Semarang (ANTARA) - Yayasan Kartini Indonesia menggelar haul ke-115 R.A. Kartini dengan menggelar opera lirik bertajuk "Untuk Ayunda" demi terus membumikan ide, gagasan, dan semangat pahlawan emansipasi kaum perempuan tersebut.

Pergelaran opera lirik tersebut sebagai salah satu sumber inspirasi dalam memperkuat pembangunan karakter bangsa, demikian siaran pers yang diterima dari Yayasan Kartini Indonesia di Semarang, Selasa.

Opera lirik tersebut mengisahkan kehidupan R.A. Kartini semasa muda hingga tutup usia. Kartini merupakan keturunan ningrat, ayahnya Raden Ario Sosroningrat adalah Bupati Kabupaten Jepara, sedangkan ibunya, Ngasirah, adalah rakyat biasa. 

Baca juga: Bertambah, koleksi foto Museum Kartini Jepara

Kartini kecil sempat merasakan sekolah sampai usianya 12 tahun. Setelah usianya 12 tahun, Kartini harus hidup di tengah-tengah adat Jawa yang membelenggu selama berabad-abad. 

Ia pun harus menjalani pingitan, padahal Kartini ingin sekali melanjutkan sekolah.

Namun, Kartini tak pernah menyerah. Sebagai gadis muda, jiwa dan semangatnya menggebu-gebu. Kartini terus belajar membaca maupun menulis. 
  Opera lirik "Untuk Ayunda" (Dok. Yayasan Kartini Indonesia)
Ia bahkan menuliskan ide, gagasan, cita-cita bahkan perlawanan terhadap ketidakadilan perempuan hasil dari pengetahuan dari buku-buku yang ia baca.

Tidak hanya itu, Kartini juga mendirikan Sekolah Gadis untuk mengajarkan membaca dan menulis bagi perempuan-perempuan di lingkungannya. 

Setelah dewasa dan menikah, Kartini juga mendirikan Yayasan Kartini di berbagai tempat seperti di Semarang, Rembang, Bogor dan kota-kota lainnya.

Ketua Yayasan Kartini Indonesia, Hadi Priyanto mengatakan R.A. Kartini tidak hanya sosok pejuang atau emansipasi wanita. Kartini adalah penggagas. 

Teman-temannya di STOVIA bahkan menjulukinya sebagai Ayunda atas pemikirannya yang kritis terhadap ketidakadilan yang membelenggu perempuan dan Bumi Putera.

Baca juga: Liburan, jumlah pengunjung Museum Kartini meningkat capai 400 orang/hari

“Kartini adalah pencetus spirit Jong Java pada tahun 1903. Kemudian spirit itu diteruskan oleh Bung Tomo pada tahun 1915,” lanjut Hadi.

Lebih lanjut Plt Bupati Jepara Mulyaji menyebut Jepara mempunyai tiga ikon nasional.

“Yang pertama Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan R.A. Kartini. Semuanya adalah perempuan. Perempuan-perempuan hebat dengan ide, gagasan, dan semangat luar biasa bagi kemajuan kaumnya. Terutama kaum sesamanya, perempuan," sebut Mulyadi.

Kartini mempunyai keinginan untuk membebaskan dan  mencerdaskan bangsa ini sebab dengan itu akan memerdekakan bangsa.

Adapun pergelaran opera lirik diadakan di Pendopo Sosroningrat di Kawasan Pendopo Kabupaten Jepara, Senin (16/09/2019) malam.

Sebelumnya, tim panitia juga telah menyelenggarakan pengajian untuk memperingati 115 haul (tahun wafat) R.A. Kartini.

Haul ke-115 R.A. Kartini turut dihadiri oleh beberapa tokoh penting, di antaranya adalah cicit dari R.A. Kartini yang bernama Rukmini dan Hanif, Plt Bupati Jepara, Wakapolres dari Kodim 017, Plt Kepala Dinas Kepariwisataan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara, perwakilan Yayasan Dharma Bakti Lestari dan masyarakat setempat.

Baca juga: Peziarah Makam Kartini di Rembang didominasi orang dewasa
Baca juga: MGMP terbitkan komik digital sejarah Kartini