Logo Header Antaranews Jateng

Pemerintah Harus Punya Posisi Tawar Soal Minerba

Sabtu, 11 Januari 2014 18:01 WIB
Image Print
Sejumlah pemerhati lingkungan dari Forum Kepri Bangkit mempertontonkan teatrikal konflik pertambangan yang terjadi antara warga dan perusahaan tambang bauksit di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Sabtu (14/7/12). Selain kerusakan lingkungan akibat penam


Pernyataan Direktur Indonesia Mining and Energy Studies (IMES) Erwin Usman itu sehubungan dengan keputusan pemerintah melakukan revisi sehubungan dengan pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2013.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Pertambangan dan Energi Indonesia atau Indonesia Mining and Energy Studies (IMES) itu lantas menekankan, "Pemerintah mesti tegas terhadap pelarangan ekspor bagi perusahaan pemegang kontrak karya (KK), hingga mereka selesai membangun pabrik pemurnian dalam negeri."
Kewajiban pemegang KK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri lima tahun sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

"Operasi produksi perusahaan pemegang KK sudah berpuluh tahun di Indonesia. Keuntungan mereka sudah sangat banyak. Waktu lima tahun harusnya cukup. Pengawasan Pemerintah yang lemah dan terlalu kompromistis menjadikan waktu terbuang percuma," kata Direktur IMES Erwin Usman dalam siaran persnya, Sabtu (11/1).

Lima tahun ini, kata Erwin Usaman, tidak ada satu pun pemegang KK tersebut yang selesai sepenuhnya membangun smelter dan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Padahal, ketentuan dalam UU Minerba yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian dalam negeri, khususnya bagi KK. Dalam Pasal 170, hal itu sudah jelas diatur.

Terhadap pemegang izin usaha pertambangan (IUP/IUPK), pihaknya mengusulkan agar Pemerintah memberi kebijaksaan untuk tetap ekspor dengan batas waktu tiga tahun sambil mereka tetap menyelesaikan proses pembangunan smelter.

Alasannya, poin awal (starting point) IUP/IUPK berbeda dengan pemegang kontrak karya yang notabene milik asing. Pemegang KK sudah beroperasi puluhan tahun lamanya. Namun, pada kenyataannya pemegang IUP baru tumbuh pada periode 3-7 tahun terakhir. "Ini juga untuk mendukung majunya dunia usaha pertambangan nasional," ujarnya.

Pemberian waktu untuk tetap ekspor selama tiga tahun, menurut Erwin Usman, mesti didukung dengan pengawasan dan tersedianya norma hukum yang ketat dan mengikat dari Pemerintah.

Sanksi tegas hingga pencabutan kontrak dan IUP mesti diterapkan oleh Pemerintah bagi pemegang IUP yang tidak bersedia membangun smelter dan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri setelah waktu tiga tahun atau tahun 2017.

Pemerintah mesti segera menyiapkan cetak biru dan peta jalan sebagai petunjuk teknis bagi pelaksanaan program hilirisasi serta membenahi soal koordinasi lintas kementerian yang lemah.

"Adalah suatu tanda tanya besar, jika Pemerintah justru memberikan kelonggaran khusus pada perusahaan pemegang KK, dan melarang total ekspor bagi penambang nasional," Direktur Eksekutif IMES Erwin Usman.


Pengusaha Harus Patuh
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 mewajibkan pengusaha pertambangan untuk membangun pemurnian dan pengolahan smelter di Indonesia serta pelarangan ekspor bijih mineral harus dipatuhi oleh para pengusaha tambang di Tanah Air.

"Ini merupakan kesempatan bagi pembenahan industri pertambangan yang selama ini hanya mengeksploitasi dan mengeruk bahan mentah pertambangan," kata Sekjen KPA Iwan Nurdin dalam surat elektroniknya kepada Antara, Sabtu (11/1).

