Jangan Sampai Terjadi Tragedi Politik jelang Pelantikan
Senin, 8 September 2014 8:27 WIB
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (kiri) menyampaikan pandangannya disaksikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat (tengah) dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar (kanan) pada sidang perdana gugatan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR
Dalam konteks terpilihnya Joko Widodo dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI, 9 Juli 2014, undang-undang tersebut merupakan salah satu dari peraturan perundang-undangan yang berpotensi sebagai penghalang Gubernur DKI Jakarta itu menuju kursi kepresidenan.
Apalagi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta pernah menggunakan UU Pemerintahan Daerah untuk menolak pengunduran diri Wakil Gubernur DKI 2007--2012 Mayjen TNI (Purnawirawan) Prijanto.
Sebelum berakhir masa jabatannya, pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 26 Mei 1951, itu pada tanggal 26 Desember 2011 mengumumkan pengunduran dirinya sebagai wakil gubernur. Prijanto mengajukan surat pengunduran diri. Namun, pada tanggal 6 Maret 2012, pengunduran dirinya ditolak oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta.
Tidak pelak lagi, sejumlah warga yang menyatakan dirinya sebagai pemilih pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014, mengajukan pengujian Pasal 29 UU Pemerintah Daerah terhadap UUD 1945 ke MK.
Sejumlah pemohon yang mengajukan perkara tersebut pada tanggal 3 September 2014 pukul 13.27 WIB dengan Nomor Tanda Terima: 1299/PAN.MK/IX/2014, yakni Refki Saputra, Roni Saputra, Raysha Rahma, Carolus L. Tindra Matunino K., dan Kiki Pranasari.
Setelah Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Agustus 2014 pukul 20.44 WIB memutuskan menolak seluruhnya permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, praktis putusan MK Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014 ini mengukuhkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 536/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014.
Dengan statusnya sebagai capres terpilih, perjalanan Jokowi--sapaan akrab Joko Widodo--menuju Istana Kepresidenan tampaknya belum "aman". Pasalnya, hingga sekarang DPRD Provinsi DKI Jakarta belum memutuskan apakah permohonan pengunduran diri Jokowi dari jabatan Gubernur DKI Jakarta diterima atau ditolak.
Namun, yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak adalah DPRD Provinsi DKI Jakarta menolak pengunduran diri Jokowi sebagaimana lembaga legislatif itu pernah menolak Prijanto yang mengajukan surat pengunduran diri sebagai Wakil Gubernur DKI 2007--2012 atas permintaan sendiri [vide Pasal 29 Ayat (1) Huruf b].
Hal itu mengingat dalam Pasal 29 Ayat (3) Huruf b UU No. 32/2004 yang telah diubah dengan UU No. 12/2008 menyebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a dan Huruf b serta Ayat (2) Huruf a dan Huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD.
UU MD3
Tidak hanya UU Pemerintahan Daerah yang berpotensi menghalangi perjalanan Jokowi menuju Istana, tetapi juga UU No. 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau UU MD3 yang secara tidak langsung bakal menghambatnya.
Di dalam ketentuan yang termaktub di dalam UU MD3, tampaknya memberi peluang besar kepada wakil rakyat yang berasal dari partai politik pendukung Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto-Hatta Rajasa untuk menguasai parlemen.
Kendati PDI Perjuangan keluar sebagai pemenang pada Pemilu DPR RI, 9 April 2014, dengan jumlah suara sebanyak 23.681.471 (18,95 persen) atau 109 kursi DPR, tidak serta-merta kadernya plus kader dari parpol pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla duduk di kursi pimpinan DPR RI.
Undang-Undang MD3 yang tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 tertanggal 5 Agustus 2014 menyebutkan bahwa pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR (vide Pasal 84). Pimpinan lembaga legislatif ini dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
Disebutkan pula bahwa bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR. Dalam hal ini, setiap fraksi dapat mengajukan satu orang bakal calon pimpinan DPR.
Ditegaskan pula bahwa pimpinan DPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
Semisal koalisi partai politik pengusung pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres, 9 Juli lalu, tetap solid di parlemen, mereka berpeluang memenangi pemilihan pimpinan DPR RI karena Koalisi Merah Putih yang terdiri atas enam parpol ini memiliki kekuatan 353 suara atau 63 persen dari total 560 kursi DPR RI.
