BMKG: Teknologi canggih akan sia-sia bila warga tak siap hadapi tsunami
Jumat, 13 November 2020 12:46 WIB
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat membuka webinar Hari Peringatan Tsunami Dunia. ANTARA/Desi Purnamawati
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan teknologi secanggih apa pun tidak akan berguna jika masyarakat tidak siap dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana tsunami yang kemungkinan akan terjadi.
"Semua teknologi, superkomputer yang mendukung sistem peringatan dini akan lumpuh, akan sia-sia dan tidak ada gunanya kalau aspek kultur tidak siap. Aspek kultur ini adalah masyarakat dan pemda," kata Dwikorita saat membuka webinar dalam rangka peringatan Hari Kesadaran Tsunami Dunia yang dipantau di Jakarta, Jumat.
Dalam webinar Hari Kesadaran Tsunami Dunia yang diperingati setiap 5 November itu, Dwikorita mengatakan aspek kultur, yaitu pemerintah daerah dan masyarakat sebagai ujung tombak menjadi tantangan dalam kesiapsiagaan bencana.
Menurut dia, apabila masyarakat dan pemda di daerah rawan bencana tsunami tidak memiliki kapasitas untuk mengoperasikan dan memelihara sirine peringatan dini tsunami, teknologi yang sudah disiapkan tidak akan berguna.
BMKG telah membangun sistem peringatan dini tsunami, yaitu Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang telah beroperasi sejak 2008.
Hal senada disampaikan narasumber webinar dari Unesco Indonesia Ardito M Kodijat.
Ardito mengatakan banyak pembelajaran dari kejadian tsunami yang lalu bahwa sistem peringatan dini tsunami yang canggih tidak akan menyelamatkan nyawa jika masyarakat berisiko tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk merespons peringatan dini tersebut.
"Kalau kita punya sistem yang sangat canggih, saat ini bisa mengeluarkan peringatan dini dalam waktu yang sangat singkat kurang dari empat menit, tapi kalau masyarakatnya tidak tahu apa yang harus dilakukan, sistem peringatan dini itu tidak menjamin keselamatan," ujar Ardito.
Dia mengatakan dalam keadaan darurat tsunami, risiko kehilangan nyawa dan harta benda masyarakat pesisir dengan tingkat kesiapan rendah atau tidak ada sangat tinggi.
Selain itu, rantai peringatan yang lemah atau terputus, sehingga informasi tidak sampai ke masyarakat juga tidak ada arahan untuk masyarakat mengevakuasi diri. Hal itu bisa karena ketidaksiapan SDM, prosedur atau masalah teknologi.
Menurut dia, selama ini sistem peringatan dini terfokus pada peningkatan teknologi, tapi perlu juga fokus pada kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami.
Baca juga: Soloraya berpotensi rasakan intensitas jika terjadi tsunami megathrust
Baca juga: BMKG Banjarnegara bakal sosialisasikan alat penyebarluasan info gempa
"Semua teknologi, superkomputer yang mendukung sistem peringatan dini akan lumpuh, akan sia-sia dan tidak ada gunanya kalau aspek kultur tidak siap. Aspek kultur ini adalah masyarakat dan pemda," kata Dwikorita saat membuka webinar dalam rangka peringatan Hari Kesadaran Tsunami Dunia yang dipantau di Jakarta, Jumat.
Dalam webinar Hari Kesadaran Tsunami Dunia yang diperingati setiap 5 November itu, Dwikorita mengatakan aspek kultur, yaitu pemerintah daerah dan masyarakat sebagai ujung tombak menjadi tantangan dalam kesiapsiagaan bencana.
Menurut dia, apabila masyarakat dan pemda di daerah rawan bencana tsunami tidak memiliki kapasitas untuk mengoperasikan dan memelihara sirine peringatan dini tsunami, teknologi yang sudah disiapkan tidak akan berguna.
BMKG telah membangun sistem peringatan dini tsunami, yaitu Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang telah beroperasi sejak 2008.
Hal senada disampaikan narasumber webinar dari Unesco Indonesia Ardito M Kodijat.
Ardito mengatakan banyak pembelajaran dari kejadian tsunami yang lalu bahwa sistem peringatan dini tsunami yang canggih tidak akan menyelamatkan nyawa jika masyarakat berisiko tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk merespons peringatan dini tersebut.
"Kalau kita punya sistem yang sangat canggih, saat ini bisa mengeluarkan peringatan dini dalam waktu yang sangat singkat kurang dari empat menit, tapi kalau masyarakatnya tidak tahu apa yang harus dilakukan, sistem peringatan dini itu tidak menjamin keselamatan," ujar Ardito.
Dia mengatakan dalam keadaan darurat tsunami, risiko kehilangan nyawa dan harta benda masyarakat pesisir dengan tingkat kesiapan rendah atau tidak ada sangat tinggi.
Selain itu, rantai peringatan yang lemah atau terputus, sehingga informasi tidak sampai ke masyarakat juga tidak ada arahan untuk masyarakat mengevakuasi diri. Hal itu bisa karena ketidaksiapan SDM, prosedur atau masalah teknologi.
Menurut dia, selama ini sistem peringatan dini terfokus pada peningkatan teknologi, tapi perlu juga fokus pada kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami.
Baca juga: Soloraya berpotensi rasakan intensitas jika terjadi tsunami megathrust
Baca juga: BMKG Banjarnegara bakal sosialisasikan alat penyebarluasan info gempa
Pewarta : Desi Purnamawati
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024