"Ini persoalan serius. Mahasiswa yang masih melakukan kekerasan dan tawuran, sesungguhnya gagal menjadi manusia dewasa," katanya, di Semarang, Sabtu, menanggapi masih terjadinya tawuran, baik di kalangan pelajar maupun mahasiswa.

Hal tersebut diungkapkannya di sela diskusi panel "Transformasi Kearifan Budaya Lokal Menghadapi Tantangan Global" yang diprakarsai Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) bertempat di Universitas Diponegoro Semarang.

Pada abad 21 ini, ungkap Frans, seharusnya tidak ada lagi yang menjadikan kekerasan sebagai penyelesaian, dan mereka yang masih menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar berarti melakukan tindakan yang memalukan.

"Dalam aksi tawuran, mereka ini main asal pukul, asal lempar, dan bunuh orang. Namun, kan tidak semua mahasiswa melakukan tawura, misalnya di Jakarta, kemudian baru-baru saja terjadi di Makassar," katanya.

Karena itu, kata dia, pimpinan perguruan tinggi, dalam kaitan ini rektor harus bersikap tegas dengan mengeluarkan mahasiswa yang terlibat tawuran sebagai pembelajaran agar tidak ditiru oleh adik-adik kelasnya.

"Kalau saya jadi Rektor, jika ada mahasiswa terlibat tawuran harus 'out'. Karena, mereka terbiasa melakukan pekerjaan yang menggunakan tangan (kekerasan, red.). Mau jadi apa mereka kalau seperti itu," katanya.

Namun, Magnis mengatakan persoalannya akan berbeda jika yang terlibat tawuran adalah pelajar, seperti sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) karena permasalahan yang dihadapi lebih kompleks.

"Mereka ini (anak SMP dan SMA, red.) kan belum dewasa sehingga jauh lebih kompleks. Perlu psikolog yang mengajak mereka bicara kenapa suka berkelahi, mungkin anak-anak ini belum memiliki visi dan cita-cita ke depan," katanya.

Ia menilai aksi tawuran yang terjadi akhir-akhir ini sudah sangat mengkhawatirkan, terutama tidak adanya lagi nilai ksatria, misalnya ada lawan yang sudah jatuh masih saja diinjak-injak, dipukuli, dan ditusuk.

"Dalam militer saja, di tengah peperangan, jika ada musuh yang tertangkap pun harus diperlakukan dengan baik. Melihat tawuran sekarang ini, sudah terjadi defisit kepribadian. Tidak ada lagi kepribadian dan etika," kata Frans.