Penjelasan MUI Redam Pro Kontra Dana Haji
Senin, 7 Agustus 2017 19:44 WIB
Sejumlah calon haji asal Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, untuk Kelompok Terbang (Kloter) 37 mendapat kesempatan pertama pemberangkatan ke Mekah yang pelepasannya di Pendopo Kabupaten Kudus, Senin (7/8).(Foto: ANTARAJATENG.COM/Akhmad Nazaruddin Lathif)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan empat syarat pemanfaatan keuangan haji untuk kepentingan investasi dan pembangunan infrastruktur di tengah pro dan kontra.
Bahkan MUI, menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am, sudah melakukan kajian, pembahasan, dan penetapan fatwa, terkait dengan pemanfaatan dana haji.
Komisi Fatwa MUI melalui forum ijtimak di salah satu pondok pesantren, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Juli 2012 telah membahas pemanfaatan dana haji yang mengendap dari para calon haji yang masih masuk daftar tunggu.
Dalam forum tersebut, menurut dia, dicapai empat kesepakatan, yang pada prinsipnya menjawab pertanyaan, dana calon haji yang belum mencapai Rp25 juta dan belum mendapat nomor porsi.
Dalam kondisi ini, hubungan antara calon haji dan bank penerima setoran, akadnya ada dua opsi, yakni: pertama, akad wadiah (titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki); kedua, akad mudarabah (saat tabungan calon haji mencapai Rp25 juta, mendapat nomor porsi dan masuk dalam daftar tunggu).
Sebelum maupun setelah mencapai Rp25 juta, statusnya belum "billing" karena belum tahu berapa biaya hajinya. Uang setoran itu statusnya masih milik calon haji, demikian penjelasan Asrorun Ni'am, dalam diskusi "Investasi Infrastruktur dari Dana Haji" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa, 1 Agustus 2017. (Sumber: ANTARA)
Penjelasan Sekretaris Komisi Fatwa MUI tentang dana calon haji terkait dengan empat syarat setidaknya tidak menjadi polemik berkepanjangan.
Syarat pertama, boleh ditasarufkan tetapi harus dipastikan jenis usahanya penuhi prinsip-prinsip syariah. Kedua, terkait dengan prudensialitas atau aman. Logikanya seperti pengelolaan dana wakaf, yakni tidak boleh berkurang, tapi harus dikembangkan dan memiliki nilai manfaat. Ketiga, adalah manfaat. Kalau ada manfaatnya baik kepada jamaah haji untuk kepentingan kemaslahatan jamaah dan kemaslahatan umat Islam. Keempat, adalah liquid, artinya dana ini dibutuhkan dalam waktu terus-menerus, rata-rata kebutuhan jamaah haji Rp3,5 triliun per tahun.
Kendati demikian, perlu ada pemantauan dana calon haji di perbankan, apalagi daftar tunggu naik haji di Jawa Tengah, misalnya, hingga 23 tahun. Artinya, jika daftar hari ini, calon haji berangkat pada 2040. Perlu pula transparansi dalam pengelolaanya sehingga tidak timbul fitnah di kemudian hari.
Bahkan MUI, menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am, sudah melakukan kajian, pembahasan, dan penetapan fatwa, terkait dengan pemanfaatan dana haji.
Komisi Fatwa MUI melalui forum ijtimak di salah satu pondok pesantren, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Juli 2012 telah membahas pemanfaatan dana haji yang mengendap dari para calon haji yang masih masuk daftar tunggu.
Dalam forum tersebut, menurut dia, dicapai empat kesepakatan, yang pada prinsipnya menjawab pertanyaan, dana calon haji yang belum mencapai Rp25 juta dan belum mendapat nomor porsi.
Dalam kondisi ini, hubungan antara calon haji dan bank penerima setoran, akadnya ada dua opsi, yakni: pertama, akad wadiah (titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki); kedua, akad mudarabah (saat tabungan calon haji mencapai Rp25 juta, mendapat nomor porsi dan masuk dalam daftar tunggu).
Sebelum maupun setelah mencapai Rp25 juta, statusnya belum "billing" karena belum tahu berapa biaya hajinya. Uang setoran itu statusnya masih milik calon haji, demikian penjelasan Asrorun Ni'am, dalam diskusi "Investasi Infrastruktur dari Dana Haji" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa, 1 Agustus 2017. (Sumber: ANTARA)
Penjelasan Sekretaris Komisi Fatwa MUI tentang dana calon haji terkait dengan empat syarat setidaknya tidak menjadi polemik berkepanjangan.
Syarat pertama, boleh ditasarufkan tetapi harus dipastikan jenis usahanya penuhi prinsip-prinsip syariah. Kedua, terkait dengan prudensialitas atau aman. Logikanya seperti pengelolaan dana wakaf, yakni tidak boleh berkurang, tapi harus dikembangkan dan memiliki nilai manfaat. Ketiga, adalah manfaat. Kalau ada manfaatnya baik kepada jamaah haji untuk kepentingan kemaslahatan jamaah dan kemaslahatan umat Islam. Keempat, adalah liquid, artinya dana ini dibutuhkan dalam waktu terus-menerus, rata-rata kebutuhan jamaah haji Rp3,5 triliun per tahun.
Kendati demikian, perlu ada pemantauan dana calon haji di perbankan, apalagi daftar tunggu naik haji di Jawa Tengah, misalnya, hingga 23 tahun. Artinya, jika daftar hari ini, calon haji berangkat pada 2040. Perlu pula transparansi dalam pengelolaanya sehingga tidak timbul fitnah di kemudian hari.
Pewarta : Kliwon
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Tes CAT dan wawancara seleksi Petugas Haji Pusat digelar 17 Desember 2024
13 December 2024 14:16 WIB
Menag RI-Menhaj Saudi bertemu di Masjidil Haram, bahas haji dan pemberdayaan umat
25 November 2024 9:22 WIB
Bertolak ke Saudi, Menag penuhi undangan Menteri Tawfiq dan bahas operasional haji 1446 H
23 November 2024 16:23 WIB
Kemenag: Rekrutmen petugas haji 2025 harus transparan, akuntabel, dan terhindar dari conflict of interest
07 November 2024 13:53 WIB
Seleksi Petugas Haji 2025 tingkat daerah dibuka, Ini syarat dan tahapannya
04 November 2024 16:41 WIB