Logo Header Antaranews Jateng

Pilpres dan Potensi Konflik Horisontal

Senin, 26 Mei 2014 18:54 WIB
Image Print
Calon presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Joko Widodo


Kedahsyatan media sosial yang didukung teknologi internet memudahkan semua orang menerbitkan isi pikirannya. Isu, rumor, dan gosip tentang Pilpres 2014 merajai perbincangan di Facebook, Twitter, dan BlackBerry Messenger. Kalangan pendukung capres menyerang capres lainnya. Bukan hanya orang awam, tidak sedikit aktivis berlatar berlakang intelektual juga melakukan serangan sama kepada capres yang tidak dikehendakinya untuk menang.

Jejak rekam masa lalu, silsilah keluarga, agama, hingga visi misi pasangan capres dicari celahnya untuk dijadikan amunisi menyerang capres yang menjadi seteru capres idolanya. Simaklah di media sosial semaca Facebook atau Twitter. Joko Widodo "dihajar" para fans Prabowo Subianto. Jokowi sempat digosipkan bukan muslim dan warga keturunan Tionghoa.

Sementara itu, Prabowo, mantan Danjen Kopassus, selalu saja dikaitkan dengan penculikan para aktivis pada 1998. Agama yang berbeda-beda dari kakak dan adik Prabowo juga diungkap melalui media sosial. Begitu ada celah untuk menyerang calon lain, fans capres ini langsung melakukan serangan udara melalui internet yang supercepat, memiliki beragam kanal dan platform, serta memiliki puluhan juta pengakses.

Melihat kian liarnya serangan-serangan verbal di media digital itu, mencuat kekhawatiran bahwa perseteruan di media virtual itu merembet ke konflik horisontal antarpendukung capres di dalam kehidupan nyata, bukan di dunia maya lagi. Pembakaran pos sukrelawan Jokowi-JK di Jalan Setiabudi Jakarta, Senin (26/5) dini hari menjadi bukti bahwa kekhawatiran konflik fisik antarpendukung capres itu nyata.

Memang bukan rahasia lagi bahwa di balik serangan-serangan via dunia maya itu, sebagian di antaranya bukanlah kaum sukarelawan pro-Jokowi atau pro-Prabowo. Di antara mereka banyak yang memang cari uang untuk menjalankan misi sebagai pendukung atau penyerang capres tertentu. Pendek kata, pasukan dunia maya ini seperti tentara bayaran, membidik sasaran mengikuti kemauan pemberi duit.

Di luar itu, banyak pula sukarelawan yang menyerang atau mendukung capres tertentu karena ada kedekatan ideologis. Mereka memiliki preferensi yang tidak mudah dipatahkan oleh argumen seteru politik tokoh idolanya. Simaklah baliho besar di pinggiran Kabupaten Boyolali. Reklame politik itu hanya berisi logo kecil PDIP dan dua kata: Pokoke JOKOWI.

Pemihakan ini bukan hanya melanda perseorangan dan kelompok. Media yang seharusnya berada di tengah alias netral juga memihak dengan melakukan pemilihan dan pemilahan fakta. Apalagi bila media itu memang dikuasai dan dikendalikan oleh pemiliknya yang merangkap petinggi partai.

Publik tentu merasakan bagaimana fakta yang dipilih dan dipilah oleh media pendukung capres tertentu. Stasiun televisi yang menggunakan frekuensi publik, misalnya, harus menyuguhkan informasi yang seimbang. Media online dan cetak, secara halus juga terasakan memberi pemihakan kepada capres tertentu. Jika ingin menelisik lebih akurat, studi analisis isi bisa menjawab dugaan tersebut.

Persaingan, apalagi saat ini hanya ada dua pasangan, selalu memunculkan potensi konflik. Konflik masih dianggap wajar manakala bersumber dari perbedaan cara atau kebijakan dalam mengelola sumber daya. Namun, rivalitas bisa berbuah konflik fisik antarpendukung jika pemicunya variabel-variabel yang bersumber dari SARA.

Petinggi politik sering menyanjung bahwa rakyat sekarang sudah cerdas, tapi ini tidak lebih dari pemanis bibir karena tidak telaten mengurai benang kusut isu SARA. Isu primitif ini masih tetap ada. Bahkan, kadang "dimainkan" oleh elit untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Di masa lalu, bangsa ini sudah beberapa kali dilanda konflik horisontal yang dipicu oleh masa SARA. Kita berharap 355.000 polisi yang akan diterjunkan untuk pengamanan Pilpres 2014 bisa meredam setiap percikan konflik. Kita tidak ingin ada tetesan darah dalam proses pemilihan orang nomor satu dan dua di negeri ini.

Menjauhkan kampanye dari unsur SARA merupakan pilihan satu-satunya untuk menuju bangsa yang beradab. ***









Pewarta :
Editor: Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2025