Ketu DPD: Harga BBM Tidak Boleh Mengikuti Pasar
Senin, 30 Maret 2015 17:37 WIB
Irman Gusman
"Harga BBM tidak boleh kayak yoyo gitu, turun-naik. Harus ada batas waktu, apakah per enam bulan, per satu tahun. Namun, harganya tidak boleh mengikuti pasar," katanya di Semarang, Senin.
Hal tersebut diungkapkan senator asal Sumatera Barat itu usai menyampaikan orasi ilmiah pada peringatan Dies Natalis Ke-50 Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Auditorium kampus tersebut.
Pada kesempatan itu, Irman menyampaikan orasi ilmiah yang mengangkat tema "Pembangunan Sumber Daya Insani Yang Unggul dan Berkarakter Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)".
Menurut pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, 11 Februari 1962 itu, penentuan harga BBM yang mengikuti mekanisme pasar bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau begini masyarakat jadi kesulitan. Masalahnya, pada psikologi harga. Kecenderungannya kalau BBM naik Rp500/liter, tarif bus naik, oplet naik, (harga, red.) ini naik," tukasnya.
Ia mengatakan pihaknya tidak melarang pemerintah menaikkan atau menurunkan harga BBM, tetapi harus ada mekanisme yang diterapkan untuk menjaga harga-harga kebutuhan masyarakat.
"Pada harga berapa (BBM, red.), pemerintah yang lebih tahu. Yang jelas, harga BBM tidak boleh mengikuti harga pasar, harga dunia. 'Masa' harga minyak dunia naik, langsung naik," pungkas Irman.
Sebelumnya, anggota DPD RI Bambang Sadono juga mengingatkan pemerintah untuk tidak terlalu sering menaik-turunkan harga BBM karena berpengaruh pada stabilitas harga-harga kebutuhan pokok.
"Yang jadi soal bukan masalah harganya (BBM, red.) berapa. Akan tetapi, masalah stabilitas harga-harga kebutuhan. Begitu dinaikkan, harga-harga (barang) semua naik," katanya di Semarang, Sabtu (28/3).
Senator asal Jawa Tengah itu memahami argumentasi pemerintah yang mengurangi subsidi dan mengikuti mekanisme pasar dalam menentukan harga BBM, namun harga BBM yang terlalu sering naik-turun merepotkan rakyat.
Sebagaimana diwartakan, pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM jenis premium penugasan luar Jawa-Bali dan solar bersubsidi masing-masing Rp500/liter mulai Sabtu, 28 Maret 2015, pukul 00.00 WIB.
Hal tersebut diungkapkan senator asal Sumatera Barat itu usai menyampaikan orasi ilmiah pada peringatan Dies Natalis Ke-50 Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Auditorium kampus tersebut.
Pada kesempatan itu, Irman menyampaikan orasi ilmiah yang mengangkat tema "Pembangunan Sumber Daya Insani Yang Unggul dan Berkarakter Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)".
Menurut pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, 11 Februari 1962 itu, penentuan harga BBM yang mengikuti mekanisme pasar bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau begini masyarakat jadi kesulitan. Masalahnya, pada psikologi harga. Kecenderungannya kalau BBM naik Rp500/liter, tarif bus naik, oplet naik, (harga, red.) ini naik," tukasnya.
Ia mengatakan pihaknya tidak melarang pemerintah menaikkan atau menurunkan harga BBM, tetapi harus ada mekanisme yang diterapkan untuk menjaga harga-harga kebutuhan masyarakat.
"Pada harga berapa (BBM, red.), pemerintah yang lebih tahu. Yang jelas, harga BBM tidak boleh mengikuti harga pasar, harga dunia. 'Masa' harga minyak dunia naik, langsung naik," pungkas Irman.
Sebelumnya, anggota DPD RI Bambang Sadono juga mengingatkan pemerintah untuk tidak terlalu sering menaik-turunkan harga BBM karena berpengaruh pada stabilitas harga-harga kebutuhan pokok.
"Yang jadi soal bukan masalah harganya (BBM, red.) berapa. Akan tetapi, masalah stabilitas harga-harga kebutuhan. Begitu dinaikkan, harga-harga (barang) semua naik," katanya di Semarang, Sabtu (28/3).
Senator asal Jawa Tengah itu memahami argumentasi pemerintah yang mengurangi subsidi dan mengikuti mekanisme pasar dalam menentukan harga BBM, namun harga BBM yang terlalu sering naik-turun merepotkan rakyat.
Sebagaimana diwartakan, pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM jenis premium penugasan luar Jawa-Bali dan solar bersubsidi masing-masing Rp500/liter mulai Sabtu, 28 Maret 2015, pukul 00.00 WIB.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024