Pembubaran Ormas Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan
Jumat, 14 November 2014 2:25 WIB
Mendagri Tjahjo Kumolo (ilustrasi)
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kepada Antara, Kamis (13/11), mengakui bahwa pemerintah tidak mudah membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tidak berbadan hukum, seperti Front Pembela Islam (FPI).
"Untuk pembubaran ormas yang tidak berbadan hukum, perlu prosedur yang ketat. Jadi, tidak mudah dan perlu kajian komprehensif. Hal itu sudah diatur secara 'rigid' dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yakni Pasal 60 sampai dengan 67," kata Mendagri.
Di dalam Ayat (1), Pasal 60, UU No. 17/2013 tentang Ormas, disebutkan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 59.
Ayat (2) menerangkan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah melakukan upaya persuasif sebelum menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melakukan pelanggaran tersebut.
Adapun sanksi administratif, terdiri atas: peringatan tertulis; penghentian bantuan dan/atau hibah; penghentian sementara kegiatan; dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar (SKT) atau pencabutan status badan hukum (vide Pasal 61).
Peringatan tertulis, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 62, antara lain peringatan tertulis kesatu; peringatan tertulis kedua; dan peringatan tertulis ketiga. Peringatan tertulis ini diberikan secara berjenjang dan setiap peringatan tertulis tersebut berlaku dalam waktu paling lama 30 hari.
Dalam hal ormas telah mematuhi peringatan tertulis sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut peringatan tertulis dimaksud.
Sebaliknya, jika ormas tidak mematuhi peringatan tertulis kesatu dalam jangka waktu paling lama 30 hari, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan peringatan tertulis kedua.
Dalam hal ormas tidak mematuhi peringatan tertulis kedua dalam kurun waktu paling lama 30 hari, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan peringatan tertulis ketiga.
Di dalam Pasal 63 UU Ormas, disebutkan bahwa dalam hal ormas pernah dijatuhi peringatan tertulis kesatu sebanyak dua kali, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan peringatan tertulis kedua.
Dalam hal ormas pernah dijatuhi peringatan tertulis kedua sebanyak dua kali, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan peringatan tertulis ketiga.
Kemudian, di dalam Pasal 64 berbunyi, "Dalam hal ormas tidak mematuhi peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Ayat (5) dan Pasal 63 Ayat (2), pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan sanksi berupa: a. penghentian bantuan dan/atau hibah; dan/atau b. penghentian sementara kegiatan."
Selain itu, dalam hal ormas tidak memperoleh bantuan dan/atau hibah, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf b.
Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap ormas lingkup nasional, sebagaimana diatur di dalam Pasal 65, pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung.
Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 hari Mahkamah Agung tidak memberikan pertimbangan hukum, pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan.
Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap ormas lingkup provinsi atau kabupaten/kota, kepala daerah wajib meminta pertimbangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kepala kejaksaan, dan kepala kepolisian sesuai dengan tingkatannya.
Dalam Pasal 66, disebutkan bahwa sanksi penghentian sementara kegiatan dijatuhkan untuk jangka waktu paling lama enam bulan. Dalam hal jangka waktu penghentian sementara kegiatan berakhir, ormas dapat melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan ormas.
Dalam hal ormas telah mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut sanksi penghentian sementara kegiatan.
Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 Ayat (1) Huruf b, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar (SKT).
Pemerintah atau pemerintah daerah wajib meminta pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebelum menjatuhkan sanksi pencabutan SKT.
Mahkamah Agung wajib memberikan pertimbangan hukum mengenai hal itu dalam jangka waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya permintaan pertimbangan hukum.
Kewajiban Ormas
Sepanjang ormas tidak melanggar ketentuan di dalam Pasal 21 dan Pasal 59 UU Ormas, pemerintah tidak akan membubarkan ormas. Sebaliknya, bila tidak mematuhinya, terancam dibubarkan.
Kewajiban ormas, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21, antara lain melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi; menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat.
Selain itu, berkewajiban menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat; melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
Di dalam UU Ormas, khususnya Pasal 59, ormas dilarang menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang ormas.
Larangan lainnya, menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan.
Ormas juga dilarang menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera ormas, kemudian menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.
Di samping itu, ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar ormas lain atau partai politik.
Hal lain yang tidak boleh dilakukan oleh ormas adalah tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan. Selain itu, melarang ormas melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.
Ormas juga dilarang melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Larangan lainnya, ormas tidak boleh menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau mengumpulkan dana untuk partai politik.
Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Tidak Atasi Persoalan
Kendati pembubaran ormas tidaklah mudah dilakukan oleh pemerintah, menurut Koalisi Kebebasan Berserikat, pembubaran atau pemberian label ilegal terhadap sebuah organisasi dengan berlandaskan UU Ormas tidak mengatasi dasar persoalan kekerasan oleh ormas.
"Masalahnya, organisasi yang dibubarkan atau dicap ilegal akan dengan mudah dibentuk kembali dan diberi nama lain," kata Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Fransisca Fitri kepada Antara, Kamis (9/10).
Iko--sapaan akrab Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika)--menegaskan, "Menggunakan UU Ormas untuk membubarkan atau memberi label ilegal sebuah organisasi pun tidak akan mengatasi dasar persoalan kekerasan oleh kelompok/organisasi yang memiliki massa."
Iko dan Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menyampaikan pernyataan KKB itu ketika merespons kekerasan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dalam demo di depan Balai Kota DKI Jakarta (3/10).
Dalam kejadian tersebut, kata Iko, beberapa pihak mulai mengaitkan tindakan kekerasan FPI (3/10) dengan keberadaan UU No. 17/2013 tentang Ormas.
Ia mencontohkan pernyataan Direktur Ketahanan Seni Budaya, Agama, dan Kemasyarakatan Budi Prasetyo yang dimuat di salah satu media online (7/10) bahwa FPI Pusat sudah terdaftar sebagai ormas di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sesuai dengan UU Ormas.
"Jika ada organisasi massa yang berada di wilayah kabupaten/kota atau provinsi, seharusnya terdaftar di daerah itu," kata Budi Prasetyo sebagaimana yang dikutip Iko dalam siaran persnya.
Perlu dicatat, lanjut Iko, penindakan terhadap FPI tidak ada kaitannya dengan status terdaftar atau tidak di instansi Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).
Menurut dia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, termasuk yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, yang menyatakan permusuhan, ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum.
"Tidak tegasnya aparat penegak hukum selama ini dalam menindak pelaku kekerasan tidak ada kaitannya dengan UU Ormas," tegasnya.
Di lain pihak, Iko menilai tindakan yang diambil oleh Polda Metro Jaya dalam penegakan KUHP sudah tepat.
"Yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah tindakan tegas terhadap orang-orang atau kelompok yang terbukti melakukan kekerasan," ujarnya.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB