Meluaskan literasi finansial untuk hindari "fintech" ilegal
Senin, 2 September 2019 11:35 WIB
Ilustrasi fintech (Shutterstock)
Semarang (ANTARA) - Perkembangan pesat teknologi informasi mendorong kemudahan hidup manusia, termasuk di bidang finansial.
Fenomena mencolok belakangan ini adalah merebaknya aplikasi pinjaman online berbasis peer to peer lending. Aplikasi ini memberi kemudahan banyak orang, tidak terkecuali para pelaku usaha mikro dan kecil yang selama ini kesulitan mendapatkan modal kerja dari lembaga pembiayaan konvensional.
Perusahaan penyedia aplikasi pinjaman online tersebut memang memberi kemudahan nasabah. Cukup isi permohonan dan data diri lalu kirim ke aplikator, uang pinjaman bisa segera ditransfer ke rekening peminjam.
Jauh lebih simpel dan cepat dibandingkan dengan ketika meminjam di lembaga keuangan konvensional.
Karena simpel dan cepat maka aplikasi pinjaman daring ini langsung mendapat respons luas, baik dari sisi penyedia layanan (aplikator) maupun dari masyarakat sebagai user atau debitur.
Dari sisi penyedia, ditandai dengan munculnya ratusan aplikasi pinjaman online. Namun, sayangnya sebagian besar justru belum terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Per Agutus 2019, jumlah institusi financial technology (fintech atau tekfin) yang terdaftar dan diawasi oleh OJK baru 127 fintech. Sementara itu, yang ilegal jumlahnya lebih dari 1.000.
Dari sisi dana yang dikucurkan, mengalami pertumbuhan luar biasa. Per Juni 2019, menurut OJK, realisasi pinjaman yang dikucurkan fintech Rp44,8 triliun atau nyaris tumbuh 100 persen dari posisi akhir Desember 2018 sebesar Rp22,66 triliun.
Ini menunjukkan layanan fintech mendapat respons luar biasa, baik dari sisi penyedia maupun peminjam. Masyarakat makin banyak pilihan untuk meminjam.
Namun, di balik kemudahan tersebut ada pihak yang memanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan cara tidak etis.
OJK sudah berulang kali menegaskan agar masyarakat hanya meminjam dari penyedia layanan pinjaman online yang sudah terdaftar dan diawasi oleh OJK.
Banyak kisah nasabah aplikasi pinjaman online tersebut yang telat bayar angsuran, kehidupan pribadinya diumbar oleh penyedia pinjaman online melalui grup media sosial atau layanan perpesanan (WA) yang diikuti peminjam.
Kasus tersebut membuat citra layanan pinjaman online kurang sedap. Masalah lain adalah tingginya suku bunga pinjaman. Seolah menjadi hal lazim jika fintech mematok bunga 5 persen/bulan atau 60 persen per tahun. Bahkan ada yang mematok 10 persen/bulan atau bunga harian.
Dibanding bunga pinjaman di lembaga keuangan konvensional, rente yang dikutip fintech sangat tinggi karena rata-rata bank hanya mematok bunga tidak lebih dari 15 persen/tahun atau 1,25 persen/bulan.
Fintech punya alasan bahwa mereka menanggung risiko tinggi sehingga wajar bila memungut bunga tinggi pula.
Namun, menilik tingginya bunga fintech, sulit rasanya pelaku usaha mikro dan kecil -- yang selama ini akses modal mereka sangat terbatas -- bisa meraih untung layak bila mereka mengandalkan modal kerja dari layanan pinjaman online. Karena, sebagian besar pendapatannya bakal "terbakar" untuk bayar bunga.
Pemerintah sudah menegaskan komitmennya mendorong usaha mikro dan kecil berkembang dan menjadi salah satu pilar perekonomian nasional.
Namun, sepanjang akses modal kerja usaha mikro di lembaga keuangan konvensional itu sangat terbatas, mereka akan menjadikan layanan pinjaman online sebagai pilihan. Simpel dan cepat meski dibebani bunga lebih tinggi.
Pada fintech legal, aturan mainnya memang jelas. Misal, bunga mula1 0,05 hingga 0,8 persen/hari dengan maksimum pengembalian, termasuk denda, 100 persen dari pinjaman pokok.
Jangka waktunya juga dibatasi maksimum 90 hari. Jika nasabah bermasalah, mereka akan dimasukkan dalam daftar hitam Bank Indonesia, sebagaimana nasabah di lembaga keuangan konvensional.
Dibanding bunga konvensional, bunga fintech legal memang lebih tinggi. Namun, bila digunakan secara tepat, modal kerja dari fintech legal tersebut tetap menyisakan ruang untuk mendapatkan untung.
Namun tidak demikian dengan fintech ilegal. Selain bunganya sangat mencekik, kehidupan pribadi nasabah juga terancam diumbar ke media sosial bila telat bayar cicilan. Kasus di Solo, nasabah fintech ilegal pinjam Rp5 juta, menunggak 2 bulan, kemudian ditagih Rp75 juta.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana memblokir fintech ilegal sekaligus meluaskan sasaran literasi keuangan agar masyarakat tidak menjadi korban fintech ilegal.
Fenomena mencolok belakangan ini adalah merebaknya aplikasi pinjaman online berbasis peer to peer lending. Aplikasi ini memberi kemudahan banyak orang, tidak terkecuali para pelaku usaha mikro dan kecil yang selama ini kesulitan mendapatkan modal kerja dari lembaga pembiayaan konvensional.
Perusahaan penyedia aplikasi pinjaman online tersebut memang memberi kemudahan nasabah. Cukup isi permohonan dan data diri lalu kirim ke aplikator, uang pinjaman bisa segera ditransfer ke rekening peminjam.
Jauh lebih simpel dan cepat dibandingkan dengan ketika meminjam di lembaga keuangan konvensional.
Karena simpel dan cepat maka aplikasi pinjaman daring ini langsung mendapat respons luas, baik dari sisi penyedia layanan (aplikator) maupun dari masyarakat sebagai user atau debitur.
Dari sisi penyedia, ditandai dengan munculnya ratusan aplikasi pinjaman online. Namun, sayangnya sebagian besar justru belum terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Per Agutus 2019, jumlah institusi financial technology (fintech atau tekfin) yang terdaftar dan diawasi oleh OJK baru 127 fintech. Sementara itu, yang ilegal jumlahnya lebih dari 1.000.
Dari sisi dana yang dikucurkan, mengalami pertumbuhan luar biasa. Per Juni 2019, menurut OJK, realisasi pinjaman yang dikucurkan fintech Rp44,8 triliun atau nyaris tumbuh 100 persen dari posisi akhir Desember 2018 sebesar Rp22,66 triliun.
Ini menunjukkan layanan fintech mendapat respons luar biasa, baik dari sisi penyedia maupun peminjam. Masyarakat makin banyak pilihan untuk meminjam.
Namun, di balik kemudahan tersebut ada pihak yang memanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan cara tidak etis.
OJK sudah berulang kali menegaskan agar masyarakat hanya meminjam dari penyedia layanan pinjaman online yang sudah terdaftar dan diawasi oleh OJK.
Banyak kisah nasabah aplikasi pinjaman online tersebut yang telat bayar angsuran, kehidupan pribadinya diumbar oleh penyedia pinjaman online melalui grup media sosial atau layanan perpesanan (WA) yang diikuti peminjam.
Kasus tersebut membuat citra layanan pinjaman online kurang sedap. Masalah lain adalah tingginya suku bunga pinjaman. Seolah menjadi hal lazim jika fintech mematok bunga 5 persen/bulan atau 60 persen per tahun. Bahkan ada yang mematok 10 persen/bulan atau bunga harian.
Dibanding bunga pinjaman di lembaga keuangan konvensional, rente yang dikutip fintech sangat tinggi karena rata-rata bank hanya mematok bunga tidak lebih dari 15 persen/tahun atau 1,25 persen/bulan.
Fintech punya alasan bahwa mereka menanggung risiko tinggi sehingga wajar bila memungut bunga tinggi pula.
Namun, menilik tingginya bunga fintech, sulit rasanya pelaku usaha mikro dan kecil -- yang selama ini akses modal mereka sangat terbatas -- bisa meraih untung layak bila mereka mengandalkan modal kerja dari layanan pinjaman online. Karena, sebagian besar pendapatannya bakal "terbakar" untuk bayar bunga.
Pemerintah sudah menegaskan komitmennya mendorong usaha mikro dan kecil berkembang dan menjadi salah satu pilar perekonomian nasional.
Namun, sepanjang akses modal kerja usaha mikro di lembaga keuangan konvensional itu sangat terbatas, mereka akan menjadikan layanan pinjaman online sebagai pilihan. Simpel dan cepat meski dibebani bunga lebih tinggi.
Pada fintech legal, aturan mainnya memang jelas. Misal, bunga mula1 0,05 hingga 0,8 persen/hari dengan maksimum pengembalian, termasuk denda, 100 persen dari pinjaman pokok.
Jangka waktunya juga dibatasi maksimum 90 hari. Jika nasabah bermasalah, mereka akan dimasukkan dalam daftar hitam Bank Indonesia, sebagaimana nasabah di lembaga keuangan konvensional.
Dibanding bunga konvensional, bunga fintech legal memang lebih tinggi. Namun, bila digunakan secara tepat, modal kerja dari fintech legal tersebut tetap menyisakan ruang untuk mendapatkan untung.
Namun tidak demikian dengan fintech ilegal. Selain bunganya sangat mencekik, kehidupan pribadi nasabah juga terancam diumbar ke media sosial bila telat bayar cicilan. Kasus di Solo, nasabah fintech ilegal pinjam Rp5 juta, menunggak 2 bulan, kemudian ditagih Rp75 juta.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana memblokir fintech ilegal sekaligus meluaskan sasaran literasi keuangan agar masyarakat tidak menjadi korban fintech ilegal.
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Nur Istibsaroh
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Pelaku bawa Toyota Alphard angkut ratusan ribu rokok ilegal, diserahkan ke kejaksaan
20 November 2024 8:06 WIB