KPU diminta progresif terkait dengan syarat pemilih
Selasa, 30 Oktober 2018 6:15 WIB
Koordinator Jaringan Advokasi Hukum dan Pemilu Dr. Teguh Purnomo. (Foto: Dok. pribadi)
Semarang (Antaranews Jateng) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dapat berpikir dan bertindak progresif terkait dengan syarat pemilih guna meminimalkan angka golput pada Pemilu 2019, kata analis politik Doktor Teguh Purnomo.
Teguh kepada Antara di Semarang, Selasa pagi, menegaskan bahwa KPU tidak boleh tinggal diam melihat potensi warga karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di tempat pemungutan suara (TPS).
Teguh yang pernah sebagai anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah mengemukakan hal itu terkait dengan ratusan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Bulu Kota Semarang berpotensi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilu Presiden 2019.
Apalagi, kata mantan Ketua KPU Kabupaten Kebumen itu, kejadian di lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan negara (rutan), rumah sakit, dan pesantren sering terulang.
Teguh yang juga sebagai Koordinator Jaringan Advokasi Hukum dan Pemilu menekankan bahwa pemilu anggota legislatif dan Pilpres akan rawan gugatan jika soal pemilih tidak tuntas.
Ia menegaskan bahwa KPU dapat berpikir dan bertindak progresif sebagaimana saat penyelenggara pemilu ini membuat peraturan KPU terkait dengan larangan koruptor, bandar narkoba, dan/atau kejahatan seksual terhadap anak menjadi calon anggota legislatif.
Kendati demikian, dosen Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muria Kudus itu meminta KPU memastikan terlebih dahulu mandat atau delegasi undang-undang yang menjadi dasar. Dengan demikian, setelah peraturan KPU diundangkan, tidak gaduh.
Teguh yang pernah sebagai anggota KPU Provinsi Jawa Tengah mengingatkan KPU jangan sampai melanggar prosedur dalam pembuatan aturan, apalagi sampai berujung pada uji materi di Mahkamah Agung (MA).
Oleh karena itu, kata Teguh, setiap PKPU harus harmonis dengan peraturan di atasnya, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Teguh kepada Antara di Semarang, Selasa pagi, menegaskan bahwa KPU tidak boleh tinggal diam melihat potensi warga karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di tempat pemungutan suara (TPS).
Teguh yang pernah sebagai anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah mengemukakan hal itu terkait dengan ratusan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Bulu Kota Semarang berpotensi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilu Presiden 2019.
Apalagi, kata mantan Ketua KPU Kabupaten Kebumen itu, kejadian di lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan negara (rutan), rumah sakit, dan pesantren sering terulang.
Teguh yang juga sebagai Koordinator Jaringan Advokasi Hukum dan Pemilu menekankan bahwa pemilu anggota legislatif dan Pilpres akan rawan gugatan jika soal pemilih tidak tuntas.
Ia menegaskan bahwa KPU dapat berpikir dan bertindak progresif sebagaimana saat penyelenggara pemilu ini membuat peraturan KPU terkait dengan larangan koruptor, bandar narkoba, dan/atau kejahatan seksual terhadap anak menjadi calon anggota legislatif.
Kendati demikian, dosen Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muria Kudus itu meminta KPU memastikan terlebih dahulu mandat atau delegasi undang-undang yang menjadi dasar. Dengan demikian, setelah peraturan KPU diundangkan, tidak gaduh.
Teguh yang pernah sebagai anggota KPU Provinsi Jawa Tengah mengingatkan KPU jangan sampai melanggar prosedur dalam pembuatan aturan, apalagi sampai berujung pada uji materi di Mahkamah Agung (MA).
Oleh karena itu, kata Teguh, setiap PKPU harus harmonis dengan peraturan di atasnya, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pewarta : Kliwon
Editor : Kliwon
Copyright © ANTARA 2024