Perubahan tata kelola tambang, menurut dia, akan mendorong lahirnya industri tambang yang lebih meluaskan kesempatan kerja produksi rakyat, khususnya buruh tambang.

KPA sangat menyayangkan atas keberatan perusahaan tambang mengelola bijih mineral di dalam negeri. Hal tersebut adalah cerminan ketidakmampuan dan ketiadaan kemauan yang kuat bagi pengusaha tambang untuk memulai suatu era baru industri tambang ke arah pengembangan pengelolaan bijih mineral di dalam negeri.

"Kami juga kecewa dengan ketegasan Pemerintah yang goyah akibat tekanan pengusaha tambang untuk merevisi UU Minerba dan PP No. 23/2011," katanya.

Ketegasan Pemerintah juga akan diuji dari peraturan turunan yang mengatur berapa persen kemurnian yang diwajibkan untuk pengolahan bijih mineral dalam negeri. Pemerintah seakan tunduk akan tekanan pengusaha atas larangan ekspor dan kewajiban melakukan hilirisasi.

KPA menilai bahwa ketidakmampuan pengusaha dan ketiadaaan tekad menjalankan PP No. 23/2010 adalah bukti pengusaha tambang hanya mau sekadar mengeruk dan mengekspor bahan mentah tanpa berkeinginan meningkatkan nilai tambah bijih mineral yang dalam prosesnya akan memperluas lapangan kerja dan mendukung industri nasional dalam negeri.

Dalam PP No. 23/2010 Pasal 112 Angka 4 Huruf C disebutkan bahwa perusahaan tambang melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat lima tahun sejak berlakunya UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dengan kata lain, mereka diminta membuat smelter sebelum 12 Januari 2014.

Menurut data Jaringan Advokasi Tambang di penghujung 2013, sekitar 45 persen wilayah Indonesia telah dikaveling untuk bisnis pertambangan dan ada lebih dari 11.000 izin di atasnya. Bahkan, selama 2013 pertambangan menjadi ruang lonflik agraria struktural yang besarnya mencapai 38 konflik agraria di areal seluas 197.365,9 hektare.

Sektor tambang telah terbukti merampas ruang hidup rakyat dengan praktik eksploitasi bahan mentah dan menjualnya dengan harga murah. Lebih lagi kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan merampas kesempatan rakyat sekitar pertambangan dapat memetik manfaat pascapenambangan.

Keengganan para pengusaha tambang harus disikapi oleh serikat buruh pertambangan sebagai suatu kesempatan pengambilalihan perusahaan tambang oleh pekerja/buruh tambang serta masyarakat sekitar tambang melalui koperasi-koperasi rakyat.

Menurut dia, ancaman PHK bagi pekerja tambang karena alasan pembangunan pemurnian dan pengolahan smelter adalah sebuah propaganda yang menyesatkan. Perubahan tata kelola bijih mineral karena berjalannya PP No. 23/2010 dan penolakan para pengusaha tambang mematuhinya telah menandai era kesempatan ekonomi politik rakyat dalam mengelola sumber kekayaan alamnya sendiri.

Hal itu sejalan dengan pelaksanaan konstitusi UUD 1945 Pasal 33 Ayat (1), perekonomian disusun atas sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; Ayat (2), cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Ayat (3), Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pemerintah harus membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pekerja dan masyarakat sekitar tambang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber kekayaan alam khususnya tambang. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 5 /1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria bahwa bumi, air, dan kekayaan alam mempunyai fungsi yang amat penting membangun masyarakat yang adil dan makmur, termaktub dalam Pasal 2 UUPA 1960 Ayat (1).

Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Ayat 2, hak menguasai dari Negara termaksud dalam Ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

Selain itu, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Ayat (3) wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal itu digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil, dan makmur.

Kekuatan dan jumlah rakyat Indonesia yang melimpah adalah potensi nasional yang harus menjadi basis pijakan pengelolaan sumber kekayaan alam, khususnya pertambangan.

Pewarta :
Editor: Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2024