Semarang (ANTARA) - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang F.X. Sugiyanto menilai kenaikan harga BBM yang akan diterapkan pemerintah idealnya sebesar 25 persen agar dampaknya terhadap inflasi tidak terlalu besar, sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga.

"Saya belum menghitung persis, tetapi jangan lebih dari 25 persen. Tentu ini sangat tergantung pada konsumsi dan efek dominonya, karena pasti akan berdampak pada biaya transportasi, yang juga berpengaruh pada biaya distribusi pangan," katanya di Semarang, Selasa.

Menurutnya, kenaikan harga BBM harus diimbangi dengan pembatasan pembelian bersubsidi, mengingat selama ini BBM subsidi seperti Pertalite lebih banyak dikonsumsi oleh orang mampu dan penerapan pembatasan dengan menggunakan aplikasi MyPertamina merupakan langkah yang sudah tepat, karena teknologi tersebut juga memungkinkan adanya pendataan yang lebih baik. 

"Saya sempat nongkrong di SPBU dan mengamati yang membeli Pertalite itu banyak mobil-mobil mewah, seperti ada Honda CRV dan Alphard. Memang tidak ada larangan, tapi kita harus melihat dari sisi keadilan sosial," katanya.

Terkait polemik kebijakan rencana kenaikan BBM, tambahnya, akan menjadi edukasi bagi masyarakat, agar memiliki pemikiran yang lebih rasional. Namun, yang terpenting pemerintah harus mempunyai alasan yang masuk akal dan adil, karena terjadi dampak berbeda-beda terhadap masyarakat. 

"Lebih baik terjadi perdebatan di masyarakat, daripada pemerintah langsung melakukan kenaikan harga. Memang negatifnya harga mulai naik, tapi sisi baiknya masyarakat melihat pemerintah tidak diam-diam dalam mengambil keputusan," katanya.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah Adhi Wiriana menyarankan sejumlah langkah agar dampak kenaikan BBM tidak terlalu besar terhadap kenaikan inflasi dan yang pertama, pelaku usaha harus melakukan efisiensi anggaran ataupun biaya. 

"Artinya, untuk hal-hal yang sifatnya tidak urgent (penting) bisa diminimalkan. Jadi, biaya semata-mata hanya untuk kegiatan produksi," katanya.

Kedua, lanjut Adhi, pemerintah harus melakukan intervensi agar tarif angkutan baik darat, laut maupun udara tetap terjangkau oleh masyarakat. Jika kenaikan tarif angkutan tidak lebih dari 2-3 persen, hal itu masih bisa diterima oleh masyarakat.

"Pemprov Jateng mungkin juga perlu memperbanyak program angkutan gratis seperti di Jakarta, supaya lebih sejahtera dan masyarakat lebih berminat menggunakan angkutan umum dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi," katanya.

Ketiga, Adhi menyarankan pemerintah menjaga daya beli masyarakat, dan memberikan bantuan di sektor kesehatan, pendidikan, serta mendorong penciptaan lapangan kerja baru. 

"Beasiswa perlu diperbanyak, orang berobat tidak dipersulit dan harga obat-obatan murah sebagai salah satu bentuk layanan pemerintah," jelasnya.

Menurut dia, idealnya inflasi di Jawa Tengah tidak lebih dari lima persen, mengingat kenaikan upah di wilayah ini rata-rata juga tidak lebih dari jumlah tersebut. Jika inflasi melebihi angka tersebut maka akan berdampak pada tingkat kemiskinan yang akan memunculkan persoalan lain seperti kriminalitas. 

"Kalau inflasi terlalu tinggi, apalagi jika sampai dua digit, maka akan berdampak pada tingkat kemiskinan dan hal lain termasuk kriminalitas," kata dia.

Terkait dengan bantuan pemerintah, seperti bantuan langsung tunai sebagai bantalan untuk menghadapi kenaikan BBM, Adhi menyambut positif hal tersebut. BPS berusaha terus menyusun data yang akurat, sehingga pemberian subsidi kepada masyarakat lebih tepat sasaran.

"Walaupun bantalan tidak ke seluruh masyarakat, tapi kita tetap berusaha melahirkan data akurat untuk mendukung bantalan tadi, seperti subsidi listrik dan lain-lain," katanya.