Hasil rapat rekapitulasi penghitungan suara tingkat Provinsi Jawa Tengah yang digelar Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jateng, Jumat (18/7), Jokowi-Kalla unggul di 35 kabupaten/kota. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi "gemuk" dengan jumlah daftar pemilih tetap lebih dari 25 juta orang.

Oleh karena itu, Jateng bersama provinsi padat pemilih, seperti Jatim, Banten, Jabar, DKI Jakarta menjadi simpul penting penentu kemenangan duet capres-cawapres. Kemenangan pada dua-tiga provinsi padat pemilih tersebut diyakini bakal memuluskan jalan capres-cawapres menuju puncak kekuasaan.

Jokowi-Jusuf Kalla, duet yang diusung oleh koalisi PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKPI ini di Jateng membukukan 12.959.540 suara atau 66,65 persen. Sementara itu, Prabowo-Hatta Rajasa hanya mengoleksi 6.485.720 suara atau 33,35 persen dari 19.445.260 suara sah. Jumlah surat suara yang diterima KPU Provinsi Jateng tercatat 27.961.627 lembar.

Perolehan suara Jokowi-Kalla di Jateng ini jauh melampaui akumulasi perolehan suara koalisi lima partai pendukungnya di Jateng pada pemilu anggota legislatif, 9 April 2014. Total perolehan suara kelima partai pada pemilu anggota legislatif lalu di Jateng tercatat 8.370.953 suara.

Sementara itu, total perolehan suara koalisi partai-partai pendukung Prabowo-Hatta pada pemilu anggota legislatif lalu di Jateng tercatat 8.635.797 suara, termasuk dari pendukung Partai Demokrat di Jateng yang menyumbang 1.278.619 suara.

Akumulasi perolehan suara Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PBB malah lebih banyak sekitar 250.000-an suara dibandingkan dengan suara gabungan PDI Perjuangan, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI.

Itu menandakan bahwa partai-partai pendukung Jokowi-Kalla di Jateng sangat solid, terutama PDI Perjuangan dan PKB, yang memang memiliki pemilih loyal di Jateng. Mengalirnya empat juta lebih suara dalam Pilpres 2014 kepada Jokowi-Kalla menunjukkan duet ini mampu merebut pemilih mengambang (swing voters) dan pemilih pemula.

Di sisi sama, partai-partai pendukung Prabowo-Hatta terlihat kurang sukses mengawal kebijakan partainya sehingga malah banyak suara yang lari ke Jokowi-Kalla. Itu dibuktikan dengan kemenangan Jokowi-Kalla di 35 kabupaten/kota di Jateng.

Gambaran ini agak mirip dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2013. PDI Perjuangan yang kala itu mencalonkan politikus muda Ganjar Pranowo berhasil merebut suara kalangan anak muda dan pemilih pemula.

Ganjar dinilai lebih mewakili gaya anak muda ketimbang calon lainnya Bibit Waluyo dan Hadi Prabowo. Pada saat itu, PDI Perjuangan juga bertarungan dengan partai pengusung yang saat ini berada di kubu Prabowo-Hatta, seperti Golkar, PKS, dan PAN.

Kemenangan besar Jokowi-Kalla atas Prabowo-Hatta di Jateng pada Pilpres 2014 juga menunjukkan beragam kampanye hitam dan negatif yang menyerang Jokowi selama menjelang Pilpres hingga detik-detik akhir pencoblosan nyaris tidak berpengaruh.

Bahkan, kemenangan telak di Jateng ini bisa dibaca sebagai sukses atas perlawanan kubu Jokowi-Kalla terhadap pihak-pihak yang mencoba menggerogoti kekuatan Jokowi melalui kampanye hitam.

Bagi masyarakat Jateng, Jokowi yang lahir di Solo 53 tahun silam kemudian merintis karier politik sebagai Wali Kota Surakarta, dengan kapal besar bernama PDI Perjuangan, memang terlalu tangguh untuk bisa dikalahkan.

Sejak Pemilu 1955, partai nasionalis memang mendapat suara besar di Jateng. Sejak Pemilu 1999 hingga 2014, PDI Perjuangan tidak pernah absen juara di Jateng. Kubu Prabowo tentu menyadari hal itu sehingga sejak awal tidak memaksakan untuk bisa menang di Jateng.

Kekuatan Jokowi dan PDI Perjuangan di Jateng pernah dibuktikan ketika Gubernur Jateng Bibit Waluyo (kala itu) mau menggusur bekas bangunan Pabrik Es Saripetojo di Solo.

Kendati bangunan itu milik Pemerintah Provinsi Jateng, Jokowi yang mendapat dukungan berbagai kalangan, terutama akademisi, LSM, dan media tersebut menolak pembongkaran bangunan bersejarah itu untuk kepentingan komersial. Bibit Waluyo akhirnya menyerah alias tidak jadi membongkar bangunan tersebut.

Sejak saat itu popularitas Jokowi tidak hanya dalam wilayah Solo Raya, tetapi mulai menapaki panggung provinsi, bahkan nasional. Dengan sejumlah prestasi menata Kota Surakarta, nama Jokowi kian melambung setelah secara cerdik dia mengelola isu kelahiran Mobil Nasional Esemka di Solo. Berbagai penghargaan kian menabalkan citra dirinya sebagai pemimpin sukses.

Prestasi sebagai wali kota dan popularitas itu pula yang menggoda PDI Perjuangan dan Gerindra untuk memboyong Jokowi sebagai calon Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dia datang, bertarung, dan langsung menang di DKI Jakarta.