Dengan kekuatan di atas kertas, Koalisi Merah Putih berpeluang besar menduduki kursi pimpinan dewan dan sejumlah alat kelengkapan DPR RI lainnya, misalnya pimpinan komisi, Badan Musyawarah, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Pimpinan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, dan panitia khusus.
Jika dikaitkan dengan UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, seandainya koalisi itu menguasai parlemen, memungkinkan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden periode 2014--2019 pada tanggal 20 Oktober mendatang terancam tidak mulus.
Dalam Pasal 162 Ayat (1) disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden terpilih bersumpah menurut agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Kemudian, Ayat (2) berbunyi: "Jika MPR tidak dapat bersidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), presiden dan wakil presiden terpilih bersumpah menurut agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna DPR.
Jika DPR tidak dapat bersidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dan Wakil Presiden terpilih bersumpah menurut agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Menunggu Putusan MK
PDI Perjuangan sebagai partai pemenang Pemilu 2014 tidak tinggal diam. Sehari setelah UU MD3 masuk Lembaran Negara RI, atau tepatnya pada tanggal 6 Agustus 2014, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dkk. mengajukan permohonan pengujian sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut, termasuk Pasal 84, terhadap UUD 1945.
Dalam Nomor Perkara: 73/PUU-XII/2014 atas pemohon Megawati Soekarnoputri, Tjahjo Kumolo, S.H., Dwi Ria Latifa, S.H.,M.Sc., Dr. Junimart Girsang, S.H.,M.B.A.,M.H., Rahmani Yahya, dan Sigit Widiarto tidak hanya Pasal 84, tetapi juga Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3.
Sementara itu, analis politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Susilo Utomo mengatakan bahwa secara umum keberadaan Koalisi Merah Putih yang mendominasi di parlemen memang memunculkan kekhawatiran sekaligus akan menjadi tantangan berat bagi Jokowi-JK dalam memimpin bangsa Indonesia lima tahun ke depan.
"Namun, UU No. 17/2014 tentang MD3 kan sedang diuji (judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi. Ya, tunggu saja putusan MK nantinya seperti apa," kata dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip Semarang itu.
Menyinggung soal kader parpol pemenang pemilu belum tentu menduduki kursi pimpinan dewan, dia menjelaskan bahwa "skenario" yang terdapat di dalam UU MD3 itu sebenarnya sama dengan Pemilu 1999. Ketika itu, pemilu dimenangi PDI Perjuangan. Akan tetapi, parlemen bukan diketuai kader parpol tersebut, melainkan dari Partai Golkar.
"Yang menjadi Ketua DPR kala itu malah Pak Akbar Tanjung dari Partai Golkar, sementara Ketua MPR dijabat oleh Pak Amien Rais dari PAN. Namun, pada Pemilu 2004 dan 2009 kan tidak lagi seperti itu," katanya.
Pada Pemilu 2004, kata dia, kursi Ketua DPR ditempati oleh parpol pemenang pemilu, yakni Partai Golkar, sementara pada Pemilu 2009 ditempati Partai Demokrat yang memenangi pemilu, dan seharusnya memang seperti itu.
Penempatan ketua DPR semestinya berdasarkan representasi suara rakyat atau parpol yang menang pemilu. Namun, putusan rapat paripurna DPR RI yang mengesahkan persetujuan RUU MD3 menjadi undang-undang, 8 Juli 2014, justru mengembalikan seperti Pemilu 1999.
Dengan keberadaan UU MD3, menurut Susilo Utomo, koalisi parpol pendukung Jokowi-JK bisa saja tidak memperoleh posisi apa-apa di parlemen, terutama ketua DPR, karena mekanisme pemilihannya lewat suara terbanyak.
Namun, itu semua tergantung pada putusan MK mengenai perkara tersebut. Begitu pula mengenai pengujian UU Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945, seyogianya semua pihak menunggu putusan MK, kecuali DPRD Provinsi DKI Jakarta menerima pengunduran diri Jokowi.
Jika tidak, bisa dikatakan sebuah tragedi politik karena sebagian besar rakyat Indonesia telah memilih pasangan Jokowi-JK pada Pilpres, 9 Juli lalu, dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau 53,15 persen dari suara sah nasional.
