Pattiro Soroti Kelemahan Penerimaan Peserta Didik Baru
Senin, 5 Juni 2017 19:34 WIB
Ilustrasi. Petugas melayani calon siswa pendaftar yang mengembalikan berkas setelah mendaftar secara online dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMA Negeri 1 Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (13/6). Dinas Pendidikan dan Kebuda
Semarang, ANTARA JATENG - Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang menyoroti beberapa celah yang menjadi kelemahan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA dan SMK negeri di Jawa Tengah.
"Sekarang ini Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat kan sudah di bawah pengelolaan provinsi, termasuk penerimaan siswa barunya," kata Direktur Pattiro Semarang Widi Nugroho di Semarang, Senin.
Untuk tahun ini, PPDB SMA dan SMK negeri di wilayah itu akan dilaksanakan secara dalam jaringan berdasarkan Peraturan Gubernur Jateng Nomor 9/2017 tentang PPDB pada SMA Negeri dan SMK Negeri di Jateng.
"Sebagai panduan pelaksanaan PPDB SMA dan SMK Negeri di Jateng 2017, sudah dikeluarkan Pergub Nomor 9/2017. Namun, ada beberapa catatan dari kami atas persiapan PPDB secara `online` ini," katanya.
Pertama, kata dia, kurangnya sosialisasi mengenai pelaksanaan PPDB daring yang pendaftarannya dimulai pada 11 Juni 2017 sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui mekanisme penerimaan siswa baru itu.
Selain itu, kata dia, waktu pendaftaran PPDB daring yang hanya empat hari terlalu singkat karena penyelenggara harus menyiapkan antisipasi jika terjadi gangguan pada sistem atau "error" sewaktu-waktu.
"Ketiga, sekolah diperbolehkan menjual seragam dan atribut. Dalam Pergub 9/2017, Disdikbud tidak mengatur mengenai mekanisme pembelian seragam dan atribut yang seringkali jadi lahan pencarian untung sekolah," katanya.
Selama ini, kata dia, sudah menjadi rahasia umum jika harga seragam yang dijual oleh sekolah, biasanya lewat koperasi selisihnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga-harga di toko atau pasaran.
"Mestinya monopoli dalam jual-beli seragam yang bisa menjadi pungutan tersistem dari sekolah, tidak diperbolehkan," katanya.
Catatan selanjutnya, Widi menjelaskan pengelolaan pengaduan akan ditangani oleh tim pengaduan yang dibentuk di Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) dan Dinas Pendidikan melalui telepon, faksimili, pesan singkat, dan surat elektronik.
"Sarana pengaduan ini tidak transparan dan akuntabel. Waktu pelaksanaan PPDB yang efektif hanya sembilan hari seharusnya sarana pengaduan bisa dimonitor laporannya setiap waktu oleh masyarakat," katanya.
Apabila masyarakat ingin mengadukan secara langsung, ujar dia, juga akan kesulitan menjangkaunya karena BP2MK hanya berada di tingkat keresidenan, sementara jika mengadu ke masing-masing sekolah peluangnya kecil.
"Sistem PPBD tidak pula mengatur jumlah kursi kosong dari calon siswa yang tidak mendaftar ulang. Artinya, ini memungkinkan kursi-kursi itu akan diperebutkan orang-orang tertentu dengan uang masuk paling tinggi," kata Widi.
"Sekarang ini Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat kan sudah di bawah pengelolaan provinsi, termasuk penerimaan siswa barunya," kata Direktur Pattiro Semarang Widi Nugroho di Semarang, Senin.
Untuk tahun ini, PPDB SMA dan SMK negeri di wilayah itu akan dilaksanakan secara dalam jaringan berdasarkan Peraturan Gubernur Jateng Nomor 9/2017 tentang PPDB pada SMA Negeri dan SMK Negeri di Jateng.
"Sebagai panduan pelaksanaan PPDB SMA dan SMK Negeri di Jateng 2017, sudah dikeluarkan Pergub Nomor 9/2017. Namun, ada beberapa catatan dari kami atas persiapan PPDB secara `online` ini," katanya.
Pertama, kata dia, kurangnya sosialisasi mengenai pelaksanaan PPDB daring yang pendaftarannya dimulai pada 11 Juni 2017 sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui mekanisme penerimaan siswa baru itu.
Selain itu, kata dia, waktu pendaftaran PPDB daring yang hanya empat hari terlalu singkat karena penyelenggara harus menyiapkan antisipasi jika terjadi gangguan pada sistem atau "error" sewaktu-waktu.
"Ketiga, sekolah diperbolehkan menjual seragam dan atribut. Dalam Pergub 9/2017, Disdikbud tidak mengatur mengenai mekanisme pembelian seragam dan atribut yang seringkali jadi lahan pencarian untung sekolah," katanya.
Selama ini, kata dia, sudah menjadi rahasia umum jika harga seragam yang dijual oleh sekolah, biasanya lewat koperasi selisihnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga-harga di toko atau pasaran.
"Mestinya monopoli dalam jual-beli seragam yang bisa menjadi pungutan tersistem dari sekolah, tidak diperbolehkan," katanya.
Catatan selanjutnya, Widi menjelaskan pengelolaan pengaduan akan ditangani oleh tim pengaduan yang dibentuk di Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) dan Dinas Pendidikan melalui telepon, faksimili, pesan singkat, dan surat elektronik.
"Sarana pengaduan ini tidak transparan dan akuntabel. Waktu pelaksanaan PPDB yang efektif hanya sembilan hari seharusnya sarana pengaduan bisa dimonitor laporannya setiap waktu oleh masyarakat," katanya.
Apabila masyarakat ingin mengadukan secara langsung, ujar dia, juga akan kesulitan menjangkaunya karena BP2MK hanya berada di tingkat keresidenan, sementara jika mengadu ke masing-masing sekolah peluangnya kecil.
"Sistem PPBD tidak pula mengatur jumlah kursi kosong dari calon siswa yang tidak mendaftar ulang. Artinya, ini memungkinkan kursi-kursi itu akan diperebutkan orang-orang tertentu dengan uang masuk paling tinggi," kata Widi.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor :
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Siapkan 'Hero' bijak bermediadigital, Mahasiswa Ilkom Udinus gelar Kampanye Digital Warriors
03 December 2024 11:03 WIB
Ini cerita SMAN 11 Semarang bisa sabet gelar juara Regional AXIS Nation Cup 2024
18 October 2024 12:37 WIB
Sebanyak 880 siswa madrasah ikut Kompetisi Sains Madrasah 2024 di Ternate
02 September 2024 15:06 WIB