Hubungan mesra dengan sebagian besar media arus utama menjadikan dirinya sebagai sosok yang dianggap "can do wrong" meskipun ketika memimpin di Solo terdapat kekurangan, seperti angka kemiskinan yang masih relatif tinggi. Insinyur kehutanan lulusan UGM Yogyakarta ini juga tidak terlalu menjadi sorotan dalam kasus pengadaan bermasalah Bus TransJakarta.

Kebiasaan "blusukan" yang dilakukan selama memimpin Surakarta tetap dilanjutkan semasa menjadi Gubernur DKI Jakarta. Masyarakat bawah antusias menyambutnya karena selama ini rakyat DKI Jakarta merasa berjarak dengan pemimpinnya. Hadiah langsung yang diterima oleh Jokowi, yakni liputan berkesinambungan.

Media terkemuka, terutama televisi dan portal berita, setiap hari menayangkan kegiatan "blusukan" Jokowi. Ke mana saja Jokowi pergi, di sana pekerja media membututi dan memberitakan secara berkelanjutan. Popularitas Jokowi banyak disumbang oleh stasiun televisi berjangkauan nasional. Kiprah dan sosok Jokowi sudah menembus pelosok Nusantara.

Jokowi tak terbendung yang dibutktikan dengan sejumlah survei yang menempatkan popularitas dan elektabilitasnya sebagai capres melampaui sejumlah tokoh.

Beredarnya kampanye hitam dan negatif sempat memelorotkan dukungan sehingga elektabilitasnya dengan Prabowo pada hari-hari menjelang pemilihan sangat tipis, dalam kisaran 0,5--1 persen.

Pertarungan dua kubu menjelang hari pencoblosan memang seru. Baru kali ini pula ada media yang sebelumnya nonpartisan, secara terang-terangan mendukung Jokowi-Kalla; The Jakarta Post. Wartawan kawakan Goenawan Mohamad juga secara jelas memberi dukungan kepada Jokowi. Bahkan, karena PAN mendukung Prabowo, Goenawan Mohammad hengkang dari PAN.

Begitu pula sejumlah media berpengaruh, baik cetak, online, maupun elektronik, memberikan dukungannya kepada Jokowi-Kalla selama Pilpres 2014. Perseteruan simpatisan dan tim sukses dua kubu di media sosial dan online kian memanas. Tentu ada media pendukung Prabowo-Hatta, terutama dari kelompok Viva dan MNC.

Perilaku sebagian besar media tersebut cenderung subjektif, yakni mengecilkan kubu sebelah dan membusungkan dada capres idolanya.

Para pemilik akun media sosial di Jateng, seperti terekam di Twitter dan Facebook, juga saling serang dan bela. Semua informasi yang bisa dimanfaatkan sebagai amunisi akan digunakan untuk menembak lawan. Begitu pula bila ada bantahan, itu digunakan sebagai perisai untuk bertahan dari serangan lawan.

Tidak Terlalu "Nendang"
Begitu pula ketika terdengar kabar seorang tokoh PDI Perjuangan Jateng, Rustriningsih, menyeberang ke kubu Prabowo-Hatta beberapa hari sebelum hari pemilihan. Kabar ini menjadi amunisi mematikan bagi kubu Prabowo-Hatta. Namun, untuk membuktikannya harus diuji pada tanggal 9 Juli 2014.

Peralihan dukungan mantan Wakil Gubernur Jateng dan tokoh Promeg yang memiliki ratusan ribu bahkan sejuta lebih pendukung itu dikahwatirkan bakal menggerogoti dukungan Jokowi di Jateng, terutama di Jateng selatan.

Namun, kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti. Di Kebumen, tempat Rustriningsih pernah menjadi bupati selama dua periode, duet Prabowo-Hatta gagal meraih dukungan mayoritas. Di Jateng selatan, Jokowi-Kalla meraih dukungan meyakinkan.

Penyeberangan Rustriningsih ke kubu Prabowo-Hatta tidak terlalu "nendang" bagi akumulasi suara pasangan nomor urut 1 di Jateng.

Di kantong-kantong santri, seperti Pekalongan, Magelang, Demak, Jepara, dan Rembang, Jokowi-Kalla juga menang. Padahal, banyak kiai berpengaruh, seperti K.H. Maemun Zuber, memberi dukungan kepada Prabowo.

Analis politik Mochamad Yulianto menyatakan bahwa kampanye hitam dan negatif yang dilancarkan melalui media, terutama media sosial semacam Twitter, Facebook, forum, dan blog, tidak memberi pengaruh signifikan terhadap pemilih di Jateng. Tabloid Obor yang memberi cap negatif ke Jokowi juga gagal membentuk opini buruk kepada Jokowi.

Rakyat Jateng, menurut dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang itu, punya preferensi yang tidak mudah dipengaruhi oleh informasi dari luar kecuali sumber yang dipercaya.

"Jokowi lebih populis di mata warga Jateng dan dipandang mampu memberi harapan baru bagi masyarakat," katanya.

Oleh karena, menurut dia, Jokowi mampu membongkar loyalitas konstituen parpol koalisi besar pendukung Prabowo, termasuk di Jateng.

Di luar faktor preferensi tersebut, sesungguhnya ikatan ideologis pemilih dengan partai yang direpresentasikan oleh capres hingga saat ini masih kuat, setidaknya di kalangan generasi tua. Kelompok pemilih tradisional inilah yang menyebabkan PDI Perjuangan sulit dikalahkan di Jateng.