Aksi tersebut menjadi pilihan para buruh sebagai ajang untuk menyalurkan aspirasi mereka dan selalu berulang setiap tahun dengan aspirasi yang sama, yakni menuntut kenaikan besaran upah yang akan mereka terima.

Nyaris setiap proses penetapan UMK setiap tahun diwarnai aksi demonstrasi buruh.

Padahal seharusnya, melalui dewan pengupahan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan UMK dapat diselesaikan sehingga tidak perlu para buruh turun ke jalan.

Meskipun aksi buruh berlangsung damai, tetapi dapat dipastikan menguras tenaga, waktu, dan pikiran dari para buruh.

Tidak hanya buruh, tetapi para pengusaha tentu akan merasakan kerugian karena pekerjanya berpartisipasi ikut demonstrasi.

Lalu sebenarnya apa yang menjadi pokok permasalahan setiap akan dilakukan pengajuan dan penetapan UMK, apakah sekadar soal angka atau yang lain?

Pangkal Sengkarut
Tidak adanya kesamaan dasar penentuan penetapan UMK antara buruh dan pengusaha sejatinya menjadi pangkal musabab dari sengkarut penetapan UMK.

Dasar yang digunakan buruh adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17/2005 yang menyebutkan bahwa salah satu komponen dalam survei kebutuhan hidup layak menggunakan minyak tanah.

Sedangkan anggota Dewan Pengupahan Kota Semarang dari unsur pengusaha menggunakan komponen kompor gas berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja yakni SE Dirjen PHI Jamsos No B 149/PHIJSK/III/2010 yang mengubah poin komponen minyak tanah itu menjadi gas.

Perbedaan dasar penetapan yang digunakan, mengakibatkan besaran UMK yang diusulkankan pun tidak pernah sama. Besaran UMK yang diajukan pekerja selalu ada selisih lebih besar ketimbang hitungan pengusaha.

Pada tahun 2011, pekerja dari Aliansi Gerakan Buruh Semarang (Gerbang) yang terdiri atas 16 elemen buruh dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengusulkan penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Semarang 2012 sebesar Rp1.419.498 per bulan.

Usulan penetapan UMK itu didasarkan pada kebutuhan riil hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada bulan September tahun 2011 sebesar Rp1.351.903 dan ditambah prediksi laju inflasi 2012 sebesar lima persen.

Hitung-hitungan KHL tersebut menggunakan komponen minyak tanah, bukan konversi gas.

Angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil survei dari Dewan Pengupahan yang angkanya hanya Rp981.000, menggunakan komponen kompor gas dan tidak ditambah perkiraan laju inflasi tahun depan.

Hasil itu menggunakan angka hasil survei rata-rata, yakni survei dari Januari sampai Agustus, kemudian untuk September sampai Desember diprediksi, lalu muncul angka yang kemudian dibagi 12, sehingga dihasilkan UMK sebesar Rp981.000.

UMK Kota Semarang untuk Tahun 2012 akhirnya ditetapkan di angka Rp991.500, lebih besar Rp10 ribu dari usulan pengusaha.

Untuk UMK 2013, pemerintah kabupaten/kota kembali diminta mengajukan usulan UMK yang menjadi bahan Dewan Pengupahan Propinsi untuk menetapkan UMK.

Dalam proses pengusulan ke Dewan Pengupahan Propinsi, buruh mengusulkan UMK Kota Semarang tahun 2013 Rp1,7 juta (survei dengan komponen minyak tanah).

Kepala Bidang Advokasi DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jateng Slamet Kaswanto yang juga anggota Dewan Pengupahan dari unsur pekerja mengatakan angka Rp1,7 juta tersebut merupakan hasil pertimbangan dari kebutuhan hidup layak (KHL) bulan Desember 2012 dan lainnya.

Buruh menuntut agar penghitungan UMK didasarkan pada survei minyak tanah, didasarkan pada KHL bulan Desember 2012, dan ada prediksi inflasi untuk tahun 2013.