Kendati demikian, fenomena politik seperti itu tidak boleh dibiarkan. Dalam hal ini pemerintahan baru perlu merevisi sejumlah UU yang berpotensi terjadinya tragedi politik di Tanah Air. Atau, paling tidak mempersempit ruang gerak sejumlah oknum untuk menggagalkan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden pada masa yang akan datang.
Apalagi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta pernah menggunakan UU Pemerintahan Daerah untuk menolak pengunduran diri Wakil Gubernur DKI 2007--2012 Mayjen TNI (Purnawirawan) Prijanto.
Sebelum berakhir masa jabatannya, pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 26 Mei 1951, itu pada tanggal 26 Desember 2011 mengumumkan pengunduran dirinya sebagai wakil gubernur. Prijanto mengajukan surat pengunduran diri. Namun, pada tanggal 6 Maret 2012, pengunduran dirinya ditolak oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta.
Tidak pelak lagi, sejumlah warga yang menyatakan dirinya sebagai pemilih pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014, mengajukan pengujian Pasal 29 UU Pemerintah Daerah terhadap UUD 1945 ke MK.
Sejumlah pemohon yang mengajukan perkara tersebut pada tanggal 3 September 2014 pukul 13.27 WIB dengan Nomor Tanda Terima: 1299/PAN.MK/IX/2014, yakni Refki Saputra, Roni Saputra, Raysha Rahma, Carolus L. Tindra Matunino K., dan Kiki Pranasari.
Setelah Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Agustus 2014 pukul 20.44 WIB memutuskan menolak seluruhnya permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, praktis putusan MK Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014 ini mengukuhkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 536/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014.
Dengan statusnya sebagai capres terpilih, perjalanan Jokowi--sapaan akrab Joko Widodo--menuju Istana Kepresidenan tampaknya belum "aman". Pasalnya, hingga sekarang DPRD Provinsi DKI Jakarta belum memutuskan apakah permohonan pengunduran diri Jokowi dari jabatan Gubernur DKI Jakarta diterima atau ditolak.
Namun, yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak adalah DPRD Provinsi DKI Jakarta menolak pengunduran diri Jokowi sebagaimana lembaga legislatif itu pernah menolak Prijanto yang mengajukan surat pengunduran diri sebagai Wakil Gubernur DKI 2007--2012 atas permintaan sendiri [vide Pasal 29 Ayat (1) Huruf b].
Hal itu mengingat dalam Pasal 29 Ayat (3) Huruf b UU No. 32/2004 yang telah diubah dengan UU No. 12/2008 menyebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a dan Huruf b serta Ayat (2) Huruf a dan Huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD.
UU MD3
Tidak hanya UU Pemerintahan Daerah yang berpotensi menghalangi perjalanan Jokowi menuju Istana, tetapi juga UU No. 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau UU MD3 yang secara tidak langsung bakal menghambatnya.
Di dalam ketentuan yang termaktub di dalam UU MD3, tampaknya memberi peluang besar kepada wakil rakyat yang berasal dari partai politik pendukung Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto-Hatta Rajasa untuk menguasai parlemen.
Kendati PDI Perjuangan keluar sebagai pemenang pada Pemilu DPR RI, 9 April 2014, dengan jumlah suara sebanyak 23.681.471 (18,95 persen) atau 109 kursi DPR, tidak serta-merta kadernya plus kader dari parpol pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla duduk di kursi pimpinan DPR RI.
Undang-Undang MD3 yang tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 tertanggal 5 Agustus 2014 menyebutkan bahwa pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR (vide Pasal 84). Pimpinan lembaga legislatif ini dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
Disebutkan pula bahwa bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR. Dalam hal ini, setiap fraksi dapat mengajukan satu orang bakal calon pimpinan DPR.
Ditegaskan pula bahwa pimpinan DPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
Semisal koalisi partai politik pengusung pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres, 9 Juli lalu, tetap solid di parlemen, mereka berpeluang memenangi pemilihan pimpinan DPR RI karena Koalisi Merah Putih yang terdiri atas enam parpol ini memiliki kekuatan 353 suara atau 63 persen dari total 560 kursi DPR RI.
Dengan kekuatan di atas kertas, Koalisi Merah Putih berpeluang besar menduduki kursi pimpinan dewan dan sejumlah alat kelengkapan DPR RI lainnya, misalnya pimpinan komisi, Badan Musyawarah, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Pimpinan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, dan panitia khusus.
Jika dikaitkan dengan UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, seandainya koalisi itu menguasai parlemen, memungkinkan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden periode 2014--2019 pada tanggal 20 Oktober mendatang terancam tidak mulus.
Dalam Pasal 162 Ayat (1) disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden terpilih bersumpah menurut agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Kemudian, Ayat (2) berbunyi: "Jika MPR tidak dapat bersidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), presiden dan wakil presiden terpilih bersumpah menurut agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna DPR.
Jika DPR tidak dapat bersidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dan Wakil Presiden terpilih bersumpah menurut agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Menunggu Putusan MK
PDI Perjuangan sebagai partai pemenang Pemilu 2014 tidak tinggal diam. Sehari setelah UU MD3 masuk Lembaran Negara RI, atau tepatnya pada tanggal 6 Agustus 2014, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dkk. mengajukan permohonan pengujian sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut, termasuk Pasal 84, terhadap UUD 1945.
Dalam Nomor Perkara: 73/PUU-XII/2014 atas pemohon Megawati Soekarnoputri, Tjahjo Kumolo, S.H., Dwi Ria Latifa, S.H.,M.Sc., Dr. Junimart Girsang, S.H.,M.B.A.,M.H., Rahmani Yahya, dan Sigit Widiarto tidak hanya Pasal 84, tetapi juga Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3.
Sementara itu, analis politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Susilo Utomo mengatakan bahwa secara umum keberadaan Koalisi Merah Putih yang mendominasi di parlemen memang memunculkan kekhawatiran sekaligus akan menjadi tantangan berat bagi Jokowi-JK dalam memimpin bangsa Indonesia lima tahun ke depan.
"Namun, UU No. 17/2014 tentang MD3 kan sedang diuji (judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi. Ya, tunggu saja putusan MK nantinya seperti apa," kata dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip Semarang itu.
Menyinggung soal kader parpol pemenang pemilu belum tentu menduduki kursi pimpinan dewan, dia menjelaskan bahwa "skenario" yang terdapat di dalam UU MD3 itu sebenarnya sama dengan Pemilu 1999. Ketika itu, pemilu dimenangi PDI Perjuangan. Akan tetapi, parlemen bukan diketuai kader parpol tersebut, melainkan dari Partai Golkar.
"Yang menjadi Ketua DPR kala itu malah Pak Akbar Tanjung dari Partai Golkar, sementara Ketua MPR dijabat oleh Pak Amien Rais dari PAN. Namun, pada Pemilu 2004 dan 2009 kan tidak lagi seperti itu," katanya.
Pada Pemilu 2004, kata dia, kursi Ketua DPR ditempati oleh parpol pemenang pemilu, yakni Partai Golkar, sementara pada Pemilu 2009 ditempati Partai Demokrat yang memenangi pemilu, dan seharusnya memang seperti itu.
Penempatan ketua DPR semestinya berdasarkan representasi suara rakyat atau parpol yang menang pemilu. Namun, putusan rapat paripurna DPR RI yang mengesahkan persetujuan RUU MD3 menjadi undang-undang, 8 Juli 2014, justru mengembalikan seperti Pemilu 1999.
Dengan keberadaan UU MD3, menurut Susilo Utomo, koalisi parpol pendukung Jokowi-JK bisa saja tidak memperoleh posisi apa-apa di parlemen, terutama ketua DPR, karena mekanisme pemilihannya lewat suara terbanyak.
Namun, itu semua tergantung pada putusan MK mengenai perkara tersebut. Begitu pula mengenai pengujian UU Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945, seyogianya semua pihak menunggu putusan MK, kecuali DPRD Provinsi DKI Jakarta menerima pengunduran diri Jokowi.
Jika tidak, bisa dikatakan sebuah tragedi politik karena sebagian besar rakyat Indonesia telah memilih pasangan Jokowi-JK pada Pilpres, 9 Juli lalu, dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara atau 53,15 persen dari suara sah nasional.
Kendati demikian, fenomena politik seperti itu tidak boleh dibiarkan. Dalam hal ini pemerintahan baru perlu merevisi sejumlah UU yang berpotensi terjadinya tragedi politik di Tanah Air. Atau, paling tidak mempersempit ruang gerak sejumlah oknum untuk menggagalkan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden pada masa yang akan datang.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB