Perempuan di Parlemen Harus Memberi Arti
Kamis, 6 Maret 2014 15:07 WIB
"Sukses Pemilu 2014 bukan hanya diukur dari terlaksananya pemilu secara prosedural, melainkan secara substansi menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas dalam kesetaraan gender," katanya di Jakarta, Kamis.
Ia menegaskan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah melakukan berbagai upaya agar keterwakilan perempuan di parlemen tetap diperhatikan.
Keterlibatan perempuan di parlemen ini merupakan dorongan agar aspirasi perempuan dapat tersampaikan dalam setiap kebijakan pembangunan, tuturnya.
Menjelang Pemilu 2014, ketelibatan perempuan menjadi fokus KPPPA.
Menurut Linda, pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2014 didukung oleh amanat UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu yang mengatur keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen pusat dan daerah.
Jumlah 30 persen ini tidak hanya dimaknai secara simbolik hanya untuk memenuhi kuota saja tetapi dapat dimaknai secara substansi, tukasnya.
Sebelumnya pada diskusi di Kantor Berita Antara di Jakarta, Jumat (26/2) lalu, Linda menyebutkan perempuan anggota DPR hasil Pemilu 2009 baru sekitar 18 persen atau 82 orang dari 560 anggota DPR.
Sedangkan perempuan anggota MPR sebanyak 20 persen atau 80 orang, perempuan anggota DPD 27 persen atau 73 orang, perempuan anggota DPRD provinsi sebesar 16 persen atau 84 orang, dan anggota DPRD kabupaten-kota sebesar 12 persen atau 88 orang.
Ia berharap pada Pemilu 2014 ini keterwakilan perempuan di parlemen benar-benar dapat terwujud sebagaimana kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
"Lebih dari itu, sebenarnya tidak cukup hanya pemenuhan kuota tetapi harus benar-benar menyentuh pada substansi soal pemberdayaan perempuan."
Ia juga menyebutkan bahwa berdasarkan sensus penduduk pada 2011 terdapat sekitar 118 juta atau 49,65 persen penduduk Indonesia merupakan perempuan dan sekitar 119,5 juta atau 50,35 persen merupakan laki-laki.
Linda menjelaskan menurut hasil pehitungan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan Indeks Pembangunan Gender yang memiliki selisih sekitar lima poin.
Artinya, menurut dia, meskipun mengalami peningkatan, namun kesenjangan capaian antara perempuan dan laki-laki masih terjadi. Oleh karena itu, keterwakilan perempuan di parlemen merupakan salah satu bentuk penyetaraan gender agar perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki di parlemen.
Upaya lain agar perempuan memperoleh kesempatan untuk duduk di parlemen terus dilakukan KPPPA diantaranya mengadakan penandatanganan MoU (nota kesepahaman) dengan KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengawal proses legislasi maupun pelaksanaan UU Pemilu.
Kementerian PPPA juga melakukan pendekatan kepada semua pemangku kepentingan, baik di pusat maupun di daerah, agar memahami pentingnya keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen.
Selain itu, Kementerian PPPA juga terus melakukan sosialisasi caleg perempuan melalui program "Peningkatan Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014" yang difasilitasi oleh United Nations Development Program (UNDP).
Pada kesempatan kunjungan ke media massa, Linda menyosialisasikan tagline kampanye publik "Caleg Perempuan Memberi Arti".
"Dengan tagline tersebut, kami berharap keberadaan perempuan di parlemen nanti dapat memberi arti yang lebih berbobot lagi bagi setiap kebijakan yang digulirkan," ucapnya.
Linda menyebutkan bahwa program kesetaraan gender merupakan visi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
"Kesetaraan ini adalah bagaimana perempuan dan laki-laki mendapat haknya, mendapat akses, mengawal, dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional," ujarnya.
Ia mengemukakan kesetaraan gender telah dimulai ketika terbit Instruksi Presiden Abdurrahman Wahid nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.
Linda menyebutkan dalam rancangan pembangunan jangka panjang nasional bahwa program kesetaraan gender berlangsung pada 2000-2025.
Pewarta : Antaranews
Editor:
Totok Marwoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024