Warga Lereng Sindoro Lestarikan Jalan Batu
Sabtu, 18 Maret 2017 15:01 WIB
Seorang warga lereng Gunung Sindoro di Desa Balesari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, berjalan kaki melewati jalan batu (trasahan) di desa tersebut. (Foto: ANTARA JATENG.COM/Heru Suyitno)
Temanggung, ANTARA JATENG - Jalan batu yang dulu banyak ditemukan di perdesaan di Kabupaten Temanggung yang disebut jalan "trasahan", lambat laun mulai terkikis oleh kemajuan zaman karena diganti menjadi jalan beraspal atau rabat beton.
Apalagi dengan dikucurkannya dana desa dari pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah desa seolah berlomba memperkeras jalan dengan mengecor jalan maupun membuat jalan beraspal.
Memang kelihatan lebih bagus dan kuat dengan jalan dibeton maupun diaspal. Tetapi kalau dilihat dari sisi lingkungan, sebenarnya kurang tepat, apalagi di dataran tinggi tentu air hujan akan lari ke selokan dan meluncur ke bawah semua karena tidak ada resapan sehingga juga menimbulkan kerawan banjir di kawasan bawah.
Sebenarnya jalan "trasahan" jika dibuat dengan serius, tanpa asal-asalan hasilnya tidak kalah dengan jalan beton maupun aspal, bahkan memiliki nilai plus ramah lingkungan.
Hal inilah yang membuat warga Desa Balesari, Kecamatan Bansari, di lereng Gunung Sindoro Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, memanfaatkan Dana Desa untuk membangun infrastruktur jalan ramah lingkungan tersebut.
Masyarakat Desa Balesari lebih memilih untuk membangun jalan "trasahan", yaitu batu ukuran kecil ditata dengan rapi di permukaan jalan tanpa menggunakan perekat sehingga di sela-sela batu masih ada ruang untuk peresapan air hujan.
Sekretaris Desa Balesari, Suroto, mengatakan memang dengan jalan "trasahan" tersebut kelihatan jadul tidak mengikuti perkembangan zaman, namun sebenarnya jalan trasahan cukup kuat dan biaya pemeliharaan lebih murah.
Ia menuturkan sebelumnya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa Balesari tidak ada rencana membuat jalan "trasahan". Waktu itu kesepakatannya Dana Desa 2016 untuk membuat jalan beton dan paving.
Namun, justru beberapa waktu kemudian setelah ada keputusan tersebut, warga dari beberapa dusun mengusulkan lebih baik membangun jalan "trasahan" dari pada menggunakan cor maupun paving.
Ia menuturkan dalam rapat berikutnya usulan warga tersebut disetujui karena dengan berbagai alasan, yakni akses ke Balesari banyak, kalau membangun jalan beton maka dana tidak akan mencukupi, selain itu dengan "trasahan" lebih ramah lingkungan dan pemeliharaannya lebih mudah.
Suroto mengatakan sebelum dibuat "trasahan", sebelumnya memang sebagian jalan tersebut sudah dibeton, namun kondisinya sudah rusak. Waktu itu warga sering iuran untuk mengecor jalan yang rusak tersebut, tetapi hasil perbaikan itu juga tidak bertahan lama karena jalan desa sering dilalui kendaraan dengan beban berat, terutama truk pengangkut pupuk kandang.
"Saat masa tanam tembakau, setiap hari ratusan truk keluar masuk desa memuat pupuk kandang sehingga jalan beton tanpa tulang tersebut juga cepat rusak," katanya.
Ia menuturkan untuk membuat jalan "trasahan" tersebut tidak sekadar menaruh batu di atas jalan, tetapi ditata sedemikian rupa sehingga kelihatan rapi, setelah itu juga disilinder supaya batu benar-benar menyatu dengan tanah.
"Biar jalan rata kami juga melakukan pengerukan tanah maupun pengurukan sebelum di atasnya ditata batu," katanya.
Ketua Tim Pelaksana Pembangunan Desa Balesari, Sugiyanto, menyebutkan jalan "trasahan" yang dibangun dengan Dana Desa 2016 tersebut sepanjang 1,2 kilometer dengan lebar lima hingga enam meter, dan menghabiskan Rp391,25 juta.
Selain membuat jalan "trasahan", katanya, juga membuat talud jalan dan gorong-gorong dengan menelan dana Rp203,47 juta.
