Diskriminasi Terlembaga terhadap Kelompok Penghayat Kepercayaan
Rabu, 30 Oktober 2013 16:11 WIB
Bentuk 'penjajahan' itu terlembaga dan bermula dari pencantuman identitas agama di kartu tanda penduduk. Walau Mahkamah Konstitusi sudah membuat putusan bahwa negara tidak berhak membatasi enam agama resmi pada tahun 2009, dalam pembuatan KTP dan E-KTP agama-agama lokal tidak diakomodasi alias masih terdapat tanda setrip.
Pemasalahan bermunculan karena tanda 'strip' bermakna jamak. Nyonya Dian Jeani dari Sapto Darmo, Surabaya, menceritakan bagamana anak-anak penghayat diolok-olok sebagai kafir ketika menjelaskan sebagai penganut penghayat.
Karena sekolah tidak menyediakan pelajaran agama penghayat, anak-anak penghayat dipaksa ikut pelajaran agama Islam, termasuk menjalankan praktik salat. Akibatnya, anak-anak stress walau dalam UU Sisdiknas mewajibkan sekolah menyediakan mata pelajaran agama bagi semua siswa sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Posisi para penghayat menjadi makin rawan, tidak terlindungi secara hukum walau di dalam UUD 1945 Pasal 29 dijamin hak beragama mereka ketika dihadapkan dengan ormas-ormas agama yang antipluralitas.
Di Jambi para penganut agama lokal/penghayat di-sesat'-kan oleh ormas agama setempat dan rawan jadi sasaran kekerasan baik simbolik maupun fisik sebagamana yang sudah terjadi di Jawa Barat.
Semua fakta tersebut, diungkap oleh 15 perempuan yang merupakan perwakilan dari 12 kelompok penghayat dalam pengaduan ke Fraksi PDI Perjuangan, Selasa (29/10).
Mereka di bawah koordinasi ANBTI (Aliansi Bhinneka Tunggal Ika) dipimpin oleh Ketua ANBTI Nia Syarifudin menemui Wakil Ketua Bidang Pengaduan Masyarakat Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Eva Kusuma Sundari.
Mereka menuntut agar pencantuman agama dihilangkan dari KTP karena sumber diskriminasi selain perlunya penegasan negara atas eksistensi agama-agama lokal di Nusantara sebagaimana Putusan MK.
"Ibu-ibu mengeluhkan statemen Mendagri agar pemda-pemda merangkul FPI. Mereka merasa seperti diumpankan ke ormas-ormas pelaku kekerasan yang dalam strateginya memolitisasi agama," kata Eva K. Sundari yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI.
Pewarta : Kliwon
Editor:
Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2024