Purwokerto (ANTARA) - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq menilai revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mendesak.

"Desain kepemiluan mestinya untuk jangka panjang, jangan sampai kemudian sedikit-sedikit berubah. Ini 'kan belum dilaksanakan, sudah diubah, jadi kesannya 'bongkar pasang'," kata Ahmad Sabiq di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.

Ia mengatakan hal itu terkait dengan revisi UU Pemilu, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.

Baca juga: UU Pemilu tidak boleh bertentangan dengan putusan MK

Menurut dia, tidak ada suatu yang begitu mendesak untuk perubahan terhadap jadwal-jadwal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang masih berlaku saat ini.

"Itu malah yang saya pertanyakan, ada kepentingan apa?" kata pengampu mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu itu.

Jika pilkada serentak pada tahun 2024, seperti yang ditetapkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, menurut Sabiq, ada waktu yang cukup lama bagi suatu daerah akan dipimpin oleh kepala daerah yang bukan hasil pemilihan umum.

Dalam hal ini, daerah-daerah tersebut merupakan kabupaten/kota dan provinsi yang mengikuti pilkada serentak pada tahun 2017 dan 2018.

"Sebetulnya itu yang menjadi persoalan," katanya.

Akan tetapi, bagi daerah yang mengikuti pilkada serentak pada tahun 2020, kata dia, sudah menjadi pemahaman dan sudah disepakati bersama bahwa ketika seseorang yang mencalonkan diri dalam pilkada tersebut, yang bersangkutan tidak akan menjabat penuh selama 5 tahun karena pilkada selanjutnya digelar pada tahun 2024.

Oleh karena itu, lanjut dia, ketentuan yang diatur dalam UU No. 7/2017 sebaiknya dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan jadwal sehingga tidak seperti yang tercantum dalam draf RUU Pemilu yang mengembalikan lagi seperti yang lama.

"Tidak ada unsur kemendesakannya. Ada kepentingan apa? Mestinya kepentingan-kepentingan siapa pun itu jangan kemudian merusak desain kepemiluan yang sudah dicanangkan untuk jangka panjang dengan undang-undang yang sudah ada," katanya menegaskan.

Seperti diwartakan, dalam draf RUU Pemilu Pasal 731 Ayat (1) disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Desember 2020.

Pasal 731 Ayat (2) menyebutkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.

Pasal 731 Ayat (3) menyebutkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023.

Pada Pasal 734 Ayat (1) dijelaskan bahwa pemilu daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2017, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.

Selanjutnya, dalam Pasal 734 Ayat (2) disebutkan bahwa pemilu nasional pertama diselenggarakan pada tahun 2024, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. 

Baca juga: Bakesbangpol: Sosialisasi UU Pemilu tingkatkan partisipasi masyarakat
Baca juga: Akademisi: Perubahan PKPU pencalonan berpotensi langgar UU