"Beringin Soekarno" Berbisik untuk Indonesia sebagai Bangsa
Senin, 23 Oktober 2017 18:42 WIB
Seniman Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang pentas "Indonesia sebagai Bangsa" di pohon "Beringin Soekarno" Kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Sabtu (21/10). (Foto: ANTARAJATENG.COM/Hari Atmoko)
Para penyaji tarian kontemporer desa, Gupolo Gunung, dari Komunitas Lima Gunung memanjat pohon berusia tua bernama "Beringin Soekarno" di kompleks kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Di atas panggung terbuka di bawah pohon beringin yang ditanam Presiden Soekarno pada 8 April 1961 itu, berselempang tulisan dengan warna mencolok "Indonesia sebagai Bangsa".
Komunitas Lima Gunung yang menggalang para seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mendapat kesempatan menyajikan karya seni refleksi mereka pada Pentas Budaya dalam rangkaian acara forum diskusi terfokus dengan nama "Bisikan dari Jogja" untuk refleksi, evaluasi, dan rekomendasi bidang kebudayaan selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Acara selama 21-22 Oktober 2017 itu, digagas oleh Pusat Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta bersama beberapa institusi pendidikan dan sejumlah elemen masyarakat sipil lainnya di Yogyakarta.
Pentas Budaya yang salah satunya melibatkan Komunitas Lima Gunung di bawah asuhan budayawan Magelang Sutanto Mendut, berlangsung pada Sabtu (21/10) malam, di bawah pohon berusia 56 tahun, "Beringin Soekarno".
Komunitas itu menghadirkan rangkaian performa, berupa tarian Soreng Putri, wayang kontemporer gunung, dan Gupolo Gunung. Sejumlah penari perempuan kelompok "Centhini Gunung" berbasis di Yogyakarta dan beberapa mahasiswa program pascasarjana ISI Yogyakarta juga berkolaborasi dengan mereka dalam pementasan malam tersebut.
Budayawan Yogyakarta Romo Budi Subanar menyebut tempat yang tepat di bawah "Beringin Soekarno" untuk menyampaikan pesan penegasan bahwa Indonesia sebagai bangsa.
"Ya di situ tempat yang tepat," ucap pengajar program pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Dengan berpijak pada sejumlah dahan "Beringin Soekarno", beberapa penari Gupolo Gunung memainkan gerak tarian mengikuti dinamisnya irama tabuhan gamelan yang mengiringi para perempuan penari Soreng Putri di bawah pohon tersebut.
Tarian Gupolo Gunung diciptakan Komunitas Lima Gunung dengan inspirasi dari arca gupala yang biasa ditemui di pintu masuk candi. Sosok gupala dimengerti sebagai penjaga candi atau tempat suci dalam ajaran Hindu.
Tarian Soreng berkembang di masyarakat desa-desa, terutama di kawasan gunung-gunung di Kabupaten Magelang. Gerakan tarian dan konfigurasi para penarinya sebagai narasi atas aktivitas latihan keprajuritan.
Dengan gagahnya, para penari Gupolo Gunung memainkan gerakan tari di atas pohon itu. Sorot lampu aneka warna dalam pementasan seakan menyemarakkan kegagahan mereka sebagaimana makin kokohnya pohon "Beringin Soekarno" mengikuti usianya.
Tentu saja, bukan tanpa maksud bila mereka dengan penuh kepercayaan diri sebagai seniman petani gunung, memainkan gerakan tariannya itu sambil kakinya berpijak pada dahan-dahan pohon "Beringin Soekarno".
Riyadi, salah satu pimpinan utama Komunitas Lima Gunung yang juga pengelola Padepokan Warga Budaya Gejayan di kawasan Gunung Merbabu mengatakan tempat itu adalah tempat yang spektakuler, simbol yang kuat maknanya untuk menegaskan kebangsaan kita.
Dengan menari di atas pohon yang ditanam oleh salah satu pendiri bangsa dan proklamator kemerdekaan Indonesia tersebut, mereka hendak menegaskan bahwa Indonesia terus menapaki perjalanan sejarah yang panjang dan berbagai tantangan zaman, untuk makin kokoh sebagai bangsa yang didalamnya berupa kekuatan keragaman masyarakatnya.
Hal itu kiranya berkaitan dengan pernyataan guru bangsa, Ahmad Syafii Maarif, dalam materi diskusi "Bisikan dari Jogja" bahwa "Sesungguhnya Indonesia sebagai bangsa masih dalam proses menjadi, belum jadi betul".
Dengan kemerdekaan Indonesia yang tahun ini memasuki usia 72 tahun, ucapnya, semestinya makin kokoh kesadaran kultural sebagai bangsa dan tidak muncul berbagai isu negatif dan destruktif atas bangunan kebangsaan Indonesia.
