Apakah keseriusan pemerintah soal keterwakilan perempuan setimpal?
Jumat, 16 Maret 2018 15:07 WIB
Ilustrasi - Pengunjuk rasa dari sejumlah aliansi perempuan melakukan aksi di depan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Jakarta, Senin (10/9). Massa meminta KPU tegas untuk menegakkan aturan kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen dalam kepengurusan partai. (FOTO ANTARA/ Wahyu Putro A/ed/pd/12)
Semarang (Antaranews Jateng) - Apakah keseriusan pemerintah soal keterwakilan perempuan sedikitnya 30 persen dari total anggota dewan legislatif, baik DPR, DPD, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota, setimpal dengan perolehan suara kaum hawa pada Pemilihan Umum 2019?
Semua pemangku kepentingan tampaknya tidak perlu menunggu jawaban yang pasti pada hari-H pemungutan suara, 17 April 2019. Mereka seyogianya lebih serius perihal pemenuhan keterwakilan perempuan di parlemen yang belum pernah tercapai hingga Pemilu Anggota DPR RI 2014.
Berdasarkan hasil pemilu tersebut, perempuan yang menjadi wakil rakyat sebanyak 97 perempuan atau 17,32 persen dari 560 kursi DPR RI yang diperebutkan 12 parpol peserta Pemilu 2014 di 77 daerah pemilihan (dapil).
Persentase ini jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya mengalami penurunan. Pada Pemilu 2009 yang juga menggunakan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak mencapai 18,3 persen (103 kursi). Sebelumnya, pada Pemilu 2004 sebanyak 12 persen.
Keseriusan pemerintah soal keterwakilan perempuan ini terlihat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Komposisi keanggotaan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota pun harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Bahkan, ketika Presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang membantunya dalam penetapan calon anggota KPU yang akan diajukan ke DPR RI harus pula memperhatikan minimal 30 persen dari 11 anggota tim adalah kaum hawa.
Begitu pula, terkait dengan persyaratan partai politik peserta pemilu, harus menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Bentuk keseriusan pemerintah lainnya, antara lain, terkait dengan daftar bakal calon. Lima belas partai politik yang akan berlaga pada Pemilu Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota 2019, memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dari total bakal calon anggota dewan legislatif dalam daftar tersebut.
"Bung Penyedap"
Kendati demikian, kata Ketua Harian DPD I Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah Iqbal Wibisono, perempuan kader parpol jangan hanya sebagai pelengkap atau "bunga penyedap" dalam pencalegan.
"Itu tidak manusiawi dan tidak adil," kata Iqbal.
Perempuan sebagai kader partai politik, katanya lagi, jangan dijadikan pemenuhan syarat keterwakilan paling sedikit 30 persen dari total bakal calon legislator dengan tujuan parpol lolos menjadi peserta pemilu.
Dalam sistem proporsional terbuka, parpol harus berani menempatkan perempuan pada nomor strategis atau nomor yang diprediksikan akan terpilih di daerah pemilihan. Apalagi, keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari anggota legislator, baik DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota, adalah perintah undang-undang, dalam hal ini UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
"Sudah semestinya parpol harus memberikan ruang yang lebih kepada kaum hawa untuk berkiprah lebih banyak," kata Iqbal.
Untuk itu, parpol harus memberikan prioritas dan perlu menugasi konsultan khusus apabila diperlukan untuk pemenangan di dapilnya.
Di lain pihak, melalui pendidikan latihan dan kaderisasi yang komprehensif, menurut dia, parpol akan mampu menampilkan perempuan kader yang berkualifikasi, baik secara intelektual, moral, maupun berbudaya, di samping kualitas sehat jasmani dan rohani.
Parpol Penentu
Sementara itu, politikus PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan bahwa partai politik merupakan faktor penentu dalam mencapai target keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari total 575 kursi DPR RI yang bakal diperebutkan 15 parpol peserta Pemilu 2019.
"Kuncinya tetap di parpol," kata Eva K. Sundari yang juga anggota Komisi XI (Bidang Keuangan dan Perbankan) DPR RI.
Menjawab pertanyaan metode konversi suara "sainte lague" apakah mampu meningkatkan persentase keterwakilan perempuan di parlemen, Eva K. Sundari mengatakan bahwa perubahan sistem hitung tidak bertujuan menguatkan probabilitas keterpilihan perempuan.
Anggota DPR RI asal Dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Tulungagung, Kabupaten/Kota Blitar, dan Kabupaten/Kota Kediri) itu menegaskan bahwa partailah sebagai penentu. Namun, hingga sekarang belum ada dukungan konkret berupa afirmasi di internal parpol.
Eva mengatakan bahwa partainya mengantisipasi peluang naiknya jumlah anggota legislator dengan mengadakan pelatihan-pelatihan khusus untuk perempuan di berbagai tingkat.
Jumlah perempuan di PDIP akan naik. Akan tetapi, sebagai konsekuensi elektabilitas yang naik, terutama jika para perempuan mendapat nomor-nomor yang "electable" (dapat dipilih), kata Eva K. Sundari.
Kader PDIP lainnya, Dewi Aryani mengatakan bahwa perempuan makin punya potensi untuk memperoleh kursi lebih banyak pada pemilu mendatang karena mereka sudah makin berpengalaman dalam teknis dan cara dalam memperoleh suara. Bahkan, peran perempuan di tengah masyarakat saat ini makin diakui.
Menyinggung soal pelatihan yang dilakukan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) DPP PDIP, Dewi mengatakan bahwa hasil dari pelatihan itu adalah menumbuhkan optimisme percaya diri dan "mindset" (pola pikir) perempuan di dunia politik harus berubah, yakni tidak boleh pesimistis dan merasa kalah.
Kunci pencapaian keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen dari total anggota DPR RI adalah perempuan harus optimistis, kata anggota DPR RI asal Dapil Jateng IX (Kabupaten Brebes, Tegal, dan Kabupaten Tegal) itu.
Apa yang dikatakan Dewi, Eva, maupun Iqbal tampaknya patut menjadi pertimbangan parpol peserta Pemilu 2019 agar target keterwakilan perempuan di DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dapat terpenuhi.
Di sisi lain, masyarakat yang memiliki hak pilih pada pemilu mendatang juga harus selektif, atau tidak sekadar memilih perempuan, tetapi berdasarkan kapasitas dari masing-masing caleg. Jika perempuan caleg itu mumpuni, apa salahnya dipilih.
Semua pemangku kepentingan tampaknya tidak perlu menunggu jawaban yang pasti pada hari-H pemungutan suara, 17 April 2019. Mereka seyogianya lebih serius perihal pemenuhan keterwakilan perempuan di parlemen yang belum pernah tercapai hingga Pemilu Anggota DPR RI 2014.
Berdasarkan hasil pemilu tersebut, perempuan yang menjadi wakil rakyat sebanyak 97 perempuan atau 17,32 persen dari 560 kursi DPR RI yang diperebutkan 12 parpol peserta Pemilu 2014 di 77 daerah pemilihan (dapil).
Persentase ini jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya mengalami penurunan. Pada Pemilu 2009 yang juga menggunakan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak mencapai 18,3 persen (103 kursi). Sebelumnya, pada Pemilu 2004 sebanyak 12 persen.
Keseriusan pemerintah soal keterwakilan perempuan ini terlihat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Komposisi keanggotaan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota pun harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Bahkan, ketika Presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang membantunya dalam penetapan calon anggota KPU yang akan diajukan ke DPR RI harus pula memperhatikan minimal 30 persen dari 11 anggota tim adalah kaum hawa.
Begitu pula, terkait dengan persyaratan partai politik peserta pemilu, harus menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Bentuk keseriusan pemerintah lainnya, antara lain, terkait dengan daftar bakal calon. Lima belas partai politik yang akan berlaga pada Pemilu Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota 2019, memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dari total bakal calon anggota dewan legislatif dalam daftar tersebut.
"Bung Penyedap"
Kendati demikian, kata Ketua Harian DPD I Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah Iqbal Wibisono, perempuan kader parpol jangan hanya sebagai pelengkap atau "bunga penyedap" dalam pencalegan.
