Terdakwa rekayasa kepailitan minta perlindungan hukum
Selasa, 6 Juni 2023 21:17 WIB
Penasihat hukum Terdakwa kasus penggelapan sertifikat tanah yang dilakukan dengan merekayasa perkara kepailitan, Agustinus Santoso, Osward Lawalata, saat sidang di PN Semarang, Selasa. (ANTARA/ I.C.Senjaya)
Semarang (ANTARA) - Terdakwa kasus penggelapan sertifikat tanah yang dilakukan dengan merekayasa perkara kepailitan, Agustinus Santoso, meminta perlindungan hukum karena kondisi yang dialaminya itu bisa saja terjadi kepada orang lain.
"Kejadian yang dialami terdakwa ini akan membuat orang menjadi takut membeli tanah yang menjadi jaminan di bank," kata penasihat hukum terdakwa, Osward Lawalata, dalam sidang dengan agenda eksepsi atas dakwaan jaksa di PN Semarang, Selasa
Perkara yang menjerat terdakwa itu bermula ketika dirinya membeli sebidang tanah di Jalan Tumpang Raya seluas 2.285 meter persegi dari Agnes Siane.
Tanah atas nama Joe Kok Men, suami Agnes Siane itu, sebelumnya diagunkan di Bank Mayapada.
Tanah tersebut akhirnya dijual kepada terdakwa dengan harga Rp8 miliar yang sebagian digunakan untuk membayar utang di Bank Mayapada.
Dalam perjalanan waktu, lahan tersebut tidak bisa dibalik nama karena adanya permasalahan perdata antara keluarga Agnes Siane dengan Kee Foeh Lan, istri Kiantoro NanuDjojo yang tidak lain kakak Joe Kok Men.
Terdakwa yang tetap berkeinginan memiliki tanah dan bangunan tersebut, bersama saksi Agnes Siane diduga merekayasa permohonan pailit ke PN Semarang yang akhirnya dikabulkan.
Permohonan pailit tersebut dilakukan agar seolah-olah saksi Agnes Siane dan ahli waris Joe Kok Men memiliki utang kepada terdakwa dan tidak mampu membayar
Adapun tanah yang menjadi sengketa di Jalan Tumpang Raya Semarang tersebut dimasukkan dalam harta pailit.
Osward menambahkan dalam rangkaian peristiwa tersebut, terdakwa merupakan pembeli yang beritikad baik.
"Dakwaan jaksa tidak secara utuh menjelaskan peristiwa yang terjadi. Jaksa mendakwakan peristiwa yang tidak ada pidananya," katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Cokro Hendro Mukti itu.
Selain itu, lanjut dia, terdakwa yang dijerat bersama-sama dengan Agnes Siane dalam perkara itu tidak diadili secara bersamaan.
"Agnes Siane sudah diadili tiga tahun lalu, akibatnya terdakwa seolah-olah sudah diadili dan dinyatakan bersalah," katanya.
Oleh karena itu, ia meminta majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk menerima eksepsi terdakwa dan membebaskan dari segala dakwaan.
Terpisah, John Richard Latuihamallo, kuasa hukum Kwee Foeh Lan yang merupakan korban rekayasa kepailitan, menyebut terdakwa dalam perkara tersebut sebagai bagian dari tindak pidana yang dilakukan Agjes Siane yang sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap.
Ia menjelaskan terdakwa Antonius menunggu sekitar dua tahun untuk mengajukan kepailitan terhadap Agnes Siane setelah membeli lahan di Jalan Tumpang Raya, Kota Semarang.
"Terdakwa membeli tanah 2011, kemudian karena kesulitan membalik nama akhirnya mengajukan gugatan pailit pada 2013," katanya.
Menurut John, eksepsi tersebut seharusnya ditolak karena sudah masuk dalam pokok perkara.
"Kejadian yang dialami terdakwa ini akan membuat orang menjadi takut membeli tanah yang menjadi jaminan di bank," kata penasihat hukum terdakwa, Osward Lawalata, dalam sidang dengan agenda eksepsi atas dakwaan jaksa di PN Semarang, Selasa
Perkara yang menjerat terdakwa itu bermula ketika dirinya membeli sebidang tanah di Jalan Tumpang Raya seluas 2.285 meter persegi dari Agnes Siane.
Tanah atas nama Joe Kok Men, suami Agnes Siane itu, sebelumnya diagunkan di Bank Mayapada.
Tanah tersebut akhirnya dijual kepada terdakwa dengan harga Rp8 miliar yang sebagian digunakan untuk membayar utang di Bank Mayapada.
Dalam perjalanan waktu, lahan tersebut tidak bisa dibalik nama karena adanya permasalahan perdata antara keluarga Agnes Siane dengan Kee Foeh Lan, istri Kiantoro NanuDjojo yang tidak lain kakak Joe Kok Men.
Terdakwa yang tetap berkeinginan memiliki tanah dan bangunan tersebut, bersama saksi Agnes Siane diduga merekayasa permohonan pailit ke PN Semarang yang akhirnya dikabulkan.
Permohonan pailit tersebut dilakukan agar seolah-olah saksi Agnes Siane dan ahli waris Joe Kok Men memiliki utang kepada terdakwa dan tidak mampu membayar
Adapun tanah yang menjadi sengketa di Jalan Tumpang Raya Semarang tersebut dimasukkan dalam harta pailit.
Osward menambahkan dalam rangkaian peristiwa tersebut, terdakwa merupakan pembeli yang beritikad baik.
"Dakwaan jaksa tidak secara utuh menjelaskan peristiwa yang terjadi. Jaksa mendakwakan peristiwa yang tidak ada pidananya," katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Cokro Hendro Mukti itu.
Selain itu, lanjut dia, terdakwa yang dijerat bersama-sama dengan Agnes Siane dalam perkara itu tidak diadili secara bersamaan.
"Agnes Siane sudah diadili tiga tahun lalu, akibatnya terdakwa seolah-olah sudah diadili dan dinyatakan bersalah," katanya.
Oleh karena itu, ia meminta majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk menerima eksepsi terdakwa dan membebaskan dari segala dakwaan.
Terpisah, John Richard Latuihamallo, kuasa hukum Kwee Foeh Lan yang merupakan korban rekayasa kepailitan, menyebut terdakwa dalam perkara tersebut sebagai bagian dari tindak pidana yang dilakukan Agjes Siane yang sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap.
Ia menjelaskan terdakwa Antonius menunggu sekitar dua tahun untuk mengajukan kepailitan terhadap Agnes Siane setelah membeli lahan di Jalan Tumpang Raya, Kota Semarang.
"Terdakwa membeli tanah 2011, kemudian karena kesulitan membalik nama akhirnya mengajukan gugatan pailit pada 2013," katanya.
Menurut John, eksepsi tersebut seharusnya ditolak karena sudah masuk dalam pokok perkara.
Pewarta : Immanuel Citra Senjaya
Editor : Wisnu Adhi Nugroho
Copyright © ANTARA 2024