Semarang, Antara Jateng - Gempa besar disertai gelombang tsunami melanda Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian wilayah Sumatera Utara pada 24 Desember 2004.

         Gempa berkekuatan 9 skala Richter yang disusul dengan tsunami tersebut menewaskan lebih dari 100 ribu penduduk Aceh dan Sumatera Selatan.

         Kejadian tersebut merupakan satu dari banyak bencana dan kecelakaan yang harus ditangani tim Disaster Victim Identification (DVI), suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal dunia yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah di depan hukum dan ilmiah.

         Salah satu anggota Tim DVI Indonesia ialah Ajun Komisaris Besar Polisi Sumy Hastry Purwanti.

         Kepala Subbidang Kedokteran Kepolisian Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Jawa Tengah tersebut telah turut serta dalam proses identifikasi berbagai kejadian bencana maupun kecelakaan yang memakan korban jiwa cukup banyak.

         Selain tsunami Aceh, Hastry menyebut sejumlah kejadian yang turut ditanganinya dalam upaya mengungkap identitas korban, seperti Bom Bali I dan II, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, tenggelamnya KM Senopati Nusantara di Laut Jawa, hingga tragedi pesawat Sukhoi Super Jet di Gunung Salak.

         Menurut dia, banyaknya korban tewas dalam suatu bencana atau kecelakaan membutuhkan upaya cepat pengungkapan identitas korbannya.

         "Perjuangan mencari tahu identitas jenazah korban bukan hal sepele. Jenazah juga mempunyai hak untuk teridentifikasi," kata lulusan spesialis Ilmu Kedokteran Forensik tersebut.

         Ia menjelaskan terdapat sejumlah teknik yang bisa digunakan untuk membantu proses pengungkapan identitas korban meninggal dunia.

         Secara ilmiah, lanjut dia, proses identifikasi dapat dilakukan melalui beberapa cara, seperti identifikasi medis umum, melalui tulang belulang, golongan darah, identifikasi gigi, serologi, hingga pemetaan deoxyribonucleic acid atau DNA.

         Ia menuturkan identifikasi korban tewas mutlak diperlukan karena menyangkut pengendalian kekacauan yang mungkin terjadi di masyarakat, psikologis keluarga korban, penegakan hak asasi manusia, aspek hukum berkaitan dengan ahli waris korban, hingga dugaan keterlibatan dalam suatu tindak pidana.

         Dalam kasus pidana, misalnya teror bom atau serangan teroris, kata dia, operasi DVI menjadi salah satu penyumbang pengungkapan suatau kejadian.

         "Misalnya mencari pelakunya, mengidentifikasi korban tewas. Hal ini tentu sangat bermanfaat bagi suatu penyidikan," katanya.

         Dari kurun waktu 15 tahun berkecimpung dalam dunis forensik, peristiwa Bom Bali I pada Oktober 2002 merupakan salah satu yang berkesan baginya.

         Korban tewas dalam peristiwa tersebut yang mencapai 202 orang, sebagian  besar di antaranya merupakan warga negara asing.

         Dengan korban sebanyak itu, kata dia, ternyata keberadaan dokter forensik pada masa itu masih sangat terbatas.

         "Waktu itu baru ada empat dokter forensik termasuk saya yang perempuan sendiri," katanya.

         Sementara saat ini, keberadaan dokter forensik sudah cukup banyak, termasuk keberadaan perempuan ahli forensik.

         Saat ini, lanjut dia, Polri memiliki lima polisi wanita yang bertugas sebagai dokter forensik yang tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta serta Mataram.

   
Doktor Spesialis Forensik
         Ketertarikannya terhadap dunia forensik tidak menghentikan semangat Hastry untuk berkontribusi terhadap bidang yang sudah bertahun-tahun digelutinya itu.

         Hastry meraih gelar Doktor Spesialis Forensik di Universitas Airlangga Surabaya pada Maret 2016.

         Gelar itu menjadikan ibu dua anak tersebut sebagai satu-satunya wanita yang menyandang gelar doktor spesialis forensik di wilayah Asia.

         Disertasinya dalam meneliti DNA kelompok populasi penduduk Indonesia menjadi sumbangsih besar terhadap proses percepatan identifikasi korban bencana maupun pelaku tindak pidana.

         Disertasi tersebut mengambil judul "Variasi Genetika Pada Populasi Batak, Jawa, Dayak, Toraja dan Trunyan dengan Pemeriksaan D-Loop Mitokondria DNA untuk Kepentingan Identifikasi Forensik".

         Hastry meneliti DNA Mitokondria atas 5 populasi besar penduduk Indonesia, yakni Batak (Sumatera), Dayak (Kalimantan), Toraja (Sulawesi), Trunyan (Bali) dan Jawa (Pulau Jawa).

         "Lima suku itu mewakili 5 pulau besar di Indonesia. Kelimanya juga punya budaya hampir sama dalam penguburan jenazah, diletakkan di atas tanah," katanya.

         Ia mengambil 70 sampel DNA yang akhirnya diperoleh hasil hanya 50 sampel yang dapat terbaca.

         Hasl penelitian tersebut selanjutnya dimasukkan dalam database DNA suku-suku di Indonesia.

         Di tingkat Asia, lanjut dia, sudah terdapat database DNA. Namun, untuk kelima suku tersebut belum ada.

         Bagi kepolisian, ia menyebut hasil penelitian tersebut akan sangat bermanfaat, khususnya dalam identifikasi korban maupun pelaku kejahatan.

         "Sebelum data semasa hidup diperoleh, kepolisian sudah bisa memetakan," katanya.

         Ia mencontohkan jika diketahui pelaku kejahatan memiliki DNA suku batak, maka polisi bisa mengerucutkan target yang dimaksud ke suku tersebut saja.

         Pengambilan DNA jenazah tersebut, lanjut dia, sekaligus sebagai pembanding petugas dalam mengungkap suatu kasus.

   
Makna Kartini
         Penelitian untuk meraih gelar doktornya tersebut bukan akhir ambisi Hastry di bidang forensik, selain satu buku berjudul "Buku Dari Bom Bali hingga Tragedi Sukhoi : Keberhasilan DVI Indonesia dalam Mengungkap Berbagai Kasus".

         Istri Harry Tjahjanto ini masih memiliki sejumlah keinginan yang belum tercapai, seperti kembali menyusun buku serta melakukan penelitian lagi untuk melengkapi database DNA yang sudah ada saat ini.

         "Masih ingin tambah lagi karena untuk wilayah timur, seperti Papua, belum terpetakan," katanya.

         Di tengah kesibukan sebagai Kepala Subbidang Kedokteran Kepolisian, Hastry juga masih meluangkan waktu untuk membagi ilmu bagi mahasiswa kedokteran di Universitas Sultan Agung Semarang dan Universitas Diponegoro Semarang.

         Menurut dia, forensik merupakan mata kuliah wajib yang diajarkan di Fakultas Kedokteran.

         Sebagai polisi wanita berprestasi, ia mendorong kaum perempuan untuk menempuh pendidikan dan berkarier setinggi-tingginya.

         "Perempuan harus punya cita-cita, kuat, tidak boleh mengeluh, sekolah setinggi-tingginya, berkarier, punya banyak wawasan," katanya.

         Dengan berkarier, kata dia, bisa menghindarkan perempuan dari kejenuhan. "Perempuan tidak boleh galau," ujarnya.