"Itu tidak manusiawi dan tidak adil," kata Iqbal.
Perempuan sebagai kader partai politik, katanya lagi, jangan dijadikan pemenuhan syarat keterwakilan paling sedikit 30 persen dari total bakal calon legislator dengan tujuan parpol lolos menjadi peserta pemilu.
Dalam sistem proporsional terbuka, parpol harus berani menempatkan perempuan pada nomor strategis atau nomor yang diprediksikan akan terpilih di daerah pemilihan. Apalagi, keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari anggota legislator, baik DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota, adalah perintah undang-undang, dalam hal ini UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
"Sudah semestinya parpol harus memberikan ruang yang lebih kepada kaum hawa untuk berkiprah lebih banyak," kata Iqbal.
Untuk itu, parpol harus memberikan prioritas dan perlu menugasi konsultan khusus apabila diperlukan untuk pemenangan di dapilnya.
Di lain pihak, melalui pendidikan latihan dan kaderisasi yang komprehensif, menurut dia, parpol akan mampu menampilkan perempuan kader yang berkualifikasi, baik secara intelektual, moral, maupun berbudaya, di samping kualitas sehat jasmani dan rohani.
Parpol Penentu
Sementara itu, politikus PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan bahwa partai politik merupakan faktor penentu dalam mencapai target keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari total 575 kursi DPR RI yang bakal diperebutkan 15 parpol peserta Pemilu 2019.
"Kuncinya tetap di parpol," kata Eva K. Sundari yang juga anggota Komisi XI (Bidang Keuangan dan Perbankan) DPR RI.
Menjawab pertanyaan metode konversi suara "sainte lague" apakah mampu meningkatkan persentase keterwakilan perempuan di parlemen, Eva K. Sundari mengatakan bahwa perubahan sistem hitung tidak bertujuan menguatkan probabilitas keterpilihan perempuan.
Anggota DPR RI asal Dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Tulungagung, Kabupaten/Kota Blitar, dan Kabupaten/Kota Kediri) itu menegaskan bahwa partailah sebagai penentu. Namun, hingga sekarang belum ada dukungan konkret berupa afirmasi di internal parpol.
Eva mengatakan bahwa partainya mengantisipasi peluang naiknya jumlah anggota legislator dengan mengadakan pelatihan-pelatihan khusus untuk perempuan di berbagai tingkat.
Jumlah perempuan di PDIP akan naik. Akan tetapi, sebagai konsekuensi elektabilitas yang naik, terutama jika para perempuan mendapat nomor-nomor yang "electable" (dapat dipilih), kata Eva K. Sundari.
Kader PDIP lainnya, Dewi Aryani mengatakan bahwa perempuan makin punya potensi untuk memperoleh kursi lebih banyak pada pemilu mendatang karena mereka sudah makin berpengalaman dalam teknis dan cara dalam memperoleh suara. Bahkan, peran perempuan di tengah masyarakat saat ini makin diakui.
Menyinggung soal pelatihan yang dilakukan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) DPP PDIP, Dewi mengatakan bahwa hasil dari pelatihan itu adalah menumbuhkan optimisme percaya diri dan "mindset" (pola pikir) perempuan di dunia politik harus berubah, yakni tidak boleh pesimistis dan merasa kalah.
Kunci pencapaian keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen dari total anggota DPR RI adalah perempuan harus optimistis, kata anggota DPR RI asal Dapil Jateng IX (Kabupaten Brebes, Tegal, dan Kabupaten Tegal) itu.
Apa yang dikatakan Dewi, Eva, maupun Iqbal tampaknya patut menjadi pertimbangan parpol peserta Pemilu 2019 agar target keterwakilan perempuan di DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dapat terpenuhi.
Di sisi lain, masyarakat yang memiliki hak pilih pada pemilu mendatang juga harus selektif, atau tidak sekadar memilih perempuan, tetapi berdasarkan kapasitas dari masing-masing caleg. Jika perempuan caleg itu mumpuni, apa salahnya dipilih.
Pewarta : Kliwon
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024