Banda Aceh (ANTARA News) - Berlin Silalahi (46), korban tsunami yang selama ini menetap di hunian sementara Barak Bakoy, Aceh Besar, mengajukan permohonan euthanasia atau suntik mati ke Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Dia menyerahkan rekam medisnya kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh di Banda Aceh, Kamis.

Rekam medis tersebut diserahkan Berlin Silalahi melalui kuasa hukumnya Mila Kesuma dan Yusi Muharnina dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) dalam sidang kedua dengan hakim tunggal persidangan Ngatemin.

Berlin Silalahi selaku pemohon, tidak menghadiri persidangan kedua tersebut karena lumpuh.

Sidang kedua tersebut hanya berlangsung lima menit. Setelah rekam medis diserahkan, hakim menutup persidangan. Sidang dilanjutkan Jumat (19/5) dengan agenda mendengarkan putusan hakim.

Mila Kesuma dan Yusi Muharnina, kuasa hukum Berlin Silalahi, usai persidangan mengatakan, rekam medis yang diserahkan tersebut bukti untuk menguatkan permohonan euthanasia.

"Kami menyerahkan rekam medis pemohon. Pemohon sakit di bagian paru-paru dan tulang belakang. Hasil rekam medis menyebutkan kondisinya kronis," kata Yusi Muharnina.

Terkait rencana menghadirkan saksi dari psikolog, Mila Kesuma menyebutkan rencana tersebut tidak jadi dilakukan. Seharusnya, pada persidangan kedua, pihaknya menghadirkan saksi psikolog.

"Setelah kami berkonsultasi dengan hakim, maka rencana menghadirkan saksi psikolog tidak jadi kami lakukan. Pada sidang kedua ini hanya rekam medis yang kami serahkan," kata Mila Kesuma.

"Klien kami mengajukan permohonan euthanasia atas kesadaran sendiri. Klien kami mengajukan permohonan tersebut karena kondisinya sekarang ini lumpuh dan sakit-sakitan," kata Direktur YARA Safaruddin, yang juga kuasa hukum Berlin Silalahi.

Karena kondisinya, lanjut Safaruddin, kliennya tidak bisa lagi menafkahi keluarga. Sedangkan istrinya, Ratna Wati hanya ibu rumah tangga dan tidak memiliki pekerjaan.

Untuk hidup sehari-hari, Berlin Silalahi hanya mengandalkan bantuan sesama korban tsunami yang tinggal di Barak Bakoy. Namun, barak tersebut sudah dibongkar dan penghuninya digusur oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar.

"Pemohon atau klien kami sudah berupaya mengobati penyakitnya. Namun hingga kini, pemohon tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan biaya pengobatannya," ungkap Safaruddin.

Ratna Wati, istri pemohon, menyatakan, suaminya mengajukan permohonan euthanasia sejak mereka diusir dari Barak Bakoy oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar beberapa waktu lalu.

"Kami tidak tahu tinggal di mana lagi. Sejak pembongkaran barak, suami saya tidak bisa berpikir positif lagi. Apalagi suami saya lumpuh dan dalam kondisi sakit kronis," ungkap dia.

Ratna Wati mengaku siap jika Pengadilan Negeri Banda Aceh mengabulkan permohonan suaminya. Apalagi permohonan euthanasia merupakan kemauan sendiri suaminya.

"Saya siap menerima jika pengadilan mengabulkan permohonan euthanasia. Apalagi suami saya sudah berusaha mengobati penyakitnya di berbagai rumah sakit. Termasuk berobat kampung," kata Ratna Wati.

(Baca juga: Aceh tawarkan paket wisata seperti Tsunami Herritage ke Malaysia)