Ahli: Miryam Penuhi Unsur Perbuatan Korupsi
Senin, 11 September 2017 14:08 WIB
Terdakwa kasus dugaan pemberian keterangan palsu dalam sidang kasus KTP Elektronik Miryam S Haryani. ( ANTARA/Muhammad Adimaja)
Jakarta, ANTARA JATENG - Ahli hukum pidana Universitas Soedirman Noor
Aziz Said mengatakan anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S
Haryani memenuhi unsur perbuatan korupsi yaitu dengan memberikan
keterangan tidak benar.
"Karena Pasal 22 itu perumusannya dititikberatkan pada rumusan perbuatan bukan pada terjadinya akibat maka yang bersangkutan memberikan keterangan tidak benar dan tahu dia memenuhi unsur-unsur pasal 242 KUHP yang bila dilakukan dalam perkara tindak pidana korupsi maka perbuatan itu dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi," kata Noor dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Noor diperiksa sebagai ahli untuk terdakwa anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani yang didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan dalam kasus korupsi KTP-e.
Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Sedangkan pasal 242 ayat 1 KUHP menurut Noor adalah barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
"Memberikan keterangan yang tidak benar bisa disampaikan di depan pengadilan dan di luar pengadilan, yang penting dia memberikan keterangan di atas sumpah, tidak terbatas di pengadilan tapi juga di luar pengadilan seperti di penyidikan," ungkap Noor.
"Jadi terdakwa ini memberikan keterangan tidak benar beri keterangan di depan sidang atau di luar?" tanya hakim anggota Anwar.
"Di depan sidang," jawab Noor.
"Apakah terdakwa memberikan keterangan dengan paksaan karena penyidik memaksa?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
"Yang disampaikan penyidik bahwa mereka tidak merasa memaksa pada terperiksa dan penyidik menyerahkan untuk dibaca kembali sebelum ditanda tangan bahkan ditanya apa ada yang keliru atau ditambahkan sebelum tanda tangan. Maka itu bukan daya paksa bila diberikan waktu itu membaca kembali kalau memang seperti itu tidak ada paksaaan," jawab Noor.
Menurut Noor berdasarkan pasal 48 KUHP ada tiga jenis daya paksa yaitu bersifat absolut, bersifat relatif dan yang merupakan suatu keadaan daruruat.
"Daya paksa itu ada apabila ada tekanan yang begitu kuat oleh karena itu doktrin hukum pidana, absolut tidak bisa dilawan, atau relatif yaitu bisa dilawan," jawab Noor.
"Bagaimana dengan terdakwa?" tanya JPU.
"Menurut pendapat saya apabila mengacu kepada penyidik malah tidak ada daya paksa, absolut, relatif, maupun biasa," jawab Noor.
Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh tiga orang penyidik KPK padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar. Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada Kamis, 23 Maret 2017.
Selanjutnya pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama tiga penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto dan A Damanik. Ketiga penyidik itu menerangkan bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengancaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi, lebih lanjut diterangkan dalam empat kali pemeriksaan pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keerangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam.
Setelah mendengar keterangan tiga penyidik KPK, hakim kembali menayakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Atas pertanyaan hakim, Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa mendatangani BAP sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.
Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
"Karena Pasal 22 itu perumusannya dititikberatkan pada rumusan perbuatan bukan pada terjadinya akibat maka yang bersangkutan memberikan keterangan tidak benar dan tahu dia memenuhi unsur-unsur pasal 242 KUHP yang bila dilakukan dalam perkara tindak pidana korupsi maka perbuatan itu dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi," kata Noor dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Noor diperiksa sebagai ahli untuk terdakwa anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani yang didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan dalam kasus korupsi KTP-e.
Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Sedangkan pasal 242 ayat 1 KUHP menurut Noor adalah barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
"Memberikan keterangan yang tidak benar bisa disampaikan di depan pengadilan dan di luar pengadilan, yang penting dia memberikan keterangan di atas sumpah, tidak terbatas di pengadilan tapi juga di luar pengadilan seperti di penyidikan," ungkap Noor.
"Jadi terdakwa ini memberikan keterangan tidak benar beri keterangan di depan sidang atau di luar?" tanya hakim anggota Anwar.
"Di depan sidang," jawab Noor.
"Apakah terdakwa memberikan keterangan dengan paksaan karena penyidik memaksa?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
"Yang disampaikan penyidik bahwa mereka tidak merasa memaksa pada terperiksa dan penyidik menyerahkan untuk dibaca kembali sebelum ditanda tangan bahkan ditanya apa ada yang keliru atau ditambahkan sebelum tanda tangan. Maka itu bukan daya paksa bila diberikan waktu itu membaca kembali kalau memang seperti itu tidak ada paksaaan," jawab Noor.
Menurut Noor berdasarkan pasal 48 KUHP ada tiga jenis daya paksa yaitu bersifat absolut, bersifat relatif dan yang merupakan suatu keadaan daruruat.
"Daya paksa itu ada apabila ada tekanan yang begitu kuat oleh karena itu doktrin hukum pidana, absolut tidak bisa dilawan, atau relatif yaitu bisa dilawan," jawab Noor.
"Bagaimana dengan terdakwa?" tanya JPU.
"Menurut pendapat saya apabila mengacu kepada penyidik malah tidak ada daya paksa, absolut, relatif, maupun biasa," jawab Noor.
Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh tiga orang penyidik KPK padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar. Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada Kamis, 23 Maret 2017.
Selanjutnya pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama tiga penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto dan A Damanik. Ketiga penyidik itu menerangkan bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengancaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi, lebih lanjut diterangkan dalam empat kali pemeriksaan pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keerangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam.
Setelah mendengar keterangan tiga penyidik KPK, hakim kembali menayakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Atas pertanyaan hakim, Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa mendatangani BAP sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.
Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
Pewarta : Desca Lidya Natalia
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
KPK tidak Bisa Hadirkan Miryam karena masih dalam Proses Hukum, kata Febri
20 June 2017 13:02 WIB, 2017