Pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah akan menggelar kajian kebangsaan di Kota Surakarta untuk menangkal paham radikal dan intoleransi di kalangan masyarakat.
"Saya dapat perintah dari Pak Presiden (Joko Widodo) melalui Mensesneg (Pratikno) untuk melakukan kajian kebangsaan di sekolah, perguruan tinggi, dan masyarakat. Namanya gerakan moderasi, berbangsa, dan beragama yang happy dan menyenangkan," kata Miftah usai bertemu Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka di Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa.
Miftah mengatakan salah satu prioritas penyelenggaraan acara tersebut ialah di wilayah Solo Raya. Di Kota Surakarta, Miftah meminta Gibran untuk memfasilitasi acara tersebut.
"Saya ingin pelajar di Solo bisa Mas Wali (Gibran) kumpulkan dan ada dialog kebangsaan di situ," tambahnya.
Meskipun kasus intoleransi dan radikalisme di Solo cenderung rendah, menurut Miftah tetap perlu ada upaya bersama antara tokoh agama dengan pemerintah daerah setempat agar isu intoleransi dan radikalisme tidak menjalar ke mana-mana.
"Hari ini, yang jadi sasaran siswa dan mahasiswa. Itu merupakan magnet yang luar biasa untuk kita bentengi," katanya.
Sesuai dengan arahan Presiden Jokowi, Miftah menyebutkan salah satu program yang diusung dalam kajian kebangsaan itu adalah bagaimana sikap berbangsa dan bernegara secara moderat.
"Orang bilang Gus Miftah Jokower banget, tapi beberapa kebijakan Pak Presiden juga saya berani kritik kok untuk kebaikan, tentu dengan cara baik," imbuhnya.
Menurut dia, yang menjadi masalah justru sebagian orang ketika melakukan protes tidak mengedepankan etika, bahkan cenderung mencaci maki.
"Itu bukan ajaran agama. Makanya, kalau tidak sepakat harusnya sampaikan kritik dengan cara baik. Saya melihat di Indonesia orang kalau sudah senang, seburuk apa pun dianggap baik; tapi kalau sudah benci, sebaik apa pun dianggap buruk. Itu kan tidak moderat," jelasnya.
Begitu pula soal perbedaan pilihan politik. Menurut Miftah, masyarakat tidak perlu saling menjelek-jelekkan pilihan orang lain.
"Untuk menghadapi momentum emas, harus rukun. Jangan pilpres lima tahunan, justru mengoyak. Kami sudah tidak mau kejadian seperti Pilpres 2019, (di mana) polarisasi yang sangat tidak nyaman, sebagai dai selalu dicurigai ini pendukung siapa," katanya.
Sementara itu, terkait kajian kebangsaan itu, Gibran mengatakan pihaknya menunggu arahan selanjutnya.
"Saya nunggu arahan aja. Nanti kami kumpulkan anak-anak sekolah, kami ramaikan. Sekarang kan Solo masuk sebagai kota paling toleran nomor empat. Kami ingin (jadi) nomor satu. Dengan bantuan njenengan (Gus Miftah)," kata Gibran.
Baca juga: Gus Miftah akui kontribusi Pertamina jaga kedaulatan energi bangsa "Saya dapat perintah dari Pak Presiden (Joko Widodo) melalui Mensesneg (Pratikno) untuk melakukan kajian kebangsaan di sekolah, perguruan tinggi, dan masyarakat. Namanya gerakan moderasi, berbangsa, dan beragama yang happy dan menyenangkan," kata Miftah usai bertemu Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka di Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa.
Miftah mengatakan salah satu prioritas penyelenggaraan acara tersebut ialah di wilayah Solo Raya. Di Kota Surakarta, Miftah meminta Gibran untuk memfasilitasi acara tersebut.
"Saya ingin pelajar di Solo bisa Mas Wali (Gibran) kumpulkan dan ada dialog kebangsaan di situ," tambahnya.
Meskipun kasus intoleransi dan radikalisme di Solo cenderung rendah, menurut Miftah tetap perlu ada upaya bersama antara tokoh agama dengan pemerintah daerah setempat agar isu intoleransi dan radikalisme tidak menjalar ke mana-mana.
"Hari ini, yang jadi sasaran siswa dan mahasiswa. Itu merupakan magnet yang luar biasa untuk kita bentengi," katanya.
Sesuai dengan arahan Presiden Jokowi, Miftah menyebutkan salah satu program yang diusung dalam kajian kebangsaan itu adalah bagaimana sikap berbangsa dan bernegara secara moderat.
"Orang bilang Gus Miftah Jokower banget, tapi beberapa kebijakan Pak Presiden juga saya berani kritik kok untuk kebaikan, tentu dengan cara baik," imbuhnya.
Menurut dia, yang menjadi masalah justru sebagian orang ketika melakukan protes tidak mengedepankan etika, bahkan cenderung mencaci maki.
"Itu bukan ajaran agama. Makanya, kalau tidak sepakat harusnya sampaikan kritik dengan cara baik. Saya melihat di Indonesia orang kalau sudah senang, seburuk apa pun dianggap baik; tapi kalau sudah benci, sebaik apa pun dianggap buruk. Itu kan tidak moderat," jelasnya.
Begitu pula soal perbedaan pilihan politik. Menurut Miftah, masyarakat tidak perlu saling menjelek-jelekkan pilihan orang lain.
"Untuk menghadapi momentum emas, harus rukun. Jangan pilpres lima tahunan, justru mengoyak. Kami sudah tidak mau kejadian seperti Pilpres 2019, (di mana) polarisasi yang sangat tidak nyaman, sebagai dai selalu dicurigai ini pendukung siapa," katanya.
Sementara itu, terkait kajian kebangsaan itu, Gibran mengatakan pihaknya menunggu arahan selanjutnya.
"Saya nunggu arahan aja. Nanti kami kumpulkan anak-anak sekolah, kami ramaikan. Sekarang kan Solo masuk sebagai kota paling toleran nomor empat. Kami ingin (jadi) nomor satu. Dengan bantuan njenengan (Gus Miftah)," kata Gibran.