Semarang (ANTARA) - Haji merupakan ibadah multidimensional dan multisektoral. Secara multidimensional, haji merupakan ibadah yang utuh, yang melibatkan hati dalam menata niat, emosi, dan spiritual; optimalisasi fisik dalam ibadah yang membutuhkan mobilitas seperti tawaf, sai,  mabit, dan jumrah.

Dalam perkembangannya, ibadah haji tidak hanya berkaitan dengan tiga dimensi tersebut, tetapi membutuhkan ketahanan mental dan kestabilan spiritual. Seperti penantian antrean keberangkatan.

Di sinilah haji merupakan ibadah yang memiliki rangkaian penyelenggaraan terpanjang. Perspektif pelaksanaan haji dulu dengan sekarang sangat berbeda.

Dulu,  kemampuan ekonomi jamaah relatif berbeda, dan antrean terbatas. Sekarang, konteks berubah drastis. Haji adalah ibadah jangka panjang, memerlukan durasi waktu tak hingga. Bahkan, jika kita kalkulasi dari aspek waktu, mulai dari pendaftaran, penantian kuota, penerapan kuota, keberangkatan, pelaksanaan, dan kepulangan, berhaji termasuk ibadah yang membutuhkan waktu terpanjang. Relativitas ini tergantung antrean, kuota, dan kebijakan haji pemerintah Arab Saudi.

Dalam dimensi multisektoral, haji melibatkan sektor yang banyak, beragam, dan kompleks. Jika kita kategorisasikan dalam tahapan, setidaknya ada tahapan: pra-keberangkatan, persiapan, keberangkatan, pelaksanaan dan pemulangan. Masing-masing tahapan melibatkan lintas sektor. Beberapa individu dan lembaga seperti bank penerima setoran (BPS) syariah, BPS,  Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, KBIH, masyarakat, tokoh agama, keluarga, dan para pihak terkait terlibat dalam membantu mempersiapkan, mendampingi, dan mengantarkan keberangkatan jamaah haji.

Keterlibatan perbagai pihak menunjukkan haji tidak hanya ibadah personal atau kelompok, akan tetapi ibadah yang menggerakkan banyak orang (massa), lembaga, korporasi, industri, dan negara.

Keterlibatan massa dalam jumlah banyak perlu ditangani dengan profesional, sistematis, dan terkoordinasi dengan baik.

Jika kita lihat data kuantitatif, jumlah jamaah haji Indonesia tahun 2023 meningkat, menjadi berjumlah 229.000 orang. Kuota ini meningkat dari tahun sebelumnya, 2022, sejumlah 100.051 orang. Pada tahun 2010-2011 berjumlah 221.000 orang, 2012-2013 sejumlah 168.000 orang dan 2017-2019 ada 221.000 jemaah. Sementara saat pandemi, 2020-2021, tidak ada kuota.

Jumlah jamaah Indonesia termasuk terbanyak di antara negara lain di dunia.  Jika kita lihat data jumlah jamaah haji global,  tahun 1999-2021, jumlah terkecil berada pada saat pandemi pada tahun 2021 berjumlah 58.745 orang. Sementara jumlah terbesar tercatat pada tahun 2012 sebesar 3.161.573 (Salma Saleh: 2022). Jumlah ini berpotensi meningkat dari tahun ke tahun.

Jumlah jamaah yang banyak berpotensi menyebabkan kerumunan. Ketika kerumunan tidak dikelola dengan baik, maka bencana mengancam di depan pintu. Oleh karena itu, manajemen kerumunan (crowd management) dalam tata kelola pelaksanaan haji menjadi signifikan.

Pertama, kerumunan jamaah  haji memiliki kompleksitas luar biasa karena jamaah haji berasal dari negara yang beragam, yang memiliki budaya, nilai, dan tradisi yang berbeda ketika mereka melakukan aktivitas dan dimobilisasi saat di kerumunan. Pemahaman budaya dalam manajemen kerumunan menjadi signifikan untuk mengetahui budaya masing-masing jamaah haji secara kolektif, dalam hal bagaimana secara kultural mereka dapat diorganisasi secara efektif.

Kedua, keragaman level usia jamaah haji. Gap usia, dari yang muda sampai lansia cukup variatif. Perbedaan generasi memiliki konsekuensi perbedaan cara berkomunikasi, interaksi,  dan mekanisme layanan serta pendampingan.

Ketiga, kerumunan haji di Arab Saudi berhubungan dengan sektor transportasi, sarana prasarana, dan katering. Dalam hal tersebut, Kementerian  Agama tidak memiliki peran yang dominan karena tata kelola berada dalam otoritas pemerintah Arab Saudi. Koordinasi lintas sektor antara Kemenag, mitra di Arab Saudi dan jamaah haji menjadi kesuksesan.

Di antara capaian kesuksesan koordinasi lintas sektoral tersebut, pertama,  peningkatan Indeks Kepuasan Jemaah Haji (IKHJ) yang dilakukan oleh BPS, pada tahun 2022 mencapai 90,45 dengan kategori sangat memuaskan. Ini merupakan capaian tertinggi dari IKHJ sejak tahun 2010. Komitmen Menteri Agama dan seluruh pihak dalam menyiapkan layanan haji dengan baik.

Pada tahun 2023, ada beberapa inovasi yang layak diapresiasi. Pertama, pendampingan terhadap lansia. Lebih dari tiga puluh persen jamaah haji Indonesia berusia di atas 65 tahun. Inovasi ini dilakukan dengan matang, dengan melakukan kajian yang melibatkan ahli geriatri,  buku panduan manasik untuk lansia, pendamping lansia, transportasi untuk lansia,  ruang tunggu khusus, dan  layanan kesehatan prioritas.

Kedua, layanan antar obat. Layanan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi jamaah untuk mendapatkan akses kesehatan.  Harapannya, proses penyembuhan jamaah haji yang sakit bisa lebih cepat dan mampu melaksanakan ibadah dengan optimal.

Ketiga, layanan pengalaman beribadah. Layanan izin akses ke Raudhah difasilitasi Daerah Kerja (Daker) Madinah untuk mendapatkan jadwal kunjungan. Ini adalah salah satu bentuk dari penerapan manajemen kerumunan dalam kunjungan ke Raudah. Kerja sama Daker dengan pemerintah Arab Saudi menjadi contoh baik (best practice) yang bisa dikembangkan dalam sektor lain.

Dalam manajemen kerumunan haji, ada tiga hal yang perlu menjadi sasaran utama dalam pengembangan layanan terhadap jamaah haji: keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.

Tujuannya adalah memberikan pengalaman beribadah yang nyaman, aman, dan selamat sehingga ibadah haji tidak hanya bertujuan untuk meraih derajat mabrur sebagai capaian spiritual, akan tetapi juga meraih kenyamanan yang meningkatkan kekhusukan dalam ibadah, mendapatkan jaminan keamanan, dan keselamatan dari potensi negatif kerumunan yang tidak ditata secara baik, seperti penumpukan jamaah, keterlambatan transportasi, dan konsumsi, bahkan dampak terburuk korban jiwa.

Kasus tata kelola jamaah haji yang melibatkan masyariq menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Arab Saudi untuk melakukan evaluasi dan kajian sistematis, agar kesalahan yang sama tidak terulang. Masukan dari pelbagai pihak, seperti dari DPR, Kementerian Agama, dan jamaah akan sangat membantu mengurai persoalan tersebut.

Ada beberapa strategi yang mungkin bisa diinisiasi secara kolaboratif untuk transformasi manajemen kerumunan haji secara berkelanjutan. Pertama, memastikan kesiapan masyariq sebagai organizer dalam mengatur kerumunan haji. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh masyariq secara komprehensif, seperti dalam tata kelola transportasi. Pemetaan jumlah jamaah,  armada, kapasitas, rute,  jalan, potensi kemacetan, dan mitigasi keterlambatan transportasi.

Hal ini secara teoritis tampak sederhana, akan tetapi di lapangan, kompleksitasnya sering tidak terduga. Mitigasi dampak terburuk bisa disimulasikan dengan menghitung secara detail tentang bagaimana moda transportasi mampu memindahkan jamaah haji, khususnya saat di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Penyediaan armada saja tidak cukup, upaya untuk rekayasa rute lalu lintas, ukuran  jalan; pemetaan jadwal (kedatangan armada, keberangkatan, dan puncak permintaan); informasi populasi dan mobilitas (jumlah penumpang,  usia, jenis kelamin, perilaku mobilitas); dan penggunaan teknologi pengatur mobilitas armada,  mitigasi kedaruratan perlu dipersiapkan.

Selain itu, pembangunan infrastruktur transportasi baru yang memudahkan jamaah melakukan mobilisasi secara cepat dan nyaman juga perlu dipertimbangkan. Apalagi haji merupakan ibadah tahunan.

Jika pembangunan kereta api cepat Makkah-Madinah bisa menjadi inovasi peningkatan akses transportasi cepat yang menyingkat waktu perjalanan dengan jaminan kenyamanan dan keamanan, maka inovasi pembangunan moda transportasi massal di Arafah, Muzdalifah, dan Mina bisa menjadi prioritas juga.

Kedua, organizer perlu meminimalisasi risiko jika kondisi darurat terjadi. Beberapa hal bisa dilakukan adalah  dengan menyiapkan rencana evakuasi,  penentuan prosedur dalam situasi darurat, dan simulasi dampak negatif dari kerumunan. Sebagai  ilustrasi, ketika jumlah sarana MCK kurang yang mengakibatkan penumpukan antrian yang berdampak pada ketidaknyamanan,  maka organizer bisa segera melakukan penambangan toilet portabel.

Ketiga, kolaborasi. Pemerintah Arab Saudi dan para mitra dari seluruh dunia bisa duduk bersama melakukan evaluasi dan pengembangan haji dengan pendekatan tourist management. Karena haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam sedunia, maka  pelibatan dalam riset, bahkan investasi kolaboratif dengan negara-negara mitra haji dalam bentuk konsorsium manajemen haji global, menjadi urgen diimplementasikan.


* Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag. adalah Rektor UIN Walisongo Semarang