Namun, kenyataannya gangguan dan ancaman terhadap kebangsaan Indonesia masih muncul, baik yang datang dari luar maupun dari dalam sendiri.
"Baik oleh pengaruh ideologi luar yang diimpor ke sini, oleh kelompok-kelompok sempalan yang ahistoris maupun oleh kelalaian negara untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang diperintahkan oleh sila kelima Pancasila, `Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia`," kata Syafii Maarif yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Performa tariaan di atas pohon "Beringin Soekarno" bagaikan membisikan secara kuat bahwa usaha mewujudkan Indonesia sebagai bangsa tak hanya mengandalkan para elite, apalagi politikus instan yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya, namun mereka dari kalangan masyarakat akar rumput pun menjadi kekuatan penting yang tidak bisa diabaikan.
Dari atas pohon "Beringin Soekarno", para gupala penjaga kesucian cita-cita membangun bangsa itu menyerukan komitmen keindonesiaan.
Jawaban bahwa wujud Indonesia sebagai bangsa diungkapkan sekelumit penting oleh dalang wayang kontemporer Komunitas Lima Gunung, "Wayang Gunung Kulit Wong Urip", Sih Agung Prasetyo, ketika mengakhiri pementasan yang membuat "ger-geran" tak ada hentinya kalangan penonton malam itu.
Dalam pementasan tersebut, Sih Agung mendaulat Romo Banar untuk menjadi salah satu sosok wayang, sedangkan Nabila, mahasiswi Jurusan Tari Universitas Negeri Yogyakarta yang juga penari anggota Komunitas Lima Gunung, menjadi figur wayang lainnya.
"`Kabeh kuwi lak yo nggo senenge wong sakbangsa bareng-bareng` (Semua itu untuk kebahagiaan dan kemakmuran bersama seluruh bangsa, red.)," kata dalang.
Para penari Gupolo Gunung lalu turun dari pohon beringin itu. Di depan panggung tempat penabuh gamelan, mereka menarikan tarian tersebut dengan gagah dan berjingkrak penuh semangat, diiringi tabuhan gamelan bertalu-talu.
Gerak tarian mereka, seolah menyampaikan bisikan dari "Beringin Soekarno" kepada seluruh anak negeri ini, bahwa Indonesia sebagai bangsa. Dan penonton pun memberi aplaus kegembiraan bersama-sama.
Di atas panggung terbuka di bawah pohon beringin yang ditanam Presiden Soekarno pada 8 April 1961 itu, berselempang tulisan dengan warna mencolok "Indonesia sebagai Bangsa".
Komunitas Lima Gunung yang menggalang para seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mendapat kesempatan menyajikan karya seni refleksi mereka pada Pentas Budaya dalam rangkaian acara forum diskusi terfokus dengan nama "Bisikan dari Jogja" untuk refleksi, evaluasi, dan rekomendasi bidang kebudayaan selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Acara selama 21-22 Oktober 2017 itu, digagas oleh Pusat Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta bersama beberapa institusi pendidikan dan sejumlah elemen masyarakat sipil lainnya di Yogyakarta.
Pentas Budaya yang salah satunya melibatkan Komunitas Lima Gunung di bawah asuhan budayawan Magelang Sutanto Mendut, berlangsung pada Sabtu (21/10) malam, di bawah pohon berusia 56 tahun, "Beringin Soekarno".
Komunitas itu menghadirkan rangkaian performa, berupa tarian Soreng Putri, wayang kontemporer gunung, dan Gupolo Gunung. Sejumlah penari perempuan kelompok "Centhini Gunung" berbasis di Yogyakarta dan beberapa mahasiswa program pascasarjana ISI Yogyakarta juga berkolaborasi dengan mereka dalam pementasan malam tersebut.
Budayawan Yogyakarta Romo Budi Subanar menyebut tempat yang tepat di bawah "Beringin Soekarno" untuk menyampaikan pesan penegasan bahwa Indonesia sebagai bangsa.
"Ya di situ tempat yang tepat," ucap pengajar program pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Dengan berpijak pada sejumlah dahan "Beringin Soekarno", beberapa penari Gupolo Gunung memainkan gerak tarian mengikuti dinamisnya irama tabuhan gamelan yang mengiringi para perempuan penari Soreng Putri di bawah pohon tersebut.
Tarian Gupolo Gunung diciptakan Komunitas Lima Gunung dengan inspirasi dari arca gupala yang biasa ditemui di pintu masuk candi. Sosok gupala dimengerti sebagai penjaga candi atau tempat suci dalam ajaran Hindu.
