Hal ini disebabkan sebagian wilayah Cilacap turut terkena dampak bencana tsunami yang dipicu oleh gempa bumi berkekuatan 6,8 skala Richter (SR) yang berpusat di perairan selatan Pangandaran, Jawa Barat.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap yang saat itu masih ditangani oleh Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpolinmas), bencana tsunami tersebut mengakibatkan 155 warga Cilacap meninggal dunia dan 10 orang hilang serta menimbulkan kerugian sekitar Rp34 miliar.

Bencana tersebut memorakporandakan sisi selatan Pulau Nusakambangan yang merupakan "benteng" Kota Cilacap serta sejumlah wilayah di pesisir selatan Cilacap, seperti Bunton dan Widarapayung.

Oleh karena itu, sejumlah warga Cilacap khawatir bencana tsunami kembali menerjang kabupaten ini lantaran selama 2012 sangat jarang terjadi gempa yang dirasakan warga setempat.

"Dalam satu tahun ini, perasaan hanya terjadi beberapa kali gempa yang dapat dirasakan di Cilacap. Itu pun pusat gempanya jauh dari Cilacap," kata seorang warga Kecamatan Adipala, Anto (36) di Cilacap, Jumat.

Menurut dia, gempa yang dapat dirasakan beberapa warga Cilacap terakhir terjadi pada hari Kamis (1/11) sekitar pukul 21.12 WIB yang berkekuatan 5,8 SR dengan pusat gempa di Cianjur, Jabar.

"Gempa yang sangat kuat dirasakan di Cilacap terakhir terjadi pada tanggal 4 April 2011 yang berkekuatan 7,1 SR sehingga banyak warga yang berlarian mengungsi karena khawatir terjadi tsunami seperti 2006," katanya.

Dia mengaku khawatir sewaktu-waktu bencana tsunami kembali melanda Cilacap karena selama 2012 jarang terjadi gempa yang dirasakan warga kabupaten ini.

Kendati tidak menimbulkan tsunami, gempa berkekuatan 7,1 SR yang terjadi pada tanggal 4 April 2011 tersebut sempat menimbulkan kepanikan warga, terutama di wilayah Kota Cilacap, karena saat itu kebakaran besar melanda sejumlah tangki di area Pertamina Refinery Unit IV Cilacap sehingga arus pengungsian pun terjadi secara besar-besaran menuju Bandara Tunggul Wulung Cilacap di Kecamatan Jeruklegi.

Terkait dengan kekhawatiran warga tentang gempa yang jarang terjadi, analis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Cilacap Teguh Wardoyo mengatakan bahwa di perairan selatan Cilacap sebenarnya sering terjadi gempa meskipun tidak dapat dirasakan warga.

"Sebenarnya, setiap bulannya ada gempa di perairan selatan Cilacap. Namun, skalanya kecil sehingga tidak dapat dirasakan warga, sedangkan gempa yang dapat dirasakan warga selama 2012 ini pusatnya bukan di perairan selatan Cilacap," katanya.

Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir terhadap kemungkinan terjadinya pengumpulan tenaga sehingga mengakibatkan gempa yang sangat kuat dan berpotensi tsunami.

"Yang perlu dikhawatirkan jika dalam beberapa bulan sama sekali tidak tercatat adanya gempa," katanya.

Ia mengatakan bahwa wilayah Cilacap termasuk daerah rawan bencana tsunami karena posisinya sangat dekat dengan pertemuan lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia atau hanya berjarak sekitar 250 kilometer dari Cilacap.

Menurut dia, ancaman tsunami terbesar bagi Kota Cilacap jika bencana tersebut datangnya dari arah timur karena dapat masuk ke Teluk Penyu tanpa adanya penghalang.

"Saat masuk Teluk Penyu, jalurnya sempit sehingga gelombang yang terjadi dapat semakin tinggi," katanya.

Menurut dia, kondisi tersebut akan berbeda jika gelombang tsunami datang dari arah barat karena terhalang oleh Pulau Nusakambangan sehingga tidak menghantam wilayah Kota Cilacap.

Kendati demikian, dia mengatakan bahwa gelombang tsunami yang menghantam Pulau Nusakambangan akan memantul ke arah timur seperti yang terjadi pada tahun 2006 sehingga memorakporandakan wilayah timur Kabupaten Cilacap, seperti Widarapayung.

Secara terpisah, Kepala Pelaksana Harian BPBD Cilacap Wasi Ariyadi mengatakan bahwa indeks rawan bencana Indonesia (IRBI) yang dipublikasikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Cilacap menempati peringkat ketiga secara nasional dan posisi pertama di Jateng sebagai kabupaten dengan tingkat kerawanan bencana karena mencapai skor 132.

