Debat Capres dan Menghangatnya Suhu Politik
Rabu, 18 Juni 2014 16:18 WIB
Karena hanya ada dua pasang kandidat, aroma rivalitas antarpendukung capres juga kian menyengat.
Sejumlah aktivis yang tak berafiliasi dengan partai mendadak menjadi juru serang sekaligus jadi pembela capres tertentu. Bukan semata karena mereka mengamini visi capres A, melainkan karena mereka tidak menghendaki capres B terpilih.
Saling serang dan bela begitu ramai di dunia maya. Ada jurkam nonpartisan, jurkam partai koalisi, banyak pula jurkam bayaran.
Setiap ucapan yang keliru dari salah seorang capres, pendukung capres lain langsung menjadikan kekeliruan itu sebagai amunisi. Media sosial Facebook dan Twitter merupakan saluran utama untuk menyerang lawan politik atau mendukung capres/cawapres idolanya.
Salah satu ucapan kontroversial dalam debat capres pada 15 Juni 2014 adalah ketika Prabowo Subianto menyampaikan kebocoran anggaran hingga Rp1.000 triliun per tahun. Angka ini sangat fantastis mengingat pos belanja pemerintah pada APBN 2014 "hanya" Rp1.816 triliun.
Capres Joko Widodo dalam debat tersebut juga menyampaikan gagasan yang bikin publik bertanya-tanya tentang rencana pembangunan tol laut. Konsep ini tidak terlalu jelas, apakah yang dimaksud membangun jalan tol di atas laut atau membangun armada laut supercepat nirhambatan untuk hubungan antarpulau.
Menyaksikan penampilan Prabowo dan Jokowi dalam dua debat sebelumnya, jelas terlihat bahwa keduanya bukan jenis orator ulung yang menguasai data di luar kepala. Bahkan, pada awal menyampaikan visi, keduanya terlihat mengalami demam panggung.
Bila Prabowo hapal di luar kepala data akurat tentang kebocoran anggaran atau potensi kehilangan penerimaan negara, capres usungan Partai Gerindra, PPP, Golkar, PKS, dan PAN, itu tentu tidak akan gegabah menyebut kebocoran anggaran hingga Rp1.000 triliun atau bahkan menyebut Rp7.200 triliun.
Bukannya mengecilkan ancaman korupsi pada APBN, menyebut kebocoran anggaran Rp1.000 triliun atau Rp7.200 triliun merupakan kesimpulan yang mudah dipatahkan oleh lawan politik. Ekonom dan pemerhati kebijakan publik pasti paham beda potensi penerimaan negara yang hilang dengan kebocoran anggaran negara.
Meskipun kadar ucapan kontroversialnya tidak sedramatis Prabowo, rencana pembangunan tol laut juga jadi amunisi untuk menyerang Jokowi. Begitu pula tindakan Jokowi memamerkan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Eks Wali Kota Solo ini dianggap menafikan program Wajib Belajar yang sudah berlangsung lama dan program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS.
Sebagai manusia, wajar saja melakukan kesalahan. Apalagi dalam debat yang disaksikan puluhan juta orang melalui layar kaca. Namun, menyaksikan jalannya debat tersebut terlihat kedua capres tidak mempersiapkan diri secara memadai. Oleh karena itu, mencuat angka dan ucapan yang tidak didukung data akurat. Mungkin kedua capres ini terlalu sibuk keliling daerah untuk berkampanye sehingga resep yang disampaikan tim debatnya tidak bisa dicerna sempurna.
Namun, kekhilafan bukan monopoli Prabowo dan Jokowi. Kandidat Wakil Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Sarah Palin, dalam wawancara pernah mengatakan Afrika sebagai negara. Palin yang berpasangan dengan capres John McCain akhirnya gagal mengalahkan duet Barack Obama/Joe Bidden pada pilpres 2008. Mungkin bukan keselo lidah Palin yang membuat calon Partai Republik itu gagal, melainkan karena Obama memang lebih fenomenal.
"Impromptu speaking" atau presentasi tanpa persiapan dalam acara seserius debat capres yang ditonton puluhan juta orang adalah spekulasi yang melumpuhkan langkah. Begitulah nasihat instruktur pidato.
Publik tentu berharap menyaksikan debat capres yang mencerdaskan dan mencerahkan. Dua kata kunci itu hanya bisa disajikan capres/cawapres bila mereka serius mempersiapkan diri dan cerdas dalam membaca fakta serta data. ***
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor:
Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2024