Sedekah Mereka Embuskan untuk Candi Gunung Wukir
Jumat, 30 Mei 2014 17:02 WIB
Terpaan sinar matahari makin membuat bayangan menyatu dengan tubuh para peserta prosesi di Candi Gunung Wukir, Dusun Carikan, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang itu. Matahari tepat di atas kepala mereka saat prosesi di atas bukit, tempat reruntuhan bangunan tersebut pada hari Kamis (29/5).
Dusun setempat yang menurut kepalanya, Badri (52), ditetapkan sebagai penggabungan antara Dusun Canggal dan Carikan sejak 1975 itu, saat ini berpenduduk 165 kepala keluarga atau 427 jiwa. Di wilayah setempat terdapat bukit dengan ketinggian 335 meter di atas permukaan air laut, yang dikenal dengan sebutan Gunung Wukir.
Prasasti Canggal pada tahun 1879 ditemukan di reruntuhan candi peninggalan Dinasti Sanjaya itu. Prasasti setinggi 155 sentimeter dan lebar 85 cm berhuruf Palawa dan berbahasa Sansekerta yang memuat berbagai informasi tentang Kerajaan Mataram Hindu atau Medang tersebut, saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Reruntuhan cagar budaya itu berupa satu candi utama dan tiga candi perwara. Masih terlihat yoni di tengah candi utama dan patung nandi di candi perwara bagian tengah.
Setelah meletakkan sesaji berupa tumpeng dan anyaman janur di atas yoni, Mbah Joyo yang pengelola Sanggar Sanjaya di Desa Prumpung, Kecamatan Muntilan, di tepi alur Kali Pabelan, Kabupaten Magelang itu, lalu mendekati staf bagian pemeliharaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah Septiani Wardani.
Lelaki tua berambut putih yang mengaku leluhurnya salah satu pekerja dalam pemugaran pertama atas Candi Borobudur dengan dipimpin Theodorus Van Erp (1907--1911) itu seolah-olah melaporkan kepada pihak BPCB Jateng tentang komitmen masyarakat setempat untuk turut menjaga dan merawat situs Candi Gunung Wukir.
"Kami mendoakan leluhur yang membangun candi ini, masyarakat melestarikannya," katanya kepada Wardani.
Wardani mengoreksi sebutan cagar budaya itu karena terjadi kekeliruan penamaan prosesi bernama sedekah dengan menyebut nama Candi Gunung Wukir dan Candi Canggal. Sebutan yang dianggap tepat adalah Candi Gunung Wukir. Papan nama di depan pintu masuk percandian juga tertulis "Candi Gunung Wukir". Canggal sebagai sebutan untuk prasasti yang ditemukan di tempat itu karena masuk wilayah Dusun Canggal.
Untuk mencapai kompleks reruntuhan candi terdapat dua jalan setapak dari permukiman warga dusun di bawah bukit setempat dengan melewati pepohonan dan semak. Secara bergiliran, Candi Gunung Wukir dijaga setiap hari oleh lima warga setempat yang berstatus sebagai pegawai BPCB Jateng.
Di tempat lebih rendah daripada kompleks percandian, terdapat makam Imam Tauhid (pemeluk Islam) dan Nyai Grinting (Buddha) yang disebut oleh Kadus Badri sebagai cikal bakal dusun. Sebatang pohon cukup besar tumbang dan melintang di atas kuburan itu.
Prosesi Sedekah Candi Gunung Wukir dalam rangkaian agenda budaya "Ruwat Rawat Borobudur 2014" yang diprakarsai oleh komunitas Borobudur, "Warung Info Jagad Cleguk", itu melewati tempat tersebut.
Peserta prosesi mengenakan pakaian kesenian tradisional Jatilan dan musik tradisional Pitutur. Dua warga setempat, Asyah (65) dan Sarmidi (65), masing-masing membawa tumpeng dan anyaman janur, berjalan paling depan dari dusun menuju Gunung Wukir.
Acara budaya dilepas melalui seremonial berupa pidato, antara lain oleh Camat Salam Sukamtono, pimpinan WIJC Borobudur Sucoro, dan Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo.
Sebelumnya, di dalam satu rumah warga Dusun Carikan, sejumlah pemuka warga menyerahkan tumpeng itu kepada sesepuh bernama M. Munawar Herucokro yang menyebut diri sebagai pemerhati sejarah dan budaya, serta menuliskan teks berjudul "Prasasti Canggal sebagai Awal Perjuangan Kesatuan dan Persatuan Umat Beragama".
Pada kesempatan itu, Munawar yang dipanggil romo tersebut mengingatkan warga bahwa mereka sesungguhnya bagian dari keturunan Dinasti Sanjaya, yang membangun candi di bukit setempat. Warga setempat memiliki panggilan untuk menjaga dan merawatnya agar kehidupan sehari-hari beroleh tenteram karena tidak melupakan sejarah.
Salah satu tanda bahwa warga setempat merawat peninggalan bersejarah leluhur mereka itu, antara lain dengan kerja bakti membersihkan kompleks percandian sebelum hari sedekah.
"Kemarin, warga kerja bakti membersihkan kompleks itu. Tahun ini sebagai yang pertama kali kami melakukan sedekah ini, menjadi tanda kami turut melestarikan cagar budaya. Kami ingin melanjutkan untuk tahun tahun selanjutnya," kata Badri.
Ia menyebut kondisi jalan menuju candi masih memprihatinkan sehingga perlu dibangun menjadi lebih baik agar nyaman untuk siapa saja yang hendak mencapai candi di puncak Gunung Wukir.
Hingga saat ini, Candi Gunung Wukir sering kali menjadi tujuan orang berziarah. Mereka antara lain berasal dari Temanggung, Klaten, Semarang, Yogyakarta, dan Jawa Timur, untuk selama satu hingga tiga hari berdoa di tempat itu.
"Apalagi kalau dikembangkan jadi tempat wisata, butuh pembenahan lebih saksama lagi," katanya.
Sukamtono dalam pidatonya menyebut Sedekah Candi Gunung Wukir sebagai kegiatan monumental dan bermanfaat untuk promosi pariwisata, meskipun butuh kerja keras warga karena hasilnya tidak bisa dicapai secara instan.
Akan tetapi, Sucoro dalam pidatonya lebih mengutamakan pentingnya dukungan warga setempat terhadap usaha-usaha pelestarian Candi Gunung Wukir.
"Tidak buru-buru 'dijual' (untuk pariwisata, red.), tetapi visi perawatan dan pelestarian, peranan warga lebih utama untuk mendukung pelestarian. Kita yakin bahwa pelestarian itu penting untuk masyarakat karena setiap hari kehidupan mereka terkait dengan alam dan lingkungannya," katanya.
Marsis Sutopo menjelaskan tentang pentingnya agenda budaya dengan sebutan sedekah, sebagai usaha membangun harmonisasi antarwarga, manusia dengan alam dan lingkungannya, dan ungkapan syukur manusia kepada Tuhan.
"Melalui sedekah ini, diharapkan warga menemukan kembali ketenteraman dan kesejahteraan. Kesejahteraan bukan hanya yang materiil, melainkan juga immateriil. Ini juga media warga mengekspresikan kebudayaan dan revitalisasi makna kehidupan," katanya.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025