"Perbedaan hari Idul Adha semata disebabkan belum adanya kesepakatan metode penentuan dalam kalender Hijriah," katanya di hadapan jamaah shalat Idul Adha di Universitas Muhammadiyah Semarang, Rabu.

Mengutip hadis, Tabri menyatakan bahwa dalam perbedaan mengandung rahmat sehingga setiap ketidaksamaan harus pula disertai sikap bijak umat Islam.

"Perbedaan tidak boleh merusak persatuan umat. Keyakinan kita haruslah mampu membawa Islam berkemajuan," tutur dosen Unimus tersebut yang saat itu juga menjadi imam salat Idul Adha.

Muhammadiyah yang menggunakan metode "hisab wujudul hilal" menetapkan Idul Adha 2015 jatuh pada 23 September, sedangkan pemerintah yang menggunakan metode rukyat menetapkan 24 September.

Sejumlah negara di Timur Tengah yang telah menggunakan metode hisab, ujar Tabri, juga menetapkan Idul Idha 2015 pada 23 September, misalnya, Qatar, Kuwait, Libanon, dan Libya. Sementara itu, Arab Saudi pada 24 September 2015.

Ia menjelaskan Idul Adha yang dibarengi dengan ibadah pemotongan hewan kurban merupakan manifestasi ketundukan manusia kepada Allah yang dalam perjalanan ajaran tauhid, digambarkan melalui pengorbanan Nabi Ismail dan Ibrahim.

Tanpa ada iman dan tauhid dari kedua nabi tersebut, menurut Tabri, Ismail dan Ibrahim tidak akan tunduk atas perintah Allah karena tindakan tersebut sungguh suatu perbuatan yang sangat berat bagi keduanya.