Dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Akan tetapi, amanat UUD 1945 tersebut menurut sejumlah pengamat perminyakan, belum bisa terwujud karena sebagian besar ladang minyak dan gas bumi Indonesia justru dikelola oleh asing.

Apalagi semenjak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diberlakukan, peran Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebelumnya menjadi operator dan regulator dalam pertambangan minyak dan gas bumi dipersempit.

Dengan demikian, sejak saat itu Pertamina hanya bertindak sebagai operator, sedangkan regulatornya ada pada Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas).

Oleh karena itu, 30 tokoh masyarakat dan 12 ormas di antaranya Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Salahuddin Wahid, Laode Ida, Hendri Yosodiningrat, dan A.M. Fatwa mengajukan uji materiil terhadap UU Migas kepada Mahkamah Konstitusi.

Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.

Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 13 November 2012 akhirnya memutuskan pasal-pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.

Kendati MK telah memutuskan bahwa sejumlah pasal dalam UU Migas bertentangan dengan UUD, pemerintah setelah membubarkan BP Migas justru membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi atau yang biasa disebut dengan SKK Migas.

Keberadaan SKK Migas ini dinilai sama halnya dengan BP Migas karena masih menempatkan posisi Pertamina hanya sebagai operator karena yang berhak membuat hingga menandatangani kontrak adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sedangkan pengawas kontrak itu adalah SKK Migas.

Corporate Business Development PT Pertamina (Persero) Bayu Kristanto mengatakan, saat ini, cadangan minyak di Indonesia sudah terbatas atau sekitar 860.000 "barrels oil per day" (bopd).

"Harus bagaimana untuk memaksimalkan minyak yang semakin rendah ini? Undang-Undang Migasnya seperti apa? Kalau saya punya otoritas membuat undang-undang, saya bisa buatkan, gampang sekali," katanya saat menjadi pembicara pada Seminar Mengenal Industri Perminyakan yang digelar Public Relation Section Head Pertamina Refinery Unit IV Cilacap di Hotel Aston, Cirebon, Minggu (10/3) malam, dalam rangkaian kegiatan "Media Gathering and Field Trip" di Pertamina Asset 3 Cirebon.

Menurut dia, pengelolaan kegiatan migas di Indonesia saat ini banyak permasalahan, di antaranya belum ada pola baku dalam mengatur kontrak migas yang habis serta perusahaan minyak nasional tidak mempunyai "pre-emptive right", "right to match", dan "right to refusal" dalam jual-beli "participating interest" di Indonesia.

Selain itu, kata dia, yang mengatur kegiatan atau usaha migas banyak sekali seperti Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, Perusahaan Gas Negara (PGN), dan Kementerian Keuangan.

Oleh karena itu, dia mengaku setuju jika UU Migas dicabut meskipun saat ini sebagian pasal-pasalnya telah dibatalkan oleh MK.

Pembicara lainnya, Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) Kurtubi mengatakan bahwa tata kelola migas di Indonesia saat ini berantakan.

"Muara tata kelola migas nasional atas dasar UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 saat ini mengakibatkan produksi minyak terus anjlok, defisit minyak membengkak, dalam negeri kekurangan gas, dan subsidi BBM membengkak," katanya.

Berdasarkan hasil survei Fraser Institute Canada 2011, kata dia, pengelolaan migas nasional dengan UU Migas telah menyebabkan pengelolaan atau kondisi investasi migas di Indonesian menjadi paling buruk di Asia-Oceania dan lebih buruk dari semua negara tetangga.

"Inilah yang menyebabkan investasi eksplorasi anjlok sehingga nyaris tidak ada penemuan baru sejak UU Migas," katanya.

Menurut dia, kondisi itu berakibat pada rendahnya produksi (lifting) minyak.

Bahkan, kata dia, sasaran "lifting" minyak dalam APBN tidak pernah tercapai sehingga Indonesia menjadi "net oil importer" dan harus keluar dari OPEC.

Ia mengatakan bahwa defisit perdagangan migas membengkak karena Indonesia sangat tergantung pada migas impor. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara tertua yang memproduksi minyak di dunia, yakni sejak zaman penjajahan Belanda.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa pada tahun 2012 terjadi defisit migas sebesar 5,59 miliar dolar Amerika Serikat karena nilai impor mencapai 42,66 miliar dolar AS, sedangkan ekspor sekitar 37,07 miliar dolar AS.

Menurut dia, defisit terus berlanjut karena hingga Januari 2013 terjadi defisit migas yang mencapai 1,4 dolar AS.

"Dapat dipastikan bahwa defisit migas tahun 2013 akan jauh melampau defisit tahun 2012 kalau tidak ada perubahan yang signifikan. Defisit migas tahun 2013 bisa menembus 15 miliar dolar AS," katanya.

Ia mengatakan bahwa kondisi tersebut bisa berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terus melemah, sehingga barang impor menjadi lebih mahal dan dapat memicu inflasi.

Di bagian lain, Kurtubi mengatakan, dalam negeri kekurangan gas, sementara gas dari Papua dijual ke China dengan harga sangat murah.

Menurut dia, hal itu disebabkan migas bagian pemerintah yang berasal dari perusahaan minyak tidak boleh dijual atau dikembangkan sendiri, tetapi harus melewati pihak ketiga.

"Ini tercantum dalam Pasal 44 Ayat (3) Huruf g UU Migas Nomor 22 Tahun 2001," katanya.

