"Calon gubernur pesaing Ahok supaya diumumkan cepat agar publik bisa mengawasi calon tersebut," kata Philips pada rilis hasil survei pra-Pilkada DKI Jakarta oleh CSIS di Jakarta, Senin.

Keterlambatan pengumuman calon gubernur DKI Jakarta sebagai pesaing Ahok dapat menyebabkan tim pengusung calon kehilangan akal dalam menjaring pemilih, dan kemudian melakukan mobilisasi suara dengan cara-cara primordial, padahal cara-cara seperti ini tidak digunakan lagi dalam pemilihan gubernur Jakarta.

CSIS menginginkan proses pencalonan tidak dengan melibatkan mahar-mahar politik.

"Kalau publik tahu calonnya baik, maka publik diberi menu yang baik pula sehingga siapa pun yang memenangkan pemilihan gubernur maka pemenangnya adalah para pemilih," kata Philips.

Menurut dia, proses pencalonan figur penantang Ahok adalah pekerjaan rumah bagi partai politik sebagai peserta Pilkada mengingat Ahok telah melakukan persiapan untuk maju sebagai calon independen.

"Partai politik kurang mendapatkan trust dari masyarakat. Pekerjaan rumah bagi parpol agar dapat mengembalikan kepercayaan publik untuk kemudian mengusung calon demi kepentingan yang lebih besar," ulas Philips.

Hasil survei pra-Pilkada DKI Jakarta oleh CSIS menyimpulkan Ahok nyaris tidak memiliki lawan politik yang tangguh, karena memiliki persentase "respons" yang tinggi untuk tingkat popularitas, kesukaan (akseptabilitas), dan elektabilitas.

Ahok menduduki peringkat pertama tingkat elektabilitas tertinggi sebagai calon gubernur DKI Jakarta dengan 45 persen suara, disusul Wali Kota Bandung Ridwan Kamil 15,75 persen, dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini 7,75 persen.

"Pemilih di Jakarta masih cenderung melihat kepribadian dan visi dari calon pemimpinnya. Hal itu dibuktikan pada pemilihan gubernur 2012 lalu, di mana pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama mengusung visi Jakarta Baru," kata peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Arya Fernandes.