Pemilihan 'Ora' Umum di Samudra Mocopat Syafaat
Jumat, 21 Maret 2014 12:02 WIB
Cak Nun yang panggilan akrab Emha itu pun, seketika beranjak dari tempat bersila di antara para pemain musik, "Kiai Kanjeng".
Sebelum inspirator utama Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut berpidato usai pementasan wayang dengan lakon "Pemilihan Ora Umum" (Pemilu Tak Lazim), Cak Nun menyahut mikrofon lebih dahulu untuk berorasi.
Ia mengapresiasi suguhan wayang kontemporer dengan durasi pendek yang dimainkan Sih Agung yang juga seorang guru di satu sekolah swasta di Kota Magelang itu.
Sepanjang pementasan, gelak tawa seakan tiada henti mewarnai ribuan orang yang hadir dalam pengajian Maiyahan Mocopat Syafaat. Pengajian berlangsung di kompleks Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu "Alhamdulillah" Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, malam itu.
"Malam ini kita semua bergembira menikmati pementasan. Ini terjadi karena jamaah memberikan air yang melimpah sehingga Pak Dalang bisa bebas berenang sepuasnya di samudra Maiyahan ini," katanya.
Wayang Gunung ciptaan Sujono pada pertengahan 2013. Dia satu di antara sejumlah petinggi komunitas seniman petani yang meliputi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu. Dia tinggal di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, memimpin seniman petani setempat dalam Sanggar Saujana Keron. Hingga saat ini, sedikitnya 20 wayang serangga telah dia buat dengan nama-nama khas satwa yang disebut setiap hari oleh warga setempat.
Bentuk wayang itu, berupa ragam serangga yang hingga saat ini masih dijumpai di kawasan pertanian desa di antara Gunung Merapi dengan Merbabu.
Setiap wayang dibuat dari bahan utama fiber, bersungging dengan cat warna-warni secara detail melalui sapuan kanvas, sehingga menggambarkan karakter setiap serangga. Sujono juga hadir dalam pementasan komunitas di acara Mocopat Syafaat malam itu dan mendapat sejenak waktu mengisahkan karyanya kepada jamaah.
Malam itu, Dalang Sih Agung memainkan beberapa Wayang Gunung dalam pementasan selama sekitar 15 menit. Pementasan tanpa iringan langsung gamelan maupun tembang dari sinden. Hanya gedebok dengan panjang sekitar dua meter menjadi tempat untuk menancapkan setiap wayang.
Bunyi musik dari berbagai alat gamelan dilantunkan langsung oleh dalang yang berpakaian adat Jawa. Suguhan musik gamelan dari mulutnya itu pun, juga menyulut terus menerus "ger-geran" jamaah yang umumnya kalangan muda.
"'Dalang e nganti serak-serak yo mung disuguhi Aqua gelas karo Cak Nun'," katanya dalam bahasa Jawa yang maksudnya dalang hanya diberi air mineral ukuran gelas oleh Cak Nun.
Satu demi satu, sejumlah wayang ditancapkan sang dalang di gedebok. Dia ceritakan dengan lucu setiap karakter wayang serangga melalui dialog di antara satwa itu.
Serangga bernama "kutis" pemakan kotoran, "semut ngangkrang" pemakan "tlutuh" atau getah pohon, "kinjeng maling" pemakan temannya sendiri, "tenggik" pemakan daun "awar-awar", "kwawung" pemakan bunga kelapa, walang pemakan daun padi, rayap pemakan kayu pohon yang mati, dan nyamuk pengisap darah.
Ketika bercerita tentang kebiasaan rayap, Sang Dalang menggunakan dialek Jawa Banyumasan. Sebelum seniman petani Komunitas Lima Gunung naik panggung untuk menyajikan sejumlah tarian, yakni Gupolo Gunung, Jatilan Mantran, Gandrung Gunung, Hip-Hop Gunung, Soreng, dan pentas Wayang Gunung itu, satu grup kesenian dari Banyumas menyuguhkan musik islami dengan alat tabuh beberapa terbang dan tembang-tembang bernuansa Islam.
"'Aku lemut, mangane getih. Aku seneng getih koruptor. Nek getih e ustadz karo Cak Nun ora doyan. Wegah, pahit. (Saya nyamuk, pemakan darah. Saya senang makan darah koruptor. Kalau darah ustadz dan Cak Nun, tidak doyan karena pahit, red.)," kata dalang Sih Agung saat bercerita tentang karakter wayang nyamuk dalam perkenalan dengan wayang lainnya.
Segelas kopi kemudian disodorkan seseorang dari belakang dalang bersila. Sih Agung melihat kopi panas itu lalu menyebulnya, namun tidak meminum kopi itu, meskipun hanya seseruput.
"'Wah nyuguhi kopi wae yo panas e kemutuk. Kangge Cak Nun mawon monggo, pun kulo suwuk kok'. (Disuguhi kopi tapi panas sekali. Untuk Cak Nun saja silakan, sudah saya doakan, red.)," katanya sambil menggeser letak segelas kopi panas itu ke belakangnya lebih jauh lagi. Ucapan itu pun, membuat jamaah terpingkal-pingkal lagi.
Dikisahkan oleh Dalang Sih Agung, kehadiran sosok "kwawung" sebagai bentuk terbesar di antara wayang-wayang serangga lainnya. Serangga itu menganggap diri sebagai yang paling pantas memimpin negeri bernama Republik Serangga Dunia. Negeri itu, sedang bersiap menggelar pemilu yang disebut dalang sebagai pemilihan "ora" umum.
"'Yo ora dumeh sing gedhe dhuwur njor dadi pemimpin. Kabeh bangsane awak e dhewe duwe hak milih lan dipilih kanthi demokratis'. (Bukan jaminan yang tinggi besar lalu jadi memimpin. Kita semua ini punya hak memilih dan dipilih secara demokratis, red.)," begitu kata rayap dengan dialek Banyumasannya.
Sang Dalang pun melanjutkan petuah pamungkas di penghujung pementasan Wayang Gunung malam itu.
Meskipun jagat serangga memiliki karakter dan kebiasaan berbeda-beda, mereka tetap memiliki kesamaan hak dalam pemilihan "ora" umum tersebut.
Akan tetapi, setiap warga Republik Serangga Dunia juga mengemban tanggung jawab bersama-sama dalam pesta demokrasi, yakni menjaga semangat persaudaraan sebagai sesama makhluk hidup.
"'Wis durasi. (Maksudnya sudah habis durasi pementasan, red.). Ayo podho milih (Ayo ikut pemilu, red.). Wasalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh'," kata dalang disambut tepuk tangan terdengar menggelora oleh jamaah Mocopat Syafaat.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024