Dalam hal ini, dia mencontohkan Lapangan Gas Tangguh di Papua tidak bisa dikembangkan oleh BP Migas sehingga berdasarkan amanat UU Migas, pemerintah harus menunjuk pihak lain untuk mengelolanya.

Akan tetapi, perusahaan yang ditunjuk untuk mengelola Lapangan Gas Tangguh bukan Pertamina atau BUMN yang memiliki pengalaman membangun LNG Plant termasuk pemasaran dan pengoperasiannya, melainkan menunjuk perusahaan asing, yakni British Petroleum (BP).

Ia mengatakan bahwa kondisi tersebut mengakibatkan negara kehilangan potensi penerimaan yang sangat besar, yakni sekitar 4 miliar dolar AS per tahun selama 25 tahun karena gas Tangguh dijual ke China dengan harga sangat murah.

Selain itu, negara dalam hal ini PLN harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan listrik karena kekurangan gas dan harus pindah ke BBM yang relatif sangat mahal.

Biaya produksi listrik dengan gas sekitar Rp600 per kwh, sedangkan dengan BBM sekitar Rp3.000/kwh.

"Harga jual gas Tangguh ke China sebesar 3,35 dolar AS/mmbtu atau sekitar 10 juta dolar AS/cargo, sedangkan harga gas yang dijual ke PLN mencapai 5,50 dolar AS/mmbtu. Padahal, harga gas produksi Pertamina di Lapangan Gas Badak yang dijual ke Jepang saat ini dengan ICP 115 dolar/bbls menjadi sekitar 17,5 dolar AS/mmbtu atau sekitar 52,5 juta/cargo," katanya.

Kurtubi mengatakan bahwa Kilang Gas Tangguh Train 3 kembali diserahkan kepada perusahaan asing. Bahkan, cadangan gas yang ada dijadikan agunan untuk pendanaan Train 3.

Padahal, lanjut dia, migas yang masih berupa cadangan di perut bumi adalah 100 persen milik negara.

"Kalau pendanaannya dengan mengagunkan cadangan, sebaiknya yang mengembangkan pabrik gas adalah perusahaan negara sebagaimana Pertamina pernah berhasil membangun Kilang Gas Badak dengan pembiayaan tidak menggunakan dana APBD, dan hasilnya sangat menguntungkan negara," katanya.

Oleh karena itu, dia sangat mendukung jika UU Migas segera dicabut karena telah menghilangkan kedaulatan negara atas sumber daya migas yang ada di perut bumi Indonesia.

Selain itu, UU Migas telah merugikan negara secara finansial karena migas bagian negara yang berasal dari kontraktor tidak bisa dijual sendiri, tetapi harus menunjuk pihak ketiga.

Menurut dia, UU Migas juga memecah struktur perusahaan atau industri minyak nasional yang terintegrasi atas usaha hulu dan hilir yang terpecah.

Carut-marutnya industri migas di Indonesia ini memunculkan semangat nasionalisme pekerja Pertamina yang menginginkan kembalinya kedaulatan industri migas dalam negeri.

"Sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 disebutkan 'Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat', maka sudah semestinya sumber daya alam yang terdapat dari Sabang sampai Merauke dikuasai oleh negara dan diperuntukkan kemanfaatannya untuk kemakmuran rakyat," kata Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Patra Wijaya Kusuma (SPP PWK) Pertamina Refinery Unit IV Cilacap Arie Gumilar, di Cilacap, 13 Februari 2013.

Ironisnya, kata dia, Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah justru pengelolaannya lebih banyak dikuasai oleh pihak asing.

Ia mengatakan bahwa penguasaan pada sektor migas yang dikelola oleh anak bangsa melalui Pertamina hanya sebesar 15 persen, selebihnya dikelola dan dikuasai oleh pihak asing.

Menurut dia, kondisi tersebut sangat memprihatinkan karena menjadikan Indonesia sebagai negara yang lemah akan ketahanan energinya dan kedaulatan energi telah tergadaikan oleh kapitalis asing.

"Tidak terkecuali Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang sejak 31 Maret 1967 dikelola perusahaan asal Prancis, yaitu Total E&P yang kontraknya akan berakhir pada tahun 2017, sementara hak partisipasi (participating interest-PI) Mahakam dimiliki Total dan Inpex Corporation, masing-masing 50 persen," katanya.

Ia mengatakan, sejak 1970 hingga 2011 sekitar 50 persen (13,5 TCF) cadangan di Blok Mahakam telah dieksploitasi dan menghasilkan pendapatan kotor sekitar 100 miliar dolar Amerika, sementara cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 TCF.

Dengan harga gas yang terus naik, kata dia, berpotensi menghasilkan pendapatan kotor lebih dari 187 miliar dolar Amerika.

"Jika Blok Mahakam ini dikelola oleh negara, pendapatan tersebut sangat bermanfaat bagi kepentingan negara," katanya.

Lebih lanjut, Arie mengatakan, hingga 2011 Blok Mahakam telah menghasilkan gas sebanyak 2.200 MMSCFD (Million Metric Standard Cubic Feet per Day) dan minyak 93 ribu barel per hari.

Menurut dia, blok ini diperkirakan masih memiliki cadangan gas sekitar 12,7 TCF. Akan tetapi, saat ini pemerintah cenderung kembali menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam kepada pihak asing.

"Oleh karena itu, bebaskan negeri ini dari penjajahan migas oleh asing dan antek-anteknya, kembalikan kedaulatan energi nasional ke tangan anak bangsa. Berikan kesempatan kepada perusahaan di negeri ini untuk mengelola migas yang ada sebagai 'National Oil Company (NOC)' di negerinya sendiri," katanya.