Menurut dia, peringkat tersebut berdasarkan akumulasi multibencana (multi-hazard) secara nasional, dan Cilacap berada pada posisi keempat untuk ancaman bencana gempa bumi dan tsunami, peringkat keempat untuk bencana angin kencang, dan peringkat keempat untuk bencana kekeringan.

Khusus untuk ancaman bencana tsunami, kata dia, wilayah pesisir Kabupaten Cilacap yang memiliki garis pantai sekitar 150 kilometer, termasuk wilayah dengan kategori berisiko sangat tinggi karena sekitar 92 ribu jiwa penduduknya bermukim di wilayah pesisir.

Oleh karena itu, lanjut dia, Pemerintah Kabupaten Cilacap bersama BPBD telah menyusun rencana penanggulangan bencana tsunami yang diuji melalui kegiatan Geladi Lapangan Tsunami pada hari Jumat (2/11) yang melibatkan sekitar 4.000 warga dan 500 personel dari berbagai instansi dan organisasi.

Ia mengatakan bahwa kegiatan ini sebagai upaya melatih kesiapsiagaan seluruh komponen masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami.

"Kami sengaja menggelar kegiatan ini pada hari Jumat Kliwon karena nelayan Cilacap selalu libur melaut pada hari itu," katanya.

Menurut dia, pihaknya juga telah menyusun jaringan komunikasi dan memasang berbagai peralatan terkait dengan peringatan dini bencana tsunami.

"Kami juga telah menjalin kerja sama dengan pengelola gedung bertingkat di Cilacap agar tempatnya dapat dijadikan sebagai lokasi evakuasi vertikal. Hingga saat ini, telah ada 44 gedung bertingkat di Cilacap yang telah dikerjasamakan," katanya.

Menyinggung mengenai kemungkinan adanya kajian "second-hazard" atau bencana kedua sebagai dampak dari bencana pertama lantaran di Cilacap banyak terdapat pipa bawah tanah milik Pertamina Refinery Unit IV Cilacap, Wasi mengatakan bahwa kajian tersebut belum dilakukan secara khusus.

"Kami telah melakukannya tapi belum secara khusus," katanya.

Sekretaris BPBD Cilacap Kun Nasyton mengatakan, di Cilacap yang merupakan wilayah berisiko tinggi terhadap bencana tsunami terdapat sejumlah objek vital nasional, antara lain, Pertamina RU IV Cilacap, Pabrik Semen Holcim, dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Oleh karena itu, kata dia, BPBD Cilacap memetakan potensi tsunami sebagai salah satu upaya mengurangi risiko dan ancaman kerugian akibat bencana tersebut.

Selaian itu, lanjut dia, BNPB pada tahun 2013 akan membangun "escape building" atau "shelter" tempat penampungan dan perlindungan warga yang dievakuasi jika terjadi bencana tsunami.

"Bangunan bertingkat tersebut menggantikan rencana pembangunan bukit terbuka hijau yang diusulkan Pemerintah Kabupaten Cilacap sebagai tempat evakuasi warga. Rencananya, bangunan ini akan dibangun di tanah bengkok belakang SMA Muhammadiyah Cilacap di Jalan Kalimantan," katanya.

Secara terpisah, Kepala Lakhar BPBD Jateng Sarwa Pramana mengatakan bahwa pemerintah melalui BNPB akan membangun "shelter" evakuasi di Cilacap.

Menurut dia, pembangunan "shelter" tersebut ada dua jenis, yakni dalam bentuk bangunan dan berbentuk bukit hijau.

"Sementara konsepnya masih dua, yaitu bangunan dan bukit hijau. Rencana tahun ini desainnya sudah harus jadi sehingga tahun depan sudah dapat dibangun," kata dia di sela kegiatan Geladi Lapangan Tsunami di Cilacap.

Ia mengatakan bahwa pihaknya sudah mengecek lokasi dan konsultan juga telah melakukan survei.

"Kepala BNPB akan langsung mengecek lapangan. Perintah langsung Presiden itu (pembangunan 'shelter' tsunami, red.)," katanya.

Di bagian lain, Sarwa mengatakan bahwa BPBD Cilacap merupakan BPBD terbaik dan memiliki empat unit pelaksana teknis dan banyak kucuran dana bantuan yang diterima lembaga ini.

Sementara itu, Public Relations Section Head Pertamina RU IV Cilacap Sundoro Ribudhy mengatakan bahwa Pertamina telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi ancaman bencana tsunami.

"Semua bangunan kilang dan gedung pengendali di RU IV Cilacap sudah menggunakan konstruksi tahan gempa 9 SR," katanya.

