Logo Header Antaranews Jateng

Relief Dower Candi Borobudur karena Kampanye Hitam

Kamis, 5 Juni 2014 16:30 WIB
Image Print
Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. (ilustrasi/Hari Atmoko)


Marsis terkesan menjadi lebih leluasa berbicara panjang lebar dengan seorang reporter yang secara khusus masih mengonfirmasi multimakna atas panel 21 relief Karmawibangga.

Hari itu suasana kian sore. Di luar aula, sejumlah pegawai balai belum pulang. Mereka masih menunggu hingga selesai pimpinannya berbincang santai tentang tulisan "virupa" di bagian dinding terbawah Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Seketika Marsis tampak paham relief panel 21 dalam deretan kisah tentang ajaran hukum sebab-akibat yang disebutnya sebagai "Kitab Karmawibangga". Total panel dalam kisah Karmawibangga berjumlah 160 panel, sedangkan panel 21 berada di sisi tenggara dinding candi megah yang dibangun sekitar abad ke-8 itu.

"Itu lho Mas, kalau orang suka 'ngondho' (merumpi), bibirnya jadi dower dan buruk muka, seperti wayang Togog," katanya.

Panel 21 relief Karmawibangga candi Buddha terbesar di dunia itu, menggambarkan pahatan 21 orang. Dalam panel itu, mereka tersebar menjadi tiga kelompok dengan berbagai posisi. Sebanyak empat pohon menaungi orang-orang yang diinterpretasikan sebagai jelek rupa karena berbicara hal-hal yang buruk, merumpi, dan tidak sopan.

Hal-ihwal tentang merumpi, selalu membicarakan tentang keburukan orang lain, meskipun menjadikan suatu keadaan yang mengasyikan.

"Kira-kira itu pesannya relief sebab-akibat dari panel itu," katanya.

Pikiran Marsis seakan kemudian mengarah kepada suasana kehidupan politik menjelang Pemilihan Umum Presiden, 9 Juli 2014. Hiruk-pikuk kabar politik saat ini, kental bertandakan taburan kampanye hitam, saling menjelek-jelekkan para calon presiden dan wakil presiden. Alat yang seakan efektif untuk kampanye hitam itu, khususnya media massa, media dalam jaringan, dan media sosial.

Pemilu Presiden 2014 diikuti dua pasangan kandidat, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Masing-masing diusung oleh partai politik koalisi. Hingga saat ini, tahapan pilpres memasuki masa kampanye, 4 Juni hingga 5 Juli 2014. Para pasangan kandidat dengan tim kampanye masing-masing, telah menandatangani Deklarasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Berintegritas dan Damai di Jakarta, Selasa (3/6) malam.

Apabila ranah kampanye hitam terpatri dalam relief dower di panel 21 cerita Karmawibangga Candi Borobudur sebagai merumpi, dalam masa menuju hari pilpres, merumpi mewujud menjadi kampanye hitam, disajikan media massa dengan dukungan kemajuan pesat teknologi informasi. Publik luas pun ditikam perbincangan ihwal keburukan tentang para kandidat pemimpin bangsa.

"Padahal siapa yang mulai dan melempar kampanye hitam, tidak ada yang tahu. 'Ngondho' itu menyedihkan," katanya.

Budayawan Magelang Sutanto Mendut menyebut kampanye hitam menjelang pemilu presiden sebagai ihwal buruk, bahkan menjijikkan. Kampanye hitam wujud pesta demokrasi tahun ini yang lebih untuk kepentingan "kuasa durga" yang merusak.

"Kita menapak reformasi dan demokrasi masih di level kamadhatu (tingkatan terendah dari tiga tingkatan makna kehidupan manusia, disimbolkan menjadi level di Candi Borobudur, red.). Elitnya belum kultural pada rupadhatu, apalagi rohani di arupadhatu," katanya.

Masyarakat luas, apalagi yang menyadari akar budaya sopan-santun dan keindonesiaan, tentunya diharapkan tetap kuat dan tidak termakan oleh tebaran kampanye hitam pesta demokrasi era reformasi dan keterbukaan ini.

"Kampanye hitam ini menjijikkan. Semoga ini bukan menjadi cermin budaya masyarakat kita," kata Sutanto yang juga pemimpin tertinggi seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu.

Ia mengemukakan tentang pentingnya suatu pesta demokrasi sebagai pergelaran rakyat dan para elit yang menyenangkan, mencerdaskan, dan inspiratif untuk kebaikan hidup bersama, termasuk mewariskan catatan perjalanan berbangsa dan bernegara yang bermakna untuk generasi mendatang.

Dengan menorehkan relief dower di Candi Borobudur, nenek moyang boleh jadi ingin mewariskan makna penting kehidupan kepada generasi penerus bangsa. Barangkali makna itu dalam skala terbatas, supaya orang tidak gemar merumpi dan berbicara buruk, sedangkan dalam lingkup luas dan politis, agar bangsa ini mengharamkan kampanye hitam.

Pemimpin Padepokan Seni Budaya Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Merapi, Sitras Anjilin, siang itu, bertandang ke Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.

Ia mendongakkan kepala, membaca papan kayu di atas ruangan terbuka bernama "Sendang Pitutur", di kompleks studio budaya yang menjadi pusat kegiatan Komunitas Lima Gunung.

Papan itu bertuliskan huruf Jawa, "Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti". Meskipun diketahui ada ungkapan di pendulum lain yang bermakna kebalikan, ia menyebut kalimat itu sebagai lazim dikenal publik Jawa.

Sitras yang juga salah satu petinggi komunitas seniman petani itu pun, seakan menjelaskan tentang makna kalimat bijaksana dan inspiratif, "Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti".

"Segala hal yang buruk, akan sirna oleh kebaikan hati. Jangan merumpi, jangan bikin kampanye hitam. Sia-sia berhadapan dengan kebaikan hati. Kebaikan tentu menjadi harapan pemilu presiden tahun ini," katanya.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024