Dibaca 2406 kali
Kisahnya sendiri berbeda dari film pertamanya, dimana Pengki yang dulu diperankan Benyamin Sueb merupakan sosok sopir playboy dengan beragam keisengan untuk menjahili majikannya. Sedangkan dalam “Benyamin Biang Kerok”, sosok Pengki (Reza Rahadian) berubah menjadi anak pengusaha IT yang manja dan kolokan.
Pengki sendiri perannya dalam film ini tidak jelas, mulai dari berlagak seperti agen rahasia sampai nguber-nguber pujaan hatinya Aida (Delia Husein) sampai-sampai dirinya harus berhadapan dengan bos gangster sadis bernama Said Toni Rojim (H. Qomar) yang merupakan om pelindung Aida.
Kegagalan “Benyamin Biang Kerok” bukan karena akting para pemainnya. Justru film ini masih diselamatkan dari titik nadir berkat performa bintang-bintangnya seperti Meriam Bellina, H. Qomar, Adjis Doa Ibu.
Sedangkan untuk akting Reza Rahadian sendiri sebagai Pengki, Gohitz malah memberikan dua jempol. Penonton harusnya jangan gagal paham terhadap peran yang dijalani Reza di film ini, mengingat Reza sebetulnya berperan sebagai Pengki melalui jati dirinya sendiri bukan mau meniru-niru sosok almarhum Benyamin. Dan Reza pun memang tampil gemilang dalam film ini.
Bagaimana dengan performa sang nahkoda Hanung Bramantyo, sutradara penggarap “Ayat Ayat Cinta” itu sudah bekerja super keras sampai menghasilkan gerak tarian dan nyanyian Betawi yang mengagumkan. Kalau bukan diselamatkan oleh Hanung dengan menghadirkan adegan musikal tersebut, pastinya “Benyamin Biang Kerok” bernasib lebih buruk dari kondisinya sekarang.(Editor : Paramita).
Lalu dimana letak kesalahan film ini hingga dianggap sebagai komedi yang dipaksakan. Pertama, plot ceritanya yang melompat dari satu scene ke scene lainnya sampai membuat pusing penonton menunjukkan bahwa penyusun skenario ini tidak serius menggarap naskah ceritanya.
Kedua, pihak produser terlalu memaksakan “Benyamin Biang Kerok” menjadi dua part. Mungkin mereka ingin mengikuti formula “Warkop Reborn” yang cukup berhasil namun gagal untuk “Benyamin Biang Kerok”. Persoalannya adalah pemotongan adegan ending yang terlalu kasar dalam “Benyamin Biang Kerok” ketimbang adegan ending “Warkop Reborn” yang bisa dibilang lebih halus dan tidak merusak mood penonton.
GoHitz sendiri juga hingga sekarang masih bingung dengan keputusan produser untuk menjadikan film “Biang Kerok” versi reborn ini menjadi dua bagian. Apakah hanya demi kepentingan komersial semata? Padahal kalau disatukan banyak sekali adegan-adegan penting di part keduanya yang bisa menyelamatkan “Benyamin Biang Kerok” dari panen kritikan keras publik dan kritikus film.
Pada akhirnya, “Benyamin Biang Kerok” yang berdurasi 95 menit ini dinilai Gohitz sebagai sebuah film komedi yang dipaksakan sehingga tidak berhasil mengoptimalkan akting para bintangnya sekaligus juga tidak mendukung kerja keras sutradaranya.