Menurut dia, pihaknya juga sedang menyiapkan pusat komando dan pengendalian (puskodal) guna mengantisipasi berbagai kemungkinan, termasuk bencana tsunami.

Berdasarkan catatan ANTARA, daerah bahaya tsunami di Kabupaten Cilacap pada tahun 2009 dipetakan melalui kerja sama riset dalam kerangka GITEWS (German-Indonesia Tsunami Early Warning System) dimotori oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Deutsches Zentrum fur Luft-und Raumfahrt (DLR), dan United Nations University (UNU).

Saat itu, peneliti dari Institute for Environment dan Human Security (UNU-EHS) Widjo Kongko mengatakan, dalam kajian model tsunami di Cilacap menggunakan skenario terburuk "Moment Magnitude" (Mw) 8.0 pada pasang surut rerata, terdapat 23 desa di enam kecamatan terendam tsunami dengan tinggi air bervariasi dari beberapa sentimeter hingga lebih dari 8 meter di daerah pantai.

Menurut dia, penetrasi tsunami ke daratan juga bervariasi, yakni dari beberapa puluh meter hingga lebih dari 3,5 kilometer di daerah bantaran Sungai Serayu.

Daerah terendam dari terparah hingga teringan berada di tujuh desa di Kecamatan Adipala, enam desa di Kecamatan Binangun, empat desa di Kecamatan Nusawungu, tiga desa di Kecamatan Kesugihan, dua kelurahan di Kecamatan Cilacap Selatan, dan satu kelurahan di Kecamatan Cilacap Utara.

"Total wilayah terendam di daerah tersebut luasnya lebih dari 35 kilometer persegi. Daerah paling rawan di Desa Bunton (Adipala), Widarapayung (Binangun), dan Jetis (Nusawungu)," kata Widjo di Cilacap, 11 Agustus 2009.

Sementara untuk kondisi pasang surut tinggi, kata dia, tsunami akan merendam 34 desa di tujuh kecamatan dengan aliran bervariasi dari beberapa sentimeter hingga 9 meter di daerah pantai.

Menurut dia, penetrasi tsunami ke daratan bervariasi dan dapat mencapai lebih dari 6 kilometer di daerah bantaran Sungai Serayu.

Pada kondisi tersebut, daerah rendaman akan terjadi pada sembilan desa di Kecamatan Adipala, tujuh desa di Kecamatan Binangun, serta Kecamatan Kesugihan, Cilacap Tengah, dan Nusawungu masing-masing empat desa, serta Cilacap Selatan dan Cilacap Utara masing-masing tiga desa.

Ia mengatakan bahwa luas daerah terendam mencapai lebih dari 59 kilometer persegi.

"Berkaitan waktu tempuh dari sumbernya, tsunami mencapai daerah pantai berkisar antara 50--55 menit setelah gempa, dan dalam waktu sekitar 40 menit berikutnya telah merendam daerah dengan luasan yang telah saya sampaikan," katanya.

Dalam kesempatan berbeda, peneliti dari Deutshes Zentrum fur Luft-und Raumfarht (DLR) Joachim Post mengatakan bahwa ancaman bencana tsunami di Kabupaten Cilacap berada pada tingkatan medium.

"Cilacap berada pada tingkatan medium jika dibanding dengan Padang, Sumatera Barat. Padang merupakan daerah berisiko gempa bumi sehingga jika terjadi gempa di laut dengan kedalaman tertentu berpotensi mengakibatkan tsunami," kata Joachim di Cilacap, 1 Desember 2009.

Menurut dia, ada satu keuntungan bagi Cilacap, yakni terlindungi oleh Pulau Nusakambangan saat gempa di Pangandaran yang mengakibatkan tsunami pada tahun 2006.

Akan tetapi, kata dia, kejadiannya akan lain jika tsunami datang dari arah timur dan dampaknya pun akan berbeda.

"Kalau kita lihat banyak pipa-pipa Pertamina di tepi-tepi sungai di sana (sebelah timur, red.). Padahal muara-muara yang besar merupakan jalur yang nyaman bagi tsunami untuk masuk ke daratan sehingga akan membahayakan pula bagi perusahaan-perusahaan besar di Cilacap," katanya.

Selain itu, kata dia, ancaman tsunami di wilayah selatan Jawa (Cilacap) dan barat Sumatra (Padang) berbentuk tsunami lokal karena waktunya sangat pendek, yakni waktu terjadinya gempa hingga datangnya tsunami sekitar 50 menit.

Menurut dia, waktu tersebut akan dipotong lima menit oleh BMKG untuk menganalisis data yang akan diformulasikan sebagai peringatan dini.