Pengadilan Agama Kota Semarang mencatat bahwa hampir 70 persen gugatan cerai diajukan oleh istri. Sepanjang 2015, pengadilan ini menyidangkan 3.189 perkara perceraian. Dari jumlah tersebut, 2.197 kasus atau 68 persen lebih merupakan gugatan dari pihak istri.

Sebuah persentase yang lebih dari cukup dan meyakinkan untuk dibaca sebagai perubahan relasi hubungan suami istri, yang sebelum era emansipasi perempuan, penggugat lebih didominasi oleh pihak suami.

Data serupa juga dilaporkan oleh Kantor Kementerian Agama Purbalingga. Saat ini angka perceraian di kabupaten itu sudah hampir menyentuh 20 persen dari jumlah pernikahan dengan mayoritas gugat cerai diajukan oleh istri. Jumlah pernikahan di kabupaten ini sekitar 10.000-11.000/tahun.

Di luar faktor kompleksitas hidup di zaman informasi seperti sekarang ini, dominannya istri mengajukan gugatan cerai dalam kasus di Kota Semarang itu menunjukkan keberanian istri untuk menghadapi hidup sendiri tanpa suami. Setidaknya sampai dia mendapatkan suami baru bila hal ini memang yang dikehendakinya.

Nilai-nilai lawas mengenai relasi suami-istri, misalnya, istri sebagai "kanca wingking" suami, istri harus patuh suami, suami sebagai kepala keluarga, dan istri harus menjaga rahasia rumah tangga dan suami, tampaknya terus tergusur bersamaan dengan menguatnya arus kesetaraan gender.

Istri di zaman kehidupan modern memang bukan lagi sosok yang pasif. Begitu pula suami di zaman sekarang ini bukan saja dituntut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap nafkah keluarga, melainkan harus bisa melakukan tugas-tugas domestik yang dalam budaya feodal dan patriarkat hanya menjadi domain istri (perempuan).

Kini begitu jamak istri yang bekerja, bahkan menjadi penopang nafkah keluarga karena penghasilan suami jauh lebih sedikit.

"Dugaan sementara, fenomena tingginya gugat cerai disebabkan tulang punggung keluarga telah beralih dari suami ke pihak istri," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa di Purbalingga, Jawa Tengah, tahun lalu.

Program pemberdayaan dan emansipasi perempuan dengan segala ideologi yang melekat di dalamnya, harus diakui berhasil. Istri, juga kaum perempuan, kini bisa menentukan nasib dirinya sendiri, bukan lagi mengandalkan suami atau kaum pria sebagai patron.

Oleh karena itu, bila belakangan ini pengadilan agama di sejumlah daerah disesaki berkas gugatan cerai yang diajukan oleh pihak istri, bisa juga dibaca sebagai "hasil" sampingan dari program emansipasi perempuan.

Kian leluasanya kaum perempuan bekerja menjadikan mereka lebih independen: berani menghadapi hidup tanpa suami sekalipun dalam banyak kasus mereka harus pula menghidupi anak.

Namun harus diakui bahwa kemajuan teknologi informasi juga ikut mengubah gaya hidup yang lebih berisiko dalam menjaga keutuhan pasangan suami istri. Godaan berselingkuh baik dari pihak istri maupun suami begitu dahsyat. Rumah tangga yang dirajut oleh ikatan suci perkawinan suami istri sangat mudah retak ketika salah satu pihak tergoda berpaling ke lain hati.

Program emansipasi perempuan sejauh ini sudah membawa kaum Hawa memasuki semua sektor, termasuk ruang yang dulu hanya dianggap bisa dilakukan oleh pria. Kaum pria pun kini tidak lagi risih mengerjakan tugas-tugas domestik rumah tangga yang dulu diyakini monopoli kaum perempuan/istri.

Akan tetapi, bila belakangan kian marak istri menggugat cerai suami, kiranya perlu dilakukan rekayasa sosial lain. Bukan berarti hanya suami yang berhak gugat cerai istri, melainkan lebih mendesain rekayasa sosial untuk membangun nilai-nilai baru ikatan perkawinan. Negara berkepentingan menjaga keutuhan suami istri karena dari keluarga seperti inilah kelak lahir generasi yang lebih berkualitas.

Caranya, bisa saja negara memberi insentif atau penghargaan kepada pasangan yang mempertahankan ikatan perkawinan resmi untuk masa 10 tahun, 15 tahun, 25 tahun, dan seterusnya.

Apresiasi tersebut pada akhirnya bisa menguatkan nilai ikatan perkawinan. Kalau negara melalui pengadilan agama bisa mengesahkan perceraian, seharusnya pula memberi penghargaan kepada suami istri "sehidup semati". ***