Sementara itu, pihak pengusaha menyatakan bahwa dari lima pasar tradisional tempat survei, keberadaan minyak tanah sudah tidak ada.

"Barang yang sudah tidak ada di pasar, maka tidak bisa digunakan sebagai acuan," kata Ketua Dewan Pengurus Apindo Kota Semarang Supandi.

Ia menegaskan bahwa minyak tanah yang saat ini tidak lagi menjadi barang subsidi sudah menjadi barang langka di pasar tradisional.

Menurut Supandi, Kota Salatiga dan Kabupaten Demak, misalnya, sudah menghilangkan komponen minyak tanah dalam penetapan UMK.

Pengusaha Kota Semarang berharap ada revisi terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17/2005 yang menyebutkan bahwa komponen yang digunakan adalah minyak tanah (sudah ada wacana akan ada revisi pada tahun ini).

Supandi berharap revisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja segera keluar sehingga permasalahan yang selalu muncul setiap tahun dapat berakhir.

Pihak pengusaha, kata Supandi, memperkirakan besaran UMK Kota Semarang Tahun 2013 berkisar Rp1.050.000 hingga Rp1.100.000.

Duduk Bersama
Menyikapi adanya perbedaan acuan yang digunakan untuk mengajukan dan menetapkan UMK Kota Semarang, Ketua Dewan Pengupahan Kota Semarang Gunawan Saptogiri mengusulkan survei menggunakan dua dasar hukum yang ada, yakni menggunakan komponen minyak tanah dan gas.

Hasil survei akan ada dua angka, dan hal tersebut sebagai antisipasi jika ada revisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 17 Tahun 2005.

Akan tetapi jika kemudian tidak ada revisi, Gunawan mengusulkan agar seluruh anggota dewan pengupahan yang terdiri atas nsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja, duduk bersama atau tripartit untuk mencari kesepakatan.

"Nanti akan ada pertemuan tripartit dan salah satunya akan mencari kesepakatan tentang permasalahan tersebut," kata Gunawan.

Jika kemudian sampai mendekati pengajuan UMK ternyata tidak ada revisi regulasi dari pemerintah pusat, Gunawan mengusulkan hasil survei yang menggunakan gas dan minyak tanah tersebut digabung, kemudian dibagi dua.

Gunawan menegaskan bahwa seluruh keputusan merupakan kesepakatan bersama. Oleh karena itu, tergantung dari pertemuan tripartit.

Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang Anang Budi Utomo menilai bahwa Dewan Pengupahan Kota Semarang dalam pertemuan tripartit harus menyelesaikan pokok permasalahan yang menjadi sumber perselisihan.

"Jangan sampai muncul usulan besaran UMK Kota Semarang tanpa dasar yang pasti. Seluruh usulan harus ada landasan hukumnya, tidak sekadar mengedepankan kemauan," katanya.

Sementara itu ekonom dari Universitas Stikubank Semarang Alimuddin Rizal Rifai berpendapat bahwa prinsip rasionalisasi dalam penentuan UMK diperlukan dan tidak karena keberpihakan pada salah satu pihak.

"Kalau berpihak kepada pengusaha bahaya, begitu juga tidak bisa UMK hanya berpihak kepada buruh sehingga dapat merugikan pengusaha. Apalagi pengusaha masih ada beban untuk biaya operasional dan lain sebagainya," katanya.

Menurut dia, besaran UMK juga jangan sampai merugikan buruh sehingga berdampak buruh tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Penyeragaman indikator dalam survei standar kebutuhan hidup layak untuk menentukan standar upah pekerja itulah yang sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah terbesar setiap tahun dan harus ada solusi.

Kesepakatan tersebut tentu akan dapat menghindari adanya persepsi membela kepentingan tertentu. Jangan sampai UMK terlalu tinggi karena dapat membahayakan sektor informal.

Oleh karena itu, perselisihan dalam menentukan indikator kebutuhan hidup layak harus segera ada titik temu, agar tidak lagi menjadi alasan bagi buruh untuk melakukan aksi demonstrasi pada tahun-tahun mendatang.