Tarian Soreng berkembang di masyarakat desa-desa, terutama di kawasan gunung-gunung di Kabupaten Magelang. Gerakan tarian dan konfigurasi para penarinya sebagai narasi atas aktivitas latihan keprajuritan.
Dengan gagahnya, para penari Gupolo Gunung memainkan gerakan tari di atas pohon itu. Sorot lampu aneka warna dalam pementasan seakan menyemarakkan kegagahan mereka sebagaimana makin kokohnya pohon "Beringin Soekarno" mengikuti usianya.
Tentu saja, bukan tanpa maksud bila mereka dengan penuh kepercayaan diri sebagai seniman petani gunung, memainkan gerakan tariannya itu sambil kakinya berpijak pada dahan-dahan pohon "Beringin Soekarno".
Riyadi, salah satu pimpinan utama Komunitas Lima Gunung yang juga pengelola Padepokan Warga Budaya Gejayan di kawasan Gunung Merbabu mengatakan tempat itu adalah tempat yang spektakuler, simbol yang kuat maknanya untuk menegaskan kebangsaan kita.
Dengan menari di atas pohon yang ditanam oleh salah satu pendiri bangsa dan proklamator kemerdekaan Indonesia tersebut, mereka hendak menegaskan bahwa Indonesia terus menapaki perjalanan sejarah yang panjang dan berbagai tantangan zaman, untuk makin kokoh sebagai bangsa yang didalamnya berupa kekuatan keragaman masyarakatnya.
Hal itu kiranya berkaitan dengan pernyataan guru bangsa, Ahmad Syafii Maarif, dalam materi diskusi "Bisikan dari Jogja" bahwa "Sesungguhnya Indonesia sebagai bangsa masih dalam proses menjadi, belum jadi betul".
Dengan kemerdekaan Indonesia yang tahun ini memasuki usia 72 tahun, ucapnya, semestinya makin kokoh kesadaran kultural sebagai bangsa dan tidak muncul berbagai isu negatif dan destruktif atas bangunan kebangsaan Indonesia.
Namun, kenyataannya gangguan dan ancaman terhadap kebangsaan Indonesia masih muncul, baik yang datang dari luar maupun dari dalam sendiri.
"Baik oleh pengaruh ideologi luar yang diimpor ke sini, oleh kelompok-kelompok sempalan yang ahistoris maupun oleh kelalaian negara untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang diperintahkan oleh sila kelima Pancasila, `Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia`," kata Syafii Maarif yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Performa tariaan di atas pohon "Beringin Soekarno" bagaikan membisikan secara kuat bahwa usaha mewujudkan Indonesia sebagai bangsa tak hanya mengandalkan para elite, apalagi politikus instan yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya, namun mereka dari kalangan masyarakat akar rumput pun menjadi kekuatan penting yang tidak bisa diabaikan.
Dari atas pohon "Beringin Soekarno", para gupala penjaga kesucian cita-cita membangun bangsa itu menyerukan komitmen keindonesiaan.
Jawaban bahwa wujud Indonesia sebagai bangsa diungkapkan sekelumit penting oleh dalang wayang kontemporer Komunitas Lima Gunung, "Wayang Gunung Kulit Wong Urip", Sih Agung Prasetyo, ketika mengakhiri pementasan yang membuat "ger-geran" tak ada hentinya kalangan penonton malam itu.
Dalam pementasan tersebut, Sih Agung mendaulat Romo Banar untuk menjadi salah satu sosok wayang, sedangkan Nabila, mahasiswi Jurusan Tari Universitas Negeri Yogyakarta yang juga penari anggota Komunitas Lima Gunung, menjadi figur wayang lainnya.
"`Kabeh kuwi lak yo nggo senenge wong sakbangsa bareng-bareng` (Semua itu untuk kebahagiaan dan kemakmuran bersama seluruh bangsa, red.)," kata dalang.
Para penari Gupolo Gunung lalu turun dari pohon beringin itu. Di depan panggung tempat penabuh gamelan, mereka menarikan tarian tersebut dengan gagah dan berjingkrak penuh semangat, diiringi tabuhan gamelan bertalu-talu.
Gerak tarian mereka, seolah menyampaikan bisikan dari "Beringin Soekarno" kepada seluruh anak negeri ini, bahwa Indonesia sebagai bangsa. Dan penonton pun memberi aplaus kegembiraan bersama-sama.
Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Bank Jateng serahkan bantuan mobil operasional kepada RSUD Ir Soekarno Sukoharjo
17 May 2022 21:54 WIB, 2022
Patung Soekarno di polder Tawang jadi "landmark" baru Kota Semarang
30 September 2021 4:48 WIB, 2021
Patung Soekarno di polder Stasiun Tawang simbol semangat anak muda
29 September 2021 20:57 WIB, 2021
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB