Hal itu mengemuka setelah Ketua Tim Investigasi (Tim Sembilan) yang notabene Wakil Komandan Puspom TNI AD Brigjen TNI Unggul T. Yudhoyono di Jakarta, Kamis (4/4), mengumumkan hasil temuannya bahwa pelaku penyerangan Lembaga Pemasyarakatan 2B Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah 11 oknum Kopassus.

Pengakuan secara kesatria dari TNI AD tidak hanya menuai apresiasi dari sejumlah kalangan, tetapi memori publik pun terkuak akan nasib RUU tentang Perubahan atas UU No. 31/1997 yang terkatung-katung hingga bertahun-tahun.

Di satu sisi, Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI mengapresiasi temuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menyampaikan laporan itu kepada publik. Begitu pula, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo dan Duta Universitas Indonesia untuk Reformasi Birokrasi Indonesia Dr Dewi Aryani, M.Si angkat topi atas keterbukaan TNI tersebut.

Namun, di sisi lain Eva mengatakan, "Saya duga laporan itu sama dengan temuan Polri yang sudah diserahkan kepada Presiden. Hanya karena adanya 'dual system' dalam penegakan hukum (peradilan umum dan peradilan militer) menyebabkan Polri enggan melaporkan kepada publik."

Eva menyangsikan pemeriksaan perkara tersebut secara terbuka. Hal ini mengingat kasus sebelumnya yang melibatkan oknum TNI penyidangannya tertutup.

Misalnya, kasus "Koboy Palmerah", "Geng Motor", dan sejumlah perkara pidana umum yang pelakunya oknum TNI, termasuk kasus penyerangan Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, 7 Maret 2013.

Ia pun berharap "dual system" yang mengakomodasi superioritas TNI harus diakhiri, kemudian RUU tentang Peradilan Militer harus dituntaskan karena di dalam RUU PM terdapat ketentuan bahwa pidana umum TNI masuk ke peradilan umum, sedangkan peradilan militer khusus mengurusi desersi, disiplin, dan seterusnya.

Wakil rakyat itu juga meminta koleganya di DPR RI harus mengajukan penyelesaian RUU tersebut, apalagi dari Panitia Khusus (Pansus) terakhir hanya tertinggal tujuh daftar isian masalah (DIM).

Ia pun berharap aksi-aksi "unlawful" (tidak sah) dari TNI itu harus membuka mata pemerintah, terutama Kementerian Pertahanan, agar legawa dan kesatria bahwa memboikot RUU PM memberikan kontribusi bagi perilaku-perilaku pasukan yang sudah melembaga sejak Orde Baru.

"Tendensi ini harus diakhiri," katanya menegaskan.

Kronologis Pembahasan
Di dalam tulisan berjudul "RUU Peradilan Militer Senapas dengan UUD 1945" (Antara, 14 Mei 2012), Naskah Akademik Perubahan UU PM yang disusun oleh Indonesian Working Group on Security Sector Reform dengan difasilitasi oleh Propatria di Jakarta, 8-10 September 2002, disebutkan perlu adanya pemisahan secara tegas kewenangan peradilan berdasarkan pada jenis kejahatan, subjek pelaku, motif, lokasi, dan akibat.

Tim penyusun yang beranggotakan Munir SH, Rachland Nashidik, Fajrul Falaakh, M.A, Dr Rudy Satriyo, Dr Kusnanto Anggoro, Dr Edy Prasetyono, Dr Rizal Sukma, Riefqi Muna M.Def.Stu menyampaikan pandangannya bahwa peradilan militer hanya memiliki kewenangan atas tindak pidana militer yang dilakukan oleh prajurit TNI yang melanggar ketentuan hukum pidana militer.

Pengadilan umum memiliki kewenangan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit militer yang melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pidana umum. Dalam hal seseorang melakukan tindak pidana umum dan sekaligus di dalamnya terdapat tindak pidana militer, maka menjadi tindakan ini menjadi kewenangan peradilan umum melalui mekanisme koneksitas.

Kemudian, pada tanggal 28 April 2004, Badan Legislasi DPR RI telah mengajukan RUU itu ke pimpinan DPR. Badan legislatif ini lantas membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Perubahan atas UU No. 31/1997 yang diketuai Andreas H. Pareira.

Namun, pembahasan revisi terhadap UU Peradilan Militer oleh DPR RI bersama Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum & HAM mengalami jalan buntu (deadlock) karena terjadi perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah, khususnya terkait draf Pasal 9 yang mengatur yurisdiksi peradilan militer.

Dalam pembahasan revisi UU Peradilan Militer itu, kata anggota Komisi I (Bidang Pertahanan, Luar Negeri, dan Informasi) Tjahjo Kumolo, DPR menginginkan agar prajurit TNI yang melakukan pelanggaran pidana umum diadili di peradilan umum tanpa melihat oknumnya.

Kendati demikian, kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu, tetap berdasarkan pada delik atau bentuk pelanggarannya sesuai dengan ketentuan Pasal 65 UU No. 34/2004 tentang TNI.

Adapun ketentuan yang ada di dalam Pasal 65 Ayat (2) menyebutkan prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.

Pada Pasal 65 Ayat (3) menyatakan apabila kekuasaan peradilan umum tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.

"Pada pembahasan revisi terhadap UU No. 31/1997, Pemerintah menginginkan semua prajurit diadili di peradilan militer tanpa melihat bentuk deliknya," kata Tjahjo yang juga anggota DPR RI periode 2004-2009.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada periode lalu pun tidak bisa melanjutkan pembahasan lagi karena berdasarkan Pasal 20 Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Berdasarkan ketentuan di dalam Ayat (3) Pasal 20 menyebutkan jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR RI masa itu. Selanjutnya, Ayat (4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

Dengan demikian, DPR RI Periode 2009-2014 bisa membahas kembali RUU tentang Perubahan atas UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer. Namun, itu semua tergantung dari kemauan semua pihak yang tetap konsisten terhadap konstitusi dan menegakkan prinsip "equality before the law" (persamaan di depan hukum).

Sebelumnya, pada tahun lalu, kasus "Koboy Palmerah", "Geng Motor", dan sejumlah perkara pidana umum yang pelakunya oknum TNI tampaknya belum mampu mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk membahas kembali revisi terhadap UU No.31/1997.

Kemudian, pada tanggal 23 Maret 2013, sekelompok orang bersenjata menyerang LP Cebongan yang mengakibatkan empat tahanan tewas. Ada dugaan kuat 11 oknum Kopassus terlibat. Apakah kasus ini masih kurang cukup mendesak dua lembaga itu untuk membahas RUU Peradilan Militer?