
Mampukah DPR Tuntaskan Pembahasan RKUHAP?
Kamis, 30 Januari 2014 21:56 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya memiliki waktu kerja selama sembilan bulan untuk menyelesaikan tugasnya pada periode ini, yaitu terhitung dari 15 Januari 2014 (pembukaan Masa Sidang III Tahun Persidangan 2013-2014) sampai dengan 1 Oktober 2014 (pelantikan anggota DPR periode 2014--2019).
Dengan alasan itulah, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KuHAP) mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Hukum Acara Pidana atau lebih populer dengan sebutan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) pada periode DPR ini (2009--2014) sekaligus mendorong agar pembahasan dilakukan pada periode DPR mendatang (2014--2019).
Hal itu juga disertai dinamika pemilihan umum baik pemilu anggota legislatif (9 April 2014) maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI (9 Juli 2014), yang tentu menguras cukup banyak perhatian dan tenaga dari anggota DPR, khususnya Panitia Kerja (Panja) RKUHAP.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting yang mengatasnamakan KuHAP mengemukakan alasannya, antara lain waktu yang tersedia sangat singkat, sementara di sisi lain, secara kuantitas jumlah pasal dan daftar isian masalah yang dibahas relatif cukup banyak atau sebanyak 1.169 daftar isian masalah.
Secara kualitas, materi yang dibahas juga cukup kompleks, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan berdampak luas pada struktur hukum serta hak asasi manusia (HAM). Padahal, substansi KUHAP sangat penting dan fundamental bagi jalannya proses peradilan pidana.
"Apabila dipaksakan dalam kondisi dan waktu yang tidak mendukung, tentu akan berpengaruh pada kualitas substansi yang dihasilkan," kata Miko.
Di lain pihak, konstelasi Pemilu 2014 dan transisi masa jabatan DPR menyita waktu dan perhatian DPR, sementara sejumlah anggota DPR RI periode sekarang ini ikut memperebutkan kembali kursi wakil rakyat. Hal ini tidak dapat dipungkiri akan menyita relatif cukup banyak waktu dan fokus anggota DPR untuk turun ke daerah pemilihan masing-masing pada masa kampanye, mulai 11 Januari hingga 5 April 2014.
Setelah masa kampanye dan pemilihan umum anggota legislatif selesai, DPR akan kembali disibukkan dengan agenda Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI dan pergantian periode jabatan DPR.
Dengan mempertimbangkan kondisi politik yang berkembang, waktu pembahasan yang singkat, dan fokus untuk melakukan pembahasan yang terpecah, substansi yang dihasilkan nantinya cukup rentan menuai permasalahan.
Belum Bersepakat
Di sisi lain, belum adanya kesepakatan yang signifikan antara Pemerintah dan DPR mengenai RKUHAP yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kendati demikian, pembahasan yang dilakukan selama ini bukan berarti sia-sia karena memang belum ada kesepakatan signifikan yang diambil oleh Pemerintah dan DPR.
Dari pemantauan Komite terhadap dua kali rapat kerja antara Pemerintah dan DPR, pada tanggal 27 November dan 5 Desember 2013, pembahasan masih berkutat pada penghapusan penyelidikan dalam RKUHAP.
Terkait dengan hal tersebut serta topik-topik lainnya, belum ada kesepakatan yang diambil. Padahal, pembahasan dapat dilakukan secara efektif karena RKUHAP sudah diserahkan Pemerintah kepada DPR pada tanggal 28 November 2012, lebih dari satu tahun lalu.
"Oleh karena itu, tidak ada alasan yang cukup logis untuk melanjutkan pembahasan pada DPR periode ini," kata Miko.
Ia juga menilai partisipasi dan pelibatan masyarakat tidak optimal dalam pembahasan. Pembahasan suatu undang-undang, terutama apabila UU tersebut cukup fundamental dan berdampak luas, sepatutnya membuka ruang pelibatan masyarakat secara aktif.
Komite, dalam pembahasan memang pernah diundang pada Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi III (Bidang Hukum) pada tanggal 22 Mei 2013 atau beberapa kali berdiskusi dengan fraksi-fraksi di DPR, yang dilakukan atas inisiatif Komite. Namun, dalam perkembangannya, partisipasi dalam bentuk akses terhadap proses maupun dokumen cukup sulit untuk dilaksanakan.
Perlu diperhatikan, Pasal 96 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, harus diberikan akses yang mudah terhadap masyarakat. Salah satu contoh, ihwal kemudahan ini tidak ditemui Komite ketika meminta daftar isian masalah yang sudah disusun oleh DPR dengan alasan rahasia negara.
Berdasarkan fakta dan argumentasi tersebut, sikap KuHAP terhadap pembahasan RKUHAP adalah mendesak Pemerintah dan DPR (dalam hal ini Panja Rancangan KUHAP) untuk menghentikan pembahasan RKUHAP hingga periode DPR 2009--2014 berakhir.
Mendorong Pemerintah dan DPR untuk memasukkan RUU KUHAP masuk ke dalam Program Legislasi Nasional, baik lima tahunan (2014--2019) maupun prioritas satu tahunan.
Mendorong Pemerintah dan DPR untuk merumuskan metode pembahasan RKUHAP yang efektif pada periode DPR berikutnya (2014--2019).
Mendesak Pemerintah dan DPR memberikan jaminan pelibatan dan partisipasi masyarakat secara optimal, baik akses terhadap proses maupun akses terhadap dokumen.
Sebelumnya, KuHAP mendorong pembahasan Rancangan KUHAP dilakukan pada DPR periode ini. Sikap tersebut, pada tataran proses, dilandasi atas dua prasyarat, yaitu ketersediaan waktu yang cukup dan metode pembahasan yang efektif serta partisipatif.
Namun, lanjut Miko, melihat perkembangan pembahasan di DPR, kedua prasyarat tersebut berpotensi tidak akan terpenuhi, terutama apabila RKUHAP dipaksakan dibahas pada DPR periode ini.
Di tengah desakan untuk menghentikan pembahasan RKUHAP, mampukah Pemerintah dan DPR menuntaskan pembahasan RUU tentang Hukum Acara Pidana? Apalagi kurang lebih 298 anggota DPR RI periode 2009--2014 ikut memperebutkan kembali 560 kursi DPR RI periode 2014--2019 di 77 daerah pemilihan di seluruh Indonesia.
Desakan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu seyogianya menjadi pemicu wakil rakyat dan Pemerintah untuk segera menuntaskan pembahasan RKUHAP dengan tetap menjaga kualitas produk perundang-undangan tersebut agar kelak tidak menuai masalah.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2025