Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan menghadirkan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Gerindra Miryam S Haryani dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket di DPR.

"KPK tidak bisa memberikan kehadiran Miryam S Haryani karena masih dalam proses penahanan di KPK dan sedang dalam proses hukum juga di penyidikan dan akan segera dilimpahkan ke pengadilan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.

Pada Senin (19/6), rapat Panitia Khusus Hak Angket yang dipimpin Wakil Ketua Pansus Dossy Iskandar mengagendakan pemanggilan Miryam. Pansus kemudian menyepakati akan mengirim surat pemanggilan kedua kepada Miryam.

"Kami jelaskan juga, terkait penanganan perkara maka ada klausul yang sangat tegas dalam UU No 30 tahun 2002 yang perlu kami patuhi dan wajib kami patuhi yaitu sifat KPK sebagai lembaga yang independen, jadi pengaruh dari kekuasaan manapun terkait dengan penanganan perkara tidak dapat dilakukan karena kalau kita menengok kasus penanganan perkara itu adalah bagian turunan dari kewenangan di konstitusi yang diatur terkait badan badan kehakiman dan kita harus mematuhi hal tersebut," jelas Febri.

Penjelasan ketidakhadiran Miryam itu menurut Febri sudah tertuang dalam surat resmi pimpinan KPK yang ditujukan kepada pimpinan pansus DPR.

"Kemudian juga disampaikan di surat tersebut, dari surat yang kami terima dari DPR, tidak dicantumkan adanya keputusan DPR tentang pembentukan Pansus Angket, yang ada adalah surat permintaan untuk menghadirkan Miryam. Jadi kami belum merasa cukup jelas dengan Pansus Angket DPR tersebut," tegas Febri.

Menurut dia, bila Pansus ingin agar Miryam hadir dalam rapat Pansus Hak Angket, KPK berharap ada berkas atau informasi dari DPR terkait keberadaan keberadaan panitia khusus tersebut.

"Karena seharusnya menurut UU MD3 dan juga tatib di DPR, Pansus Angket dipilih melalui keputusan DPR yang disampaikan di berita negara dan disampaikan ke Presiden," ungkap Febri.

Febri mengaku KPK tetap mengormati kewenangan konstitusional DPR untuk melakukan pengawasan.

"Dan tentu saja sebagai lembaga negara, baik KPK atau DPR juga punya kewajiban untuk mematuhi hukum yang berlaku apakah itu di UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK maupun UU MD 3 yang menjadi salah satu landasan hukum bagi DPR ataupun hukum acara pidana. Jangan sampai proses hukum yang berjalan di peradilan yang akan kita dimpahkan ke pengadilan ditarik tarik kepada proses politik," tambah Febri.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian juga mengatakan bahwa permintaan DPR untuk meminta bantuan Polri guna menghadirkan Miryam ke rapat pansus tidak bisa dipenuhi.

"Kami sudah mengkaji di internal soal permintaan kepada Polri untuk menghadirkan orang yang dipanggil DPR, meski UU MD3 memberi kewenangan pada DPR untuk meminta bantuan polisi untuk hadirkan paksa orang yang dipanggil, namun persoalannya kami lihat hukum acara dalam UU itu tidak jelas," ujar Tito.

"Di KUHAP, menghadirkan paksa sama dengan melakukan perintah membawa atau penangkapan. Penangkapan dan penahanan dilakukan pro justicia untuk peradilan sehingga terjadi kerancuan hukum. Polri tidak bisa melakukan itu karena ada hambatan hukum, hukum acara tidak jelas. Upaya paksa kepolisian selalu dalam koridor pro justicia," kata Tito lebih lanjut.

Ada tujuh fraksi yang mengirimkan anggotanya dalam Pansus Hak Angket KPK yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, PPP, Gerindra, PAN dan Fraksi Nasdem.

Ketua Pansus Hak Angket adalah Agun Gunanjar, yang juga disebut dalam dakwaan korupsi KTP elektronik. Dalam dakwaan, Agun selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI disebut menerima 1 juta dolar AS

Usulan Hak Angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP elektronik.

Pada sidang dugaan korupsi KTP elektronik pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP elektronik.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya.