Hikmahanto: Pemerintah harus Tegas Menegakkan Peringatan Jalur Maritim Berbahaya
Istri mualim I Kapal Charles, Ismail, Dian Megawati Ahmad (tengah) berdialog dengan Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri dalam pertemuan tertutup terkait penyanderaan tujuh kru Kapal Charles oleh kelompok bersenjata
Menurut dia, pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah tepat dengan moratorium pengiriman batu bara ke Filipina, juga peringatan agar para anak buah kapal (ABK) tidak melalui jalur pelayaran berbahaya. Namun, peringatan ini seringkali tidak diindahkan oleh ABK atau para perusahaan pemilik kapal.
"Misalnya, kapal berbendera Malaysia (yang dibajak), adil tidak kalau mereka disandera tetapi pemerintah kita yang turun tangan? Penculik minta tebusan, pemerintah Indonesia tidak bisa mendesak perusahaan untuk membayar, sedangkan pemerintah Malaysia angkat tangan," ujar Hikmahanto saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu berpendapat pemerintah Indonesia harus lebih tegas menegakkan peringatan akan jalur-jalur maritim yang berbahaya di sekitar perairan Malaysia dan Filipina.
Di sisi lain, masyarakat terutama para WNI yang bekerja di kapal-kapal asing, harus memahami bahwa saat ini WNI memiliki "harga" tersendiri di mata kelompok penyandera, terbukti dengan kasus yang terjadi selama dua bulan terakhir di mana para penculik terkesan hanya mengutamakan WNI sebagai sasaran.
Motif penculikan WNI oleh Abu Sayyaf disebut-sebut karena dalam pembebasan 10 WNI pada Mei lalu, kelompok militan bersenjata itu berhasil memperoleh uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp14 miliar, meskipun pemerintah Indonesia menyangkal isu tersebut.
Pembayaran tebusan, menurut Hikmahanto, selain tidak menunjukkan sikap tegas pemerintah juga bermakna negatif karena Indonesia seolah-olah membantu Abu Sayyaf melakukan pemberontakan terhadap pemerintah sah Filipina.
"Sementara kalau kita melihat Kanada dan Norwegia, mereka tidak membayar tebusan meskipun warganya sampai dieksekusi. Empat warga Malaysia (yang disandera) juga belum dibebaskan sampai sekarang karena mereka tegas tidak mau membayar," ucapnya.
Hingga saat ini, WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf berjumlah 11 orang dan belum dibebaskan. Kasus terakhir adalah penyanderaan Herman Bin Manggak, warga asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang merupakan kapten kapal penangkap udang berbendera Malaysia.
Herman diculik di wilayah Kinabatangan, Sabah, Malaysia pada 3 Agustus lalu, sementara dua ABK kapal masing-masing berkewarganegaraan Indonesia dan Malaysia, telah dilepaskan.
Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Agustina: Pemerintah perlu wadahi kreativitas remaja cegah maraknya gangster
26 October 2024 11:15 WIB
Jelang pelantikan Presiden dan Wapres RI, PPM harap dapat perkuat sinergi dengan Pemerintah
14 October 2024 18:01 WIB
Terpopuler - Politik dan Hankam
Lihat Juga
Zulkifli Hasan Berharap Jakarta Kembali Tenang dan Damai Setelah Pilkada
02 February 2017 6:50 WIB, 2017
Agus: Saya hanya Sampaikan "Salam Hormat" ke Pak Maruf dan Pengurus PBNU
01 February 2017 19:04 WIB, 2017
" Presiden Jokowi Ingin Bertemu Saya, Tapi Dilarang Dua-Tiga di Sekeliling Beliau," Kata SBY
01 February 2017 18:35 WIB, 2017
Tim Anies-Sandi: Kegiatan PT MWS pada Masyarakat Tentang Reklamasi Pulau G Memaksakan Ambisi
01 February 2017 17:17 WIB, 2017
Setnov: NU Salalu Hadir sebagai Organisasi yang Suarakan Perdamaian dan Kesejukan
01 February 2017 16:41 WIB, 2017
Ahok Menyayangkan ada Pihak yang Mengadu Domba bahwa Dia Menghina Integritas PBNU
01 February 2017 16:12 WIB, 2017
Din: Tudingan Ahok Terhadap Maruf Bernada Sarkastik dan Sangat Menghina
01 February 2017 15:58 WIB, 2017
SBY perlu Klarifikasi Pernyataan Kuasa Hukum Ahok yang Mengkaitkan Fatwa MUI
01 February 2017 14:56 WIB, 2017