"Biaya pembuatan `trasahan` dan talud serta gorong-gorong tersebut murni dari Dana Desa yang pada 2016 Desa Balesari mendapat Dana Desa sebanyak Rp602.502.000, dari total Dana Desa yang diterima masih sisa sekitar Rp7 juta," katanya.
Ia mengatakan warga agak sedikit trauma dengan jalan beton, karena kalau sudah rusak maka warga harus sering memperbaikinya sehingga harus mengeluarkan biaya untuk membeli semen dan pasir.
"Memang jalan beton bagus dan lebih rapi, tetapi paling lama 10 tahun harus mengeluarkan biaya lagi untuk pemeliharaan. Kalau jalan trasahan seandainya ada batu yang lepas bisa segera diganti karena di sekitar sini banyak batu sehingga tanpa harus mengeluarkan biaya," katanya.
Ia menuturkan kebetulan Desa Balesari berada di lereng gunung, kalau jalan dibeton maka tidak ada resapan air hujan maka kasihan di daerah bawah.
Warga Balesari, Wahyudi, menyatakan berterima kasih pada pamong desa karena bisa memahami kemauan warga untuk membangun jalan "trasahan".
Ia menuturkan jalan "trasahan" yang mengusulkan warga dengan pertimbangan jika ada kerusakan warga bisa secara swadaya memperbaikinya dengan bergotong-royong, tanpa harus mengeluarkan biaya banyak.
Ia mengatakan sebelumnya warga harus ekstra hati-hati untuk melintas jalan desa itu karena kondisi jalan yang sebagian dicor tersebut sudah rusak. Dibangunnya jalan itu tentu akan membantu memperlancar perekonomian warga.
"Jalan `trasahan` ini bukan saja ramah lingkungan tetapi juga ada nilai seninya, karena batu dengan ukuran hampir sama ditata dengan rapi," katanya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Agus Sarwono mengapresiasi pembangunan jalan "trasahan" yang dibuat warga Balesari menggunakan Dana Desa yang hasilnya terlihat bagus.
"Jalan yang dibangun bukan hanya bagus, tetapi juga mengangkat tradisi lokal yang ramah lingkungan, karena jalan `trasahan` ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Jalan `trasahan` yang dibuat warga Balesari ini meskipun menggunakan batu tetapi bisa rata dan halus," katanya.
Ia mengimbau desa-desa yang lain dalam membangun infrastruktur bisa mencontoh Desa Balesari yang bisa mengangkat tradisi lokal dan tetap memperhatikan lingkungan.
Apalagi dengan dikucurkannya dana desa dari pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah desa seolah berlomba memperkeras jalan dengan mengecor jalan maupun membuat jalan beraspal.
Memang kelihatan lebih bagus dan kuat dengan jalan dibeton maupun diaspal. Tetapi kalau dilihat dari sisi lingkungan, sebenarnya kurang tepat, apalagi di dataran tinggi tentu air hujan akan lari ke selokan dan meluncur ke bawah semua karena tidak ada resapan sehingga juga menimbulkan kerawan banjir di kawasan bawah.
Sebenarnya jalan "trasahan" jika dibuat dengan serius, tanpa asal-asalan hasilnya tidak kalah dengan jalan beton maupun aspal, bahkan memiliki nilai plus ramah lingkungan.
Hal inilah yang membuat warga Desa Balesari, Kecamatan Bansari, di lereng Gunung Sindoro Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, memanfaatkan Dana Desa untuk membangun infrastruktur jalan ramah lingkungan tersebut.
Masyarakat Desa Balesari lebih memilih untuk membangun jalan "trasahan", yaitu batu ukuran kecil ditata dengan rapi di permukaan jalan tanpa menggunakan perekat sehingga di sela-sela batu masih ada ruang untuk peresapan air hujan.
Sekretaris Desa Balesari, Suroto, mengatakan memang dengan jalan "trasahan" tersebut kelihatan jadul tidak mengikuti perkembangan zaman, namun sebenarnya jalan trasahan cukup kuat dan biaya pemeliharaan lebih murah.
Ia menuturkan sebelumnya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa Balesari tidak ada rencana membuat jalan "trasahan". Waktu itu kesepakatannya Dana Desa 2016 untuk membuat jalan beton dan paving.
Namun, justru beberapa waktu kemudian setelah ada keputusan tersebut, warga dari beberapa dusun mengusulkan lebih baik membangun jalan "trasahan" dari pada menggunakan cor maupun paving.
Ia menuturkan dalam rapat berikutnya usulan warga tersebut disetujui karena dengan berbagai alasan, yakni akses ke Balesari banyak, kalau membangun jalan beton maka dana tidak akan mencukupi, selain itu dengan "trasahan" lebih ramah lingkungan dan pemeliharaannya lebih mudah.
Suroto mengatakan sebelum dibuat "trasahan", sebelumnya memang sebagian jalan tersebut sudah dibeton, namun kondisinya sudah rusak. Waktu itu warga sering iuran untuk mengecor jalan yang rusak tersebut, tetapi hasil perbaikan itu juga tidak bertahan lama karena jalan desa sering dilalui kendaraan dengan beban berat, terutama truk pengangkut pupuk kandang.
"Saat masa tanam tembakau, setiap hari ratusan truk keluar masuk desa memuat pupuk kandang sehingga jalan beton tanpa tulang tersebut juga cepat rusak," katanya.
Ia menuturkan untuk membuat jalan "trasahan" tersebut tidak sekadar menaruh batu di atas jalan, tetapi ditata sedemikian rupa sehingga kelihatan rapi, setelah itu juga disilinder supaya batu benar-benar menyatu dengan tanah.
"Biar jalan rata kami juga melakukan pengerukan tanah maupun pengurukan sebelum di atasnya ditata batu," katanya.
Ketua Tim Pelaksana Pembangunan Desa Balesari, Sugiyanto, menyebutkan jalan "trasahan" yang dibangun dengan Dana Desa 2016 tersebut sepanjang 1,2 kilometer dengan lebar lima hingga enam meter, dan menghabiskan Rp391,25 juta.
Selain membuat jalan "trasahan", katanya, juga membuat talud jalan dan gorong-gorong dengan menelan dana Rp203,47 juta.
"Biaya pembuatan `trasahan` dan talud serta gorong-gorong tersebut murni dari Dana Desa yang pada 2016 Desa Balesari mendapat Dana Desa sebanyak Rp602.502.000, dari total Dana Desa yang diterima masih sisa sekitar Rp7 juta," katanya.
Ia mengatakan warga agak sedikit trauma dengan jalan beton, karena kalau sudah rusak maka warga harus sering memperbaikinya sehingga harus mengeluarkan biaya untuk membeli semen dan pasir.
"Memang jalan beton bagus dan lebih rapi, tetapi paling lama 10 tahun harus mengeluarkan biaya lagi untuk pemeliharaan. Kalau jalan trasahan seandainya ada batu yang lepas bisa segera diganti karena di sekitar sini banyak batu sehingga tanpa harus mengeluarkan biaya," katanya.
Ia menuturkan kebetulan Desa Balesari berada di lereng gunung, kalau jalan dibeton maka tidak ada resapan air hujan maka kasihan di daerah bawah.
Warga Balesari, Wahyudi, menyatakan berterima kasih pada pamong desa karena bisa memahami kemauan warga untuk membangun jalan "trasahan".
Ia menuturkan jalan "trasahan" yang mengusulkan warga dengan pertimbangan jika ada kerusakan warga bisa secara swadaya memperbaikinya dengan bergotong-royong, tanpa harus mengeluarkan biaya banyak.
Ia mengatakan sebelumnya warga harus ekstra hati-hati untuk melintas jalan desa itu karena kondisi jalan yang sebagian dicor tersebut sudah rusak. Dibangunnya jalan itu tentu akan membantu memperlancar perekonomian warga.
"Jalan `trasahan` ini bukan saja ramah lingkungan tetapi juga ada nilai seninya, karena batu dengan ukuran hampir sama ditata dengan rapi," katanya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Agus Sarwono mengapresiasi pembangunan jalan "trasahan" yang dibuat warga Balesari menggunakan Dana Desa yang hasilnya terlihat bagus.
"Jalan yang dibangun bukan hanya bagus, tetapi juga mengangkat tradisi lokal yang ramah lingkungan, karena jalan `trasahan` ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Jalan `trasahan` yang dibuat warga Balesari ini meskipun menggunakan batu tetapi bisa rata dan halus," katanya.
Ia mengimbau desa-desa yang lain dalam membangun infrastruktur bisa mencontoh Desa Balesari yang bisa mengangkat tradisi lokal dan tetap memperhatikan lingkungan.
Pewarta : Heru Suyitno
Editor :
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Petani food estate Temanggung mendirikan koperasi perkuat kelembagaan
11 August 2022 21:32 WIB, 2022
Awali masa panen, warga lereng Sindoro Temanggung lakukan tradisi wiwit tembakau
29 July 2022 19:18 WIB, 2022
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB