PBNU Sinyalir Radikalisme Sudah Menjalar ke Selebriti dan Profesional
Rabu, 3 Juni 2015 13:51 WIB
"Ini berbahaya dan bisa dibilang mengerikan. Dari data-data yang ada, mereka sudah menyasar beberapa pihak yang punya banyak simpatisan atau penggemar seperti artis," kata Adnan di Jakarta, Rabu.
Menurut Adnan, gerakan pengusung radikalisme juga membidik kalangan menengah seperti pegawai negeri, aparat TNI, Polri, bahkan petugas Lembaga Pemasyarakat.
"Ini fakta yang tidak bisa dibantah, sehingga harus ada gerakan nyata untuk melawan mereka. Saya khawatir bila
dibiarkan seperti ini, artinya pemerintah tidak menyiapkan instrumen hukum yang pasti, kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini bakal terancam," kata dia.
PBNU sendiri tidak pernah berhenti untuk membendung dan melawan gerakan radikalisme, namun diakui Adnan apa yang dilakukan PBNU tidak cukup bila tak didukung pemerintah dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain.
"Masalah ini sangat krusial, karena dipicu kondisi bangsa Indonesia yang belum stabil," katanya.
Adnan mengakui mobilisasi propaganda di kalangan menengah saat ini sangat kuat, termasuk melalui media sosial, sehingga agak sulit untuk membendung pergerakan mereka.
"Ada profesor, doktor, insinyur, bahkan jurnalis. Merekalah yang justru paling berbahaya. Kalau martir-martirnya mudah diatasi," kata dia.
Adnan berharap pemerintah segera membuat instrumen hukum pasti terkait gerakan radikalisme itu, apalagi ada kelompok yang ingin meruntuhkan NKRI dan mendirikan negara baru.
"Bayangkan, saat ini ada organisasi yang jelas-jelas ingin mendirikan negara sendiri masih bisa bebas menggelar kegiatannya," kata dia.
Sementara itu, mantan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) Abdurrahman Ayub meminta pemerintah menerapkan cara-cara pemberantasan radikalisme dan terorisme seperti cara-cara yang digunakan pada zaman Orde Baru.
"Di zaman Orde Baru, pelaku terorisme, seperti saya waktu itu, tidak bisa hidup dan tidur nyenyak di Indonesia. Alhasil kami harus hijrah ke negara lain, seperti Malaysia, Pakistan, dan Afganistan. Bagaimana kami tidak pergi, saat itu, RT atau RW bisa menjadi intel sehingga tidak ada ruang bagi terorisme untuk menjalankan kegiatannya," kata dia.
Artinya, lanjut mantan pimpinan JI Australia ini, gerakan radikalisme tidak bisa diberi sedikit ruang untuk berkembang. Apalagi teknologi sekarang semakin canggih.
"Bayangkan, Aman Abdurrahman bisa dibaiat oleh pimpinan ISIS Abubakar Al Baghdadi hanya melalui kecanggihan alat
telekomunikasi. Intinya, dibandingkan dulu, pemberantasan paham radikalisme harus lebih keras dan signifikan," katanya.
Menurut Adnan, gerakan pengusung radikalisme juga membidik kalangan menengah seperti pegawai negeri, aparat TNI, Polri, bahkan petugas Lembaga Pemasyarakat.
"Ini fakta yang tidak bisa dibantah, sehingga harus ada gerakan nyata untuk melawan mereka. Saya khawatir bila
dibiarkan seperti ini, artinya pemerintah tidak menyiapkan instrumen hukum yang pasti, kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini bakal terancam," kata dia.
PBNU sendiri tidak pernah berhenti untuk membendung dan melawan gerakan radikalisme, namun diakui Adnan apa yang dilakukan PBNU tidak cukup bila tak didukung pemerintah dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain.
"Masalah ini sangat krusial, karena dipicu kondisi bangsa Indonesia yang belum stabil," katanya.
Adnan mengakui mobilisasi propaganda di kalangan menengah saat ini sangat kuat, termasuk melalui media sosial, sehingga agak sulit untuk membendung pergerakan mereka.
"Ada profesor, doktor, insinyur, bahkan jurnalis. Merekalah yang justru paling berbahaya. Kalau martir-martirnya mudah diatasi," kata dia.
Adnan berharap pemerintah segera membuat instrumen hukum pasti terkait gerakan radikalisme itu, apalagi ada kelompok yang ingin meruntuhkan NKRI dan mendirikan negara baru.
"Bayangkan, saat ini ada organisasi yang jelas-jelas ingin mendirikan negara sendiri masih bisa bebas menggelar kegiatannya," kata dia.
Sementara itu, mantan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) Abdurrahman Ayub meminta pemerintah menerapkan cara-cara pemberantasan radikalisme dan terorisme seperti cara-cara yang digunakan pada zaman Orde Baru.
"Di zaman Orde Baru, pelaku terorisme, seperti saya waktu itu, tidak bisa hidup dan tidur nyenyak di Indonesia. Alhasil kami harus hijrah ke negara lain, seperti Malaysia, Pakistan, dan Afganistan. Bagaimana kami tidak pergi, saat itu, RT atau RW bisa menjadi intel sehingga tidak ada ruang bagi terorisme untuk menjalankan kegiatannya," kata dia.
Artinya, lanjut mantan pimpinan JI Australia ini, gerakan radikalisme tidak bisa diberi sedikit ruang untuk berkembang. Apalagi teknologi sekarang semakin canggih.
"Bayangkan, Aman Abdurrahman bisa dibaiat oleh pimpinan ISIS Abubakar Al Baghdadi hanya melalui kecanggihan alat
telekomunikasi. Intinya, dibandingkan dulu, pemberantasan paham radikalisme harus lebih keras dan signifikan," katanya.
Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Masinton Pasaribu Sinyalir Ada Upaya Sistematis Buruk-Burukkan Pemerintah
30 December 2016 7:39 WIB, 2016
Politisi Gerinda Sinyalir Diterbitkannya Perppu untuk Akomodir Partai Tertentu
05 August 2015 10:53 WIB, 2015
Terpopuler - Politik dan Hankam
Lihat Juga
Zulkifli Hasan Berharap Jakarta Kembali Tenang dan Damai Setelah Pilkada
02 February 2017 6:50 WIB, 2017
Agus: Saya hanya Sampaikan "Salam Hormat" ke Pak Maruf dan Pengurus PBNU
01 February 2017 19:04 WIB, 2017
" Presiden Jokowi Ingin Bertemu Saya, Tapi Dilarang Dua-Tiga di Sekeliling Beliau," Kata SBY
01 February 2017 18:35 WIB, 2017
Tim Anies-Sandi: Kegiatan PT MWS pada Masyarakat Tentang Reklamasi Pulau G Memaksakan Ambisi
01 February 2017 17:17 WIB, 2017
Setnov: NU Salalu Hadir sebagai Organisasi yang Suarakan Perdamaian dan Kesejukan
01 February 2017 16:41 WIB, 2017
Ahok Menyayangkan ada Pihak yang Mengadu Domba bahwa Dia Menghina Integritas PBNU
01 February 2017 16:12 WIB, 2017
Din: Tudingan Ahok Terhadap Maruf Bernada Sarkastik dan Sangat Menghina
01 February 2017 15:58 WIB, 2017
SBY perlu Klarifikasi Pernyataan Kuasa Hukum Ahok yang Mengkaitkan Fatwa MUI
01 February 2017 14:56 WIB, 2017