengah malam tersebut, yang melibatkan beberapa grup kesenian baik di dusun-dusun sekitar maupun beberapa kelompok kesenian dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Hanya Rp500.000 untuk semua ini. Lainnya modal serawung dan gereget masyarakat berkesenian dan hidup dari jalan kebudayaan desa," kata Untung yang memimpin sekitar 60 pegiat sanggar kesenian itu.

Sejak setahun terakhir, kiprah berkebudayaan lokal melalui sanggar itu terkesan makin kuat, khususnya setelah selesai pembangunan pendopo sanggar berukuran 64 meter persegi di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang itu. Anggota sanggar, terutama kalangan anak-anak dan pemuda desa setempat.

Anggota Sanggar Bangun Budaya hingga saat ini bergiat dalam kesenian tradisional berupa tarian "Campur", "Ndayak Grasak", teater dan drama, musik gamelan. Sanggar itu memiliki seperangkat gamelan pelog terbuat dari besi.

Mereka juga menjalankan program "Srawung Gunung" dengan membuka kesempatan kepada berbagai kalangan untuk mengembangkan pembelajaran tentang kebudayaan lokal melalui berbagai bentuk kesenian rakyat dan pertanian di desa setempat.

Ia menyebut beberapa sekolah di Jakarta telah mengirimkan murid-muridnya untuk mengikuti program tersebut. Beberapa bulan lalu, sekelompok guru Bahasa Indonesia di Australia juga tidak melewatkan program tersebut.

Pada malam tersebut, mereka memperingati setahun berdiri Sanggar Bangun Budaya. Bentuk peringatannya, dipastikan tidak lepas dari kekuatan budaya dan kesenian desa, antara lain melalui tradisi kenduri, pentas drama, pembacaan puisi dan geguritan, tarian kontemporer, tradisional, pantomim, performa seni, dan musik tradisional serta kontemporer.

Sekitar 15 ragam pementasan baik oleh anggota sanggar itu, grup kesenian beberapa dusun tetangga, maupun kelompok seniman dari Yogyakarta, menjadi tontonan, khususnya warga lereng barat Gunung Merapi.

"Kami angkat nama 'Gugah Taksu', untuk membangun semangat lebih kuat lagi untuk kami melangkah ke depan melalui jalan kebudayaan dan kearifan lokal," katanya.

Jadi tradisi
Taksu adalah kosa kata dalam bahasa Bali yang artinya kharisma. Entah dari mana Untung yang orang desa di lereng Merapi tersebut, menemukan kosa kata itu.

Namun, diperkirakan hal tersebut tidak lepas dari pergaulan para pegiat sanggar itu dengan jejaringnya, terutama Padepokan "Tjipto Boedojo" di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, relatif tak jauh dari sanggat tersebut.

Untung Pribadi juga sebagai anggota keluarga padepokan berbasis kesenian wayang orang yang didirikan pada 1937 oleh Romo Yoso Sudarmo (1885-1990).

Keluarga padepokan itu, hingga saat ini bertekun dalam tradisi pentas wajib empat kali dalam setahun, yakni untuk merayakan tahun baru dalam kalender Jawa, Suro, peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, Idulfitri, dan HUT Republik Indonesia.

Boleh dibilang bahwa Sanggar Bangun Budaya, adalah anak kebudayaan Padepokan "Tjipto Boedojo".

"Kalau taksu tidak digugah, akan tidur, bertapa. Tema itu kami angkat, supaya anak-anak makin kreatif dalam berkesenian. Kami bisa tukar pengalaman dengan seniman-seniman lain untuk jalan kebudayaan yang kami tempuh. Untuk hidup supaya makin hidup," kata Untung yang sehari-hari juga sebagai petani desa setempat itu.

Namun, katanya, tema itu dipilih juga sebagai ungkapan cara pandang masyarakat desa terhadap sosok pemimpin saat ini yang mestinya rendah hati, mendengarkan suara hati rakyat, mengutamakan sopan santun dan bisa menjadi teladan dalam berperilaku, bersikap, serta bertutur kata.

"Jiwa kepemimpinan juga harus digugah, harus berkharisma. Kalau pemimpin mau diikuti orang banyak, dia juga harus mau belajar tentang kehidupan masyarakat, rendah hati, dan sopan santun," katanya.

Pergelaran "Gugah Taksu" dimulai dengan kenduri warga, dipimpin sesepuh Padepokan "Tjipto Boedojo" Danuri. Puluhan warga duduk bersila di atas tikar pendopo tersebut. Merekamengelilingi berbagai sesaji, antara lain "tumpeng rasul", "tumpeng pasar", jenang merah dan putih, bunga dan kemenyan, lauk pauk, serta sayuran.

Danuri yang salah satu di antara tujuh putra Romo Yoso itu, memimpin doa dalam kenduri dengan menggunakan bahasa Jawa. Doa itu isinya, antara lain memohon agar kehidupan sanggar tersebut berumur panjang dan masyarakat hidup dalam ketenteraman, terbebas dari bencana, dan mendapatkan berkah dari Tuhan.

Anggota sanggar itu kemudian memulai pergelaran dengan pentas drama berjudul "Harapan dan Impian". Pesan dari pentas itu terkesan ingin menyuarakan ketekunan manusia menempuh jalan hidup bersama lingkungan alam dan kebudayaannya, khususnya menyangkut proses pembelajaran tentang makna kehidupan.

Berbagai pementasan lainnya, seperti tarian "Jatilan" (Grup Singodilogo, Dusun Gumuk, Desa Sumber), performa seni "Kalanari" (ISI Yogyakarta), tarian "Ronda" (karya Rita, anggota Sanggar Bangun Budaya), pantomim "Topeng Moyet" (Bengkel Mime Yogyakarta), tarian "Langit dan Bumi",serta "Pupus" (Padepkan "Tjipto Boedojo"), pembacaan puisi "Temanku" oleh Atika (Studio Mendut), pentas musik gamelan kontemporer "Bulu Babi" (Sanggar Bangun Budaya).

"Kalau binatang begitu lahir, bisa jalan, lalu makan, menjadi dewasa, dagingnya dimakan. Tetapi manusia begitu lahir, kemudian harus melalui proses panjang, mencari ilmu, mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia selalu ingin berkarya untuk dikenang. Jangan mimpi langsung terkenal karena butuh proses panjang hingga bendera yang berkibar kelak bisa dipandang dengan bagus," kata Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan"Tjipto Boedojo".

Jalan kebudayaan yang antara lain melalui kesenian itu, katanya, menjadi bagian kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun bersama dengan lingkungannya, untuk membangun hidup yang lebih indah.

Jagat kesenian di desa, katanya, bukan tumpuan penghidupan masyarakatnya, akan tetapi jalan untuk bergaul dan berinteraksi, termasuk memperluas wawasan warga.

Ia mencontohkan tentang Sunan Kalijaga yang sebagai penyebar agama Islam di Jawa pada masa lampau. Ia juga sosok seniman dengan karya-karyanya yang hingga saat ini dikenal masyarakat. Sunan Kalijaga menjalani proses kehidupannya yang panjang, hingga menciptakan pencerahan melalui kesenian dan memadukan antara kebudayaan lokal dengan agama.

Tentang proses perjalanan hidup yang harus ditempuh manusia, rupaya juga diungkapan Eka Pradaning, seniman Sanggar Tapak Liman, Kecamatan Candi Mulyo, Kabupaten Magelang, melalui geguritan "Ngluru Pletheking Ebun" (Mencari Munculnya Embun).

"'Sedyaku iki ora bakal kandhek ing wektu sawengi. Kang isih atis kinemulan mega lan ampak-ampak. Kekes mbalung sungsum ngorak-arik ati lan wewangenan. Nanging panyawangku ora bakal wuri. Nuntun sikilku jumangkah tumuju. Sakdurunge srengenge ambyar sunar tejane. Pletheking ebun kang dak luru dak wengku, dak nggo mbasuh ati lan jiwangga, sakranduning raga. Kareben lakuku tansah ening tulis mahening'," demikian bait terakhir di antara empat bait geguritan tersebut.

Kira-kira arti kalimat dalam bait tersebut, "Keinginanku tidak akan berhenti hanya semalam, dengan dingin mega dan kabut yang menusuk tulang, serta memporak-porandakan hati dan angan-angan. Akan tetapi pandanganku akan ke depan menuntun langkah kaki. Sebelum matahari terbit, munculnya embun aku cari untuk membasuh jiwa dan raga, supaya langkahku selalu tulus".

Budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut mengemukakan manusia yang menempuh jalan kebudayaan harus memiliki energi yang lengkap dan holistis sehingga lahir menjadi sosok yang berkharisma.

Figur kharismatis, katanya, terjadi karena hasil dari pergulatan panjang antara raga dengan batin.

"Hidup itu lengkap, tidak politik saja, atau ekonomi atau seniman saja, atau kebudayaan saja. Kalau hanya satu aspek maka tidak berumur panjang. Kebudayaan itu menyangkut olah tani, bencana alam, pasir Merapi, menu makanan, kepercayaan, perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, keamanan, pergaulan. Semua itu, kebudayaan yang melahirkan kemajuan anak cucu kita," katanya.

Kalau "Gugah Taksu" berani mereka usung, tentunya telah terjadi kristal-kristal optimisme bahwa jalan kebudayaan bakal mengantarnya kepada pencapaian wujud nilai kehidupan.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025