Pelacakan TBC terkendala selama pandemi COVID-19
Selasa, 23 Maret 2021 14:09 WIB
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi pada acara Temu Media secara virtual dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS), Selasa (23/3/2021). ANTARA/Andi Firdaus
Jakarta (ANTARA) - Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan mengungkapkan sejumlah kendala yang dialami dalam upaya pelacakan kasus tuberkulosis (TBC) dalam masa penanganan dan pemulihan pandemi COVID-19.
"Situasi TBC Indonesia pada 2020 diperkirakan masih tinggi, mencapai 845.000 kasus. Di situasi pandemi ini capaian kita hanya 349.549 kasus TBC yang kami temukan," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, pada acara Temu Media secara virtual dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) di Jakarta, Selasa.
Dari angka kasus yang ditemukan pada 2020, kata Siti Nadia, 41,4 persen di antaranya menjalani masa perawatan dan 84,4 persen dinyatakan sembuh.
Sementara dari total 8.060 pasien TBC yang terkonfirmasi mengalami resisten terhadap obat, sebanyak 56,5 persen masuk pada kriteria pengobatan lini kedua dan 40 persen dinyatakan sembuh.
Pada kasus TBC di kelompok usia anak dilaporkan sebanyak 32.251 kasus, 7.699 di antaranya TBC dengan HIV dan 12.844 dinyatakan meninggal dunia.
Siti Nadia mengatakan terdapat sejumlah hambatan dalam proses investigasi kontak pasien TBC sehingga berdampak pada penemuan kasus yang masih berada di bawah target pencapaian.
Seorang penderita TBC positif, kata Siti Nadia, bisa menularkan penyakit kepada 10 hingga 15 orang di sekitarnya.
Namun, akibat pandemi, kegiatan pelacakan kasus kontak terhambat karena di awal pandemi muncul kegiatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sehingga upaya investigasi kontak dilakukan seiring penerapan protokol kesehatan.
Baca juga: Ponpes di Jateng sasaran literasi melek tuberkulosis
Persoalan lainnya adalah aktivitas pengambilan obat oleh pasien ke sejumlah fasilitas layanan kesehatan yang mengalami penurunan selama pandemi.
"Sebagian masyarakat tertunda dalam pengambilan obat karena mereka takut mendatangi faskes saat di awal pandemi, walaupun protokol kesehatan dilakukan di rumah sakit. Ada pemisahan (ruang pelayanan) pasien TBC dengan pasien COVID-19," katanya.
Baca juga: Bupati berharap Banyumas bebas dari TBC pada 2023
Akibatnya, kata dia, terjadi keterlambatan diagnosa TBC seiring tertundanya pengiriman sampel sputum (dahak) pasien TBC. Selain itu ada tugas ganda petugas TBC dengan tugas COVID-19.
Persoalan yang turut mempengaruhi pelacakan kasus tuberkulosis (TBC), kata Siti Nadia, adalah pengalihan anggaran TBC untuk COVID-19, hingga di tataran pemerintah daerah.
"Situasi TBC Indonesia pada 2020 diperkirakan masih tinggi, mencapai 845.000 kasus. Di situasi pandemi ini capaian kita hanya 349.549 kasus TBC yang kami temukan," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, pada acara Temu Media secara virtual dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) di Jakarta, Selasa.
Dari angka kasus yang ditemukan pada 2020, kata Siti Nadia, 41,4 persen di antaranya menjalani masa perawatan dan 84,4 persen dinyatakan sembuh.
Sementara dari total 8.060 pasien TBC yang terkonfirmasi mengalami resisten terhadap obat, sebanyak 56,5 persen masuk pada kriteria pengobatan lini kedua dan 40 persen dinyatakan sembuh.
Pada kasus TBC di kelompok usia anak dilaporkan sebanyak 32.251 kasus, 7.699 di antaranya TBC dengan HIV dan 12.844 dinyatakan meninggal dunia.
Siti Nadia mengatakan terdapat sejumlah hambatan dalam proses investigasi kontak pasien TBC sehingga berdampak pada penemuan kasus yang masih berada di bawah target pencapaian.
Seorang penderita TBC positif, kata Siti Nadia, bisa menularkan penyakit kepada 10 hingga 15 orang di sekitarnya.
Namun, akibat pandemi, kegiatan pelacakan kasus kontak terhambat karena di awal pandemi muncul kegiatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sehingga upaya investigasi kontak dilakukan seiring penerapan protokol kesehatan.
Baca juga: Ponpes di Jateng sasaran literasi melek tuberkulosis
Persoalan lainnya adalah aktivitas pengambilan obat oleh pasien ke sejumlah fasilitas layanan kesehatan yang mengalami penurunan selama pandemi.
"Sebagian masyarakat tertunda dalam pengambilan obat karena mereka takut mendatangi faskes saat di awal pandemi, walaupun protokol kesehatan dilakukan di rumah sakit. Ada pemisahan (ruang pelayanan) pasien TBC dengan pasien COVID-19," katanya.
Baca juga: Bupati berharap Banyumas bebas dari TBC pada 2023
Akibatnya, kata dia, terjadi keterlambatan diagnosa TBC seiring tertundanya pengiriman sampel sputum (dahak) pasien TBC. Selain itu ada tugas ganda petugas TBC dengan tugas COVID-19.
Persoalan yang turut mempengaruhi pelacakan kasus tuberkulosis (TBC), kata Siti Nadia, adalah pengalihan anggaran TBC untuk COVID-19, hingga di tataran pemerintah daerah.
Pewarta : Andi Firdaus
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
UHB dan Unsoed implementasikan Aplikasi ByeTB untuk deteksi dini Tuberkulosis
11 September 